Ketika Beban Administratif Menggerus Jiwa Mengajar

PAGI belum sempurna. Matahari baru saja mengintip malu dari balik tirai awan, tapi seorang guru sudah bersiap. Bukan membuka buku pelajaran, bukan merancang metode pengajaran menarik—melainkan duduk di depan layar komputer, mengejar laporan yang tak kunjung usai. “Capaian Pembelajaran Mingguan”, “Rekap Kehadiran”, “Evaluasi Perilaku Siswa”, hingga “Laporan Kegiatan Literasi” yang entah akan dibaca siapa.

Guru itu menghela napas. Ia rindu mengajar. Rindu suara riuh siswa bertanya, rindu menjelaskan konsep dengan semangat, rindu menciptakan kelas yang hidup. Tapi beban administrasi seperti rantai besi yang mengekang langkahnya. Setiap detik yang harusnya ia habiskan untuk menyiapkan pembelajaran, kini justru habis di balik tumpukan berkas dan target sistem yang kaku.

Kita lupa, bahwa guru bukan birokrat. Ia pendidik, penuntun, dan sahabat bagi anak-anak yang haus ilmu dan kasih sayang. Namun perlahan, ia disulap menjadi operator data. Setiap kegiatan harus dilaporkan, divalidasi, diunggah, bahkan diulang jika sistem eror. Tak ada ruang untuk jeda, apalagi berekspresi dalam mendidik.

Lihatlah, betapa banyak guru yang dulu penuh semangat kini berjalan lesu. Energi mereka terserap bukan oleh proses pembelajaran yang bermakna, tetapi oleh dokumen-dokumen yang harus rampung hari itu juga. Kepala mereka dijejali format, kolom, dan tabel. Bukan karena tidak mampu, tapi karena waktu mereka tidak lagi utuh untuk murid-muridnya.

Ironisnya, sebagian pengambil kebijakan hanya melihat angka. “Laporan sudah masuk?” “Sudah centang semua?” Padahal, di balik satu centang itu, ada air mata yang tertahan, ada lelah yang tertumpuk, dan ada mimpi yang terpaksa dipendam.

“Dulu saya punya waktu mendampingi siswa remedial secara personal. Sekarang, saya bahkan tidak punya cukup waktu menyapa mereka dengan hangat,” ujar seorang guru SMP dengan mata berkaca. Apa gunanya semua data itu jika siswa justru kehilangan sosok guru yang utuh hadir untuk mereka?

Kita butuh revolusi kecil dalam hati: bahwa mengajar adalah seni dan cinta, bukan hanya soal administrasi. Tentu, dokumentasi penting. Tapi apakah harus sebanyak ini? Apakah harus serumit ini? Bukankah lebih bijak jika kita meringankan beban para guru agar mereka bisa kembali ke panggung utama: kelas?

Kepada para pengambil kebijakan, tengoklah ruang guru. Duduklah sebentar di sana. Dengarkan keluh mereka, bukan sebagai laporan, tapi sebagai jeritan hati yang lelah. Guru tidak butuh dibanjiri pelatihan tentang “penguatan peran”, sementara peran mereka sendiri terus dikebiri oleh tumpukan formulir.

Guru ingin mengajar. Itu saja. Ingin hadir sepenuhnya di tengah anak-anak, membimbing dengan kasih, menginspirasi dengan teladan, dan menyalakan api belajar yang tak mudah padam. Tapi bagaimana mungkin, jika setiap hari mereka dipaksa memilih antara menjadi guru atau menjadi pegawai administrasi?

Saatnya kita sadari: pendidikan yang baik tidak dibangun di atas data semata. Tapi di atas relasi, dedikasi, dan keikhlasan. Mari bebaskan guru dari jerat administrasi yang membebani. Agar mereka kembali menjadi cahaya yang menerangi kelas—bukan hanya pengisi kolom laporan.

Sudah cukup guru mengorbankan mimpi. Kini giliran kita mendengar dan bergerak. Karena ketika guru kehilangan ruh mengajarnya, maka generasi pun kehilangan masa depannya.[Ba]