Di saat sebagian masyarakat lebih mengidolakan sekolah berbasis global, Madin dengan setia membentuk insan yang bersahaja namun bercahaya. Merekalah penjaga nilai-nilai Islam di tengah gelombang zaman yang kian menggila.
Mari kita buka lembar sejarah. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, adalah sosok besar yang tumbuh dari kultur pendidikan diniyah. Beliau menuntut ilmu sejak kecil di madrasah tradisional, lalu menuntaskannya di berbagai pesantren, termasuk sistem madin.
Dari didikan itulah, lahir ulama yang tak hanya alim, tapi juga pemimpin umat yang mampu membangkitkan ghirah Islam dalam menghadapi kolonialisme. KH. Hasyim bukan hanya mengajar, tapi membakar semangat jihad yang tertanam dari nilai-nilai diniyah. Madin tak hanya mengajarkan fiqih, tapi menanamkan ruh perjuangan.
Kita juga mengenal sosok Buya Hamka, ulama cendekiawan besar Nusantara. Sejak kecil, Buya Hamka menuntut ilmu agama di lingkungan madrasah yang sederhana, namun kaya makna. Ia ditempa bukan hanya dengan hafalan, tapi dengan adab, disiplin, dan cinta ilmu yang mengakar kuat.
Dari Madin dan surau kecil, Buya Hamka tumbuh menjadi pemimpin pemikiran yang pengaruhnya mendunia. Karya-karyanya masih menjadi bacaan wajib bagi umat Islam hingga hari ini.
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, juga dibesarkan dalam lingkungan madrasah klasik. Sejak kecil, beliau belajar Al-Qur’an dan ilmu syar’i dari Madin yang berada di sekitarnya. Jiwa sosial dan semangat tajdid beliau lahir dari kedalaman pemahaman agama yang dibentuk sejak dini. Madin mengajarkan beliau bahwa Islam harus hadir dalam solusi kehidupan umat, bukan sekadar ritual kosong. Dari madin yang sunyi, lahir gelombang pembaruan yang mengguncang nusantara.
Di era kemerdekaan, kita mengenal nama KH. Wahid Hasyim, tokoh penting dalam perumusan dasar negara. Ia adalah putra dari KH. Hasyim Asy’ari, dan seperti ayahnya, dididik sejak dini melalui Madin dan pesantren.
Peran Madin dalam hidupnya tidak bisa dipisahkan dari kemampuannya memahami Islam secara kaffah dan merumuskan relasi antara agama dan negara. Madin membentuk ketajaman pikir dan kejernihan hati. Ia menjadi jembatan antara nilai agama dan modernitas.
Tak hanya di masa lalu, pemimpin masa kini pun banyak yang berlatar belakang Madin. Gubernur, bupati, anggota DPR, hingga menteri yang memiliki sensitivitas terhadap umat, tak sedikit yang dulu duduk bersila di kelas Madin. Mereka belajar dari kyai kampung yang penuh keikhlasan, bukan dari guru yang hanya mengejar target kurikulum. Jiwa kepemimpinan mereka tumbuh dari keteladanan, bukan hanya teori. Madin mengajarkan bagaimana menjadi pelayan umat, bukan sekadar pejabat.
Madin juga memainkan peran penting dalam menjaga akidah anak-anak desa. Di saat televisi dan gawai menyuguhkan hal-hal yang menjauhkan dari Allah, Madin hadir memberi kesejukan. Anak-anak diajak mengenal Allah sejak dini, mencintai Rasulullah SAW, dan memahami arti hidup sebagai ibadah. Di Madin, anak-anak belajar menghormati orang tua, cinta tanah air, dan mengenal makna halal haram. Tanpa Madin, mungkin banyak generasi yang hilang arah.
Perlu Perhatian Pemerintah
Namun sayangnya, banyak Madin di desa-desa yang kekurangan perhatian. Bangunannya reyot, tenaga pendidiknya belum sejahtera, dan fasilitasnya sangat minim. Ironisnya, lembaga yang menyelamatkan moral anak bangsa justru paling minim sentuhan negara.
Padahal, jika pemerintah jeli, Madin adalah investasi masa depan yang sangat strategis. Di saat negara krisis moral, Madin-lah benteng terakhir peradaban.
Pemerintah perlu memberi perhatian besar kepada Madin di desa-desa. Tak cukup hanya program simbolik, tapi perlu kebijakan yang berpihak nyata. Dana desa harus dialokasikan untuk perbaikan Madin, pelatihan guru diniyah, dan peningkatan sarana pendidikan Islam.
Bukan karena Madin minta dihargai, tapi karena kontribusinya terlalu besar untuk diabaikan. Negara harus membalas jasa para ustaz kampung yang telah menjaga generasi tetap bertuhan.
Lebih dari itu, masyarakat juga perlu membela keberadaan Madin. Jangan malu menyekolahkan anak ke Madin, karena dari sanalah benih keberkahan ditanam. Banyak orang sukses yang berawal dari sandal jepit dan papan tulis lusuh Madin. Jangan biarkan Madin hanya jadi kenangan, padahal ia adalah cahaya yang mestinya dijaga. Jika kita biarkan Madin mati, maka yang mati bukan hanya lembaga, tapi ruh bangsa ini.
Madin adalah taman surga di tengah sawah, hutan, dan perkampungan. Di sanalah ilmu ditanam, iman disiram, dan adab disemai. Jika kita ingin Indonesia tetap beradab, maka jangan biarkan Madin terlantar. Pemimpin masa depan tak lahir dari gedung tinggi, tapi dari gubuk yang penuh cahaya hikmah. Dan Madin adalah gubuk itu.
Jangan sekali-kali kita remehkan Madin, karena dari tempat itulah lahir ulama, pemimpin, dan pembela Islam. Negara ini bisa merdeka karena mereka yang disiapkan oleh Madin sejak kecil. Jika hari ini kita masih punya harapan untuk Indonesia yang lebih bermoral, lebih sejahtera, dan lebih bertauhid, maka jagalah Madin. Madin bukan sekadar sekolah, tapi pabrik peradaban. Dan peradaban Islam tidak pernah tumbuh dari keangkuhan, tapi dari keikhlasan seperti yang diajarkan di Madin.
Kini saatnya kita bangga pada Madin. Tak perlu malu mengakui bahwa anak-anak kita belajar dari tempat yang mungkin tampak sederhana, tapi hakikatnya luar biasa. Mari kita bantu Madin, doakan guru-gurunya, sejahterakan ustaz-ustazahnya, dan jadikan Madin sebagai prioritas pembangunan. Karena membangun Madin, adalah membangun masa depan bangsa yang bertuhan, bermoral, dan berilmu. Dan dari Madin-lah, insya Allah, pemimpin masa depan akan kembali lahir.[BA]