Hasan Nurhasan (43), salah satu
pengajarnya, percaya bahwa pemimpin sejati tidak lahir dari bangku kekuasaan,
tapi dari tempat sujud, dari lembar-lembar kitab kuning, dari madrasah diniyah.
"Pemimpin adil dan bijak, peduli pada rakyat, kelak akan lahir dari tempat
ini," katanya lirih namun penuh keyakinan.
Madrasah
Diniyah (MD) bukan sekadar tempat belajar agama, tapi benteng akhlak dan moral masyarakat. Di saat banyak
institusi pendidikan kehilangan arah, MD tetap teguh mencetak generasi
berkarakter. Anak-anak tak hanya diajarkan membaca Al-Qur’an, tapi juga
bagaimana menjadi manusia jujur, rendah hati, dan bertanggung jawab. Di sinilah
akar peradaban tumbuh perlahan namun pasti.
Hasan
menuturkan, perhatian
pemerintah desa sangat dibutuhkan agar MD bisa terus hidup. Ia mengungkapkan,
desa Sukaperna telah memberikan bantuan dana kepada MD dari pos Dana Bagi Hasil
(DBH) pajak desa. Bagi Hasan, itu adalah bentuk kesadaran dan komitmen desa
terhadap pentingnya pendidikan ruhani warganya. “Desa yang mendukung MD adalah
desa yang sedang menanam benih kebaikan masa depan,” tuturnya.
DBH
yang biasanya digunakan untuk pembangunan fisik, sebagian dialihkan untuk
membangun akhlak melalui MD. Sebab, bangunan sehebat apapun akan roboh jika
tidak dihuni oleh manusia berakhlak mulia. Hasan menyebutkan bahwa bantuan
tersebut bukan sekadar dana, tetapi investasi jangka panjang untuk mencetak
pemimpin desa yang takut kepada Tuhan. “Kalau tidak dari sekarang kita bantu,
bagaimana mungkin kita berharap ada perubahan besar nanti?” tanyanya.
Peran Penting MD
Peran
MD sangat besar dalam menciptakan ketenangan sosial dan ketertiban moral
masyarakat. Di sinilah anak-anak diajari arti amanah, arti tanggung jawab, arti
kejujuran — nilai-nilai yang hari ini makin langka di ruang publik. Ketika
dunia sibuk mencetak manusia cerdas, MD bukan hanya sibuk mencetak manusia cerdas tapi jauh
lebih penting adalah mencetak manusia beriman. Dua hal yang jika digabungkan, akan melahirkan pemimpin berani dan
bijaksana.
Jika
sebuah desa memiliki Madrasah Diniyah yang aktif dan didukung penuh, maka desa
itu sedang menyiapkan masa depan cerah. Karena di balik senyuman santri yang
mengaji, ada harapan yang menyala bagi umat dan bangsa. Apalagi jika pemerintah
desa turut turun tangan memperhatikan sarana, operasional, dan keberlangsungan
madrasah. Maka sinergi inilah yang akan membentuk peradaban dari akar rumput.
Hasan
mengungkapkan, para santri di MDTU PUI tidak hanya mengaji, tapi juga diajak
memahami realitas sosial. Mereka diajarkan menyelesaikan masalah dengan hati,
bukan dengan emosi. Mereka dilatih menjadi pemimpin dari lingkup kecil:
memimpin diri sendiri, memimpin shalat, memimpin dalam amanah. Inilah bentuk
pelatihan kepemimpinan paling murni dan hakiki.
Kisah
MD ini seharusnya menjadi inspirasi bagi desa-desa lainnya di Indonesia. Jangan
tunggu dulu gedung runtuh karena pemimpin korup baru kita sadar pentingnya
madrasah. Jangan menunggu rusaknya generasi baru kita dukung pendidikan akhlak.
Bangun dari sekarang, kuatkan dari hari ini, agar masa depan tidak meratap
karena kita abai hari ini.
Ketika
negara sibuk mencetak pemimpin melalui jalur politik dan partai, madrasah
diniyah diam-diam menyiapkan pemimpin dengan jalur keikhlasan dan keimanan.
Pemimpin yang tidak tergiur oleh kekuasaan, tapi takut pada amanah. Pemimpin
yang tak butuh popularitas, karena ia cukup dikenal langit. Dan pemimpin
seperti ini, sesungguhnya sedang tumbuh di madrasah-madrasah desa yang sederhana.
Maka, jika kita mencintai bangsa ini,
perhatikanlah Madrasah Diniyah. Jika kita menginginkan keadilan, kuatkanlah
madrasah di desa-desa. Karena pemimpin jujur bukan produk sistem, tapi produk
nilai. Dan nilai itu lahir dari tempat yang tak pernah dilirik oleh kamera,
tapi selalu diperhatikan oleh langit: Madrasah Diniyah.[BA]