Katanya Ustadz, Tapi Kok Egois?

(Sifat egois hanya akan memperburuk diri sendiri, selain tentu saja orang lain)

PELITA MAJALENGKA - KATANYA ustadz, tapi gak bisa dikritik. Baru ditegur sedikit, langsung marah, ngambek, dan nuduh orang lain gak sopan. Bukankah ilmu seharusnya melahirkan kerendahan hati, bukan harga diri yang kelewat tinggi? Apa gunanya jubah panjang dan sorban melilit, kalau sabarnya tipis dan egonya setebal dinding beton?

Katanya da’i, tapi hobinya nyalahin orang lain, seakan dirinya maksum. Sering bicaranya keras, tapi hatinya kering dari kasih sayang. Kalau antum dakwah cuma buat dipuji, itu bukan dakwah, itu pencitraan berbalut ayat. Ilmu yang tidak mengasuh jiwa, hanya akan menjadikan pemiliknya sombong berkedok agama.

Katanya guru ngaji, tapi selalu ingin dilayani. Kalau gak dihormati, langsung bilang “murid durhaka”. Sejak kapan kemuliaan ilmu ditentukan oleh berapa banyak tangan yang mencium tangan kita? Ilmu yang benar, justru membuat kita takut menjadi pusat perhatian.

Katanya murabbi, tapi tidak mau dikoreksi. Padahal Rasul pun mendengarkan para sahabat saat ada masukan yang benar. Kalau kritik dianggap serangan, mungkin yang sakit bukan tubuhnya, tapi jiwanya. Jangan-jangan bukan lagi membina umat, tapi sedang membangun singgasana pribadi.

Katanya panutan, tapi justru jadi batu sandungan. Setiap masalah selalu dilimpahkan ke orang lain, tak pernah mau instrospeksi. Umat butuh pemimpin yang rela menanggung beban, bukan yang sibuk cari kambing hitam. Kalau setiap dakwah hanya untuk menyalahkan, lalu kapan belajar untuk memperbaiki?

Katanya cinta jama’ah, tapi suka main belakang, mencipta friksi diam-diam. Di depan bicara ukhuwah, di belakang sibuk menjatuhkan yang lain. Apa gunanya berceramah panjang tentang persatuan, kalau lidahnya senjata pemecah belah? Lebih baik diam, daripada bicara yang hanya merusak kepercayaan umat.

Katanya ahli ilmu, tapi tak ada bekas ilmunya dalam akhlak dan adab. Sibuk menghafal, tapi lupa menghayati. Mengutip ayat, tapi lupa diri. Umat tak butuh penceramah pandai bicara, tapi butuh teladan yang rendah hati.

Wahai yang mengaku ustadz, ingatlah: Allah tak tertipu oleh gelar atau panggilan kehormatan. Jangan sampai ilmu menjadi hujjah yang menjerumuskanmu ke neraka. Semakin tinggi ilmu, seharusnya semakin dalam sujud dan tangis taubatmu. Jika engkau tak segera merendah, kelak Allah akan menjatuhkanmu—tepat di hadapan umat yang pernah kau abaikan.

Katanya cinta sunnah, tapi kenyataannya justru gila panggung. Baru dikasih mic, langsung merasa diri paling suci dan layak ditiru. Masjid dijadikan panggung pribadi, bukan tempat sujud penuh rendah hati. Wahai ustadz, sejak kapan mimbar jadi ajang pamer ego?

Katanya membina, tapi gak bisa dibina. Maunya didengar, tapi enggan mendengar. Dakwahmu jadi monolog kosong yang tak menyentuh, karena hatimu tertutup oleh rasa jumawa. Umat bukan sekadar objek ceramahmu, mereka punya akal dan nurani yang tahu mana da’i tulus dan mana da’i penuh ambisi.

Katanya warasatul anbiya, pewaris Nabi, tapi kok kelakuan kayak raja yang ogah ditegur? Kalau Nabi pun menangis saat diingatkan, kenapa engkau mencibir saat dikritik? Jangan-jangan yang kau warisi hanya gelarnya, bukan akhlaknya. Pewaris Nabi bukan dari sorban dan panggilan, tapi dari sikap dan pengorbanan.

Katanya ngajak ke surga, tapi kelakuannya bikin orang muak dengan agama. Setiap ceramah penuh ancaman dan rasa tinggi hati, seolah dirimu udah pegang tiket surga VIP. Kalau surga hanya untuk orang sepertimu, mungkin banyak orang memilih jalan lain karena takut jadi seperti kamu. Jangan halangi cahaya Allah dengan bayangan egomu!

Katanya mengajak amar ma’ruf, tapi tak bisa menegur diri sendiri. Setiap kesalahan orang lain dibesar-besarkan, tapi aib sendiri disimpan rapat dan dibela mati-matian. Kamu bukan Tuhan yang gak bisa salah, ustadz. Jangan bangun kredibilitas di atas kepalsuan dan kemunafikan.

Katanya berdakwah untuk Allah, tapi sedikit-sedikit tersinggung kalau gak dipanggil “ustadz” atau gak dikasih tempat duduk khusus. Dakwahmu jadi ajang pembuktian diri, bukan panggilan hati. Kalau semua yang kamu lakukan hanya untuk nama baikmu, jangan heran kalau Allah tak hadir dalam setiap langkahmu. Jangan jadikan dakwahmu sebagai alat dagang harga diri!

Katanya penyambung lidah kebenaran, tapi kenapa kalau bicara penuh sindiran dan kebencian? Kamu bilang itu bagian dari “ghirah”, tapi kenyataannya itu cuma topeng dari hati yang belum sembuh. Hati-hati, jangan sampai kamu jadi alasan kenapa orang menjauh dari masjid dan menghindar dari ilmu. Dakwahmu seharusnya menjadi cahaya, bukan bara yang membakar ukhuwah.[BA]