Katanya da’i, tapi hobinya nyalahin orang lain,
seakan dirinya maksum. Sering bicaranya keras, tapi hatinya kering dari kasih
sayang. Kalau antum dakwah cuma buat dipuji, itu bukan dakwah, itu pencitraan
berbalut ayat. Ilmu yang tidak mengasuh jiwa, hanya akan menjadikan pemiliknya
sombong berkedok agama.
Katanya guru ngaji, tapi selalu ingin dilayani.
Kalau gak dihormati, langsung bilang “murid durhaka”. Sejak kapan kemuliaan
ilmu ditentukan oleh berapa banyak tangan yang mencium tangan kita? Ilmu yang
benar, justru membuat kita takut menjadi pusat perhatian.
Katanya murabbi, tapi tidak mau dikoreksi.
Padahal Rasul pun mendengarkan para sahabat saat ada masukan yang benar. Kalau
kritik dianggap serangan, mungkin yang sakit bukan tubuhnya, tapi jiwanya.
Jangan-jangan bukan lagi membina umat, tapi sedang membangun singgasana
pribadi.
Katanya panutan, tapi justru jadi batu
sandungan. Setiap masalah selalu dilimpahkan ke orang lain, tak pernah mau
instrospeksi. Umat butuh pemimpin yang rela menanggung beban, bukan yang sibuk
cari kambing hitam. Kalau setiap dakwah hanya untuk menyalahkan, lalu kapan
belajar untuk memperbaiki?
Katanya cinta jama’ah, tapi suka main
belakang, mencipta friksi diam-diam. Di depan bicara ukhuwah, di belakang sibuk
menjatuhkan yang lain. Apa gunanya berceramah panjang tentang persatuan, kalau
lidahnya senjata pemecah belah? Lebih baik diam, daripada bicara yang hanya
merusak kepercayaan umat.
Katanya ahli ilmu, tapi tak ada bekas ilmunya
dalam akhlak dan adab. Sibuk menghafal, tapi lupa menghayati. Mengutip ayat,
tapi lupa diri. Umat tak butuh penceramah pandai bicara, tapi butuh teladan
yang rendah hati.
Wahai
yang mengaku ustadz, ingatlah: Allah tak tertipu oleh gelar atau panggilan
kehormatan. Jangan sampai ilmu menjadi hujjah yang menjerumuskanmu ke neraka.
Semakin tinggi ilmu, seharusnya semakin dalam sujud dan tangis taubatmu. Jika
engkau tak segera merendah, kelak Allah akan menjatuhkanmu—tepat di hadapan
umat yang pernah kau abaikan.
Katanya cinta sunnah, tapi kenyataannya justru gila panggung. Baru dikasih
mic, langsung merasa diri paling suci dan layak ditiru. Masjid dijadikan
panggung pribadi, bukan tempat sujud penuh rendah hati. Wahai ustadz, sejak
kapan mimbar jadi ajang pamer ego?
Katanya membina, tapi gak bisa dibina. Maunya
didengar, tapi enggan mendengar. Dakwahmu jadi monolog kosong yang tak
menyentuh, karena hatimu tertutup oleh rasa jumawa. Umat bukan sekadar objek
ceramahmu, mereka punya akal dan nurani yang tahu mana da’i tulus dan mana da’i
penuh ambisi.
Katanya warasatul anbiya, pewaris Nabi, tapi kok
kelakuan kayak raja yang ogah ditegur? Kalau Nabi pun menangis saat diingatkan,
kenapa engkau mencibir saat dikritik? Jangan-jangan yang kau warisi hanya
gelarnya, bukan akhlaknya. Pewaris Nabi bukan dari sorban dan panggilan, tapi
dari sikap dan pengorbanan.
Katanya ngajak ke surga, tapi kelakuannya bikin
orang muak dengan agama. Setiap ceramah penuh ancaman dan rasa tinggi hati,
seolah dirimu udah pegang tiket surga VIP. Kalau surga hanya untuk orang
sepertimu, mungkin banyak orang memilih jalan lain karena takut jadi seperti
kamu. Jangan halangi cahaya Allah dengan bayangan egomu!
Katanya mengajak amar ma’ruf, tapi tak bisa
menegur diri sendiri. Setiap kesalahan orang lain dibesar-besarkan, tapi aib
sendiri disimpan rapat dan dibela mati-matian. Kamu bukan Tuhan yang gak bisa
salah, ustadz. Jangan bangun kredibilitas di atas kepalsuan dan kemunafikan.
Katanya berdakwah untuk Allah, tapi
sedikit-sedikit tersinggung kalau gak dipanggil “ustadz” atau gak dikasih
tempat duduk khusus. Dakwahmu jadi ajang pembuktian diri, bukan panggilan hati.
Kalau semua yang kamu lakukan hanya untuk nama baikmu, jangan heran kalau Allah
tak hadir dalam setiap langkahmu. Jangan jadikan dakwahmu sebagai alat dagang
harga diri!
Katanya
penyambung lidah kebenaran, tapi kenapa kalau bicara penuh sindiran dan
kebencian? Kamu bilang itu bagian dari “ghirah”, tapi kenyataannya itu cuma
topeng dari hati yang belum sembuh. Hati-hati, jangan sampai kamu jadi alasan
kenapa orang menjauh dari masjid dan menghindar dari ilmu. Dakwahmu seharusnya
menjadi cahaya, bukan bara yang membakar ukhuwah.[BA]