Egois Itu Penyakit Sosial: Tak Ada Tempat Bagi Orang Egois di Bumi Ini

Egois hanya akan menyulitkan diri sendiri
Oleh Jeje A Jamil

PELITA MAJALENGKA SERBA salah menghadapi orang egois; dilayani baik-baik yang ada justru ngegas. Dilayani dengan keras justru jadi tambah tidak baik. Egois sebenarnya memang fitrah manusia. Dengan kata lain, sifat egois itu sebenarnya selalu ada dan melekat pada setiap manusia. Hanya saja ada orang yang mampu meredam sifat egois itu agar tidak berkembang liar.

Orang egois adalah racun dalam lingkungan mana pun ia berada. Di mana ada orang egois, di situ ada pertengkaran, ketegangan, dan kehancuran hubungan. Mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, seolah dunia harus berputar mengikuti kemauannya. Tak peduli perasaan orang lain, yang penting dirinya bahagia. Padahal hidup ini indah jika saling memberi dan memahami.

Egois bukan hanya sikap buruk, tapi penyakit yang menghancurkan ketenangan jiwa. Orang egois selalu merasa paling benar dan paling penting dalam segala urusan. Ia mengira keberaniannya untuk menuntut dan mengambil itu bentuk kekuatan, padahal itu kelemahan jiwa. Ia miskin empati, dan miskin kebijaksanaan. Akibatnya, ia dijauhi banyak orang meski tak pernah sadar.

Dimana pun orang egois tinggal, dia akan membawa badai. Lingkungan kerja jadi kacau, keluarga jadi tegang, pertemanan jadi renggang. Hidup bersama orang egois seperti berjalan di atas pecahan kaca—tak nyaman, menyakitkan, dan penuh kewaspadaan. Ia pandai menyalahkan orang lain, tapi tak pernah mau bercermin. Dunia kecil yang ia bangun penuh ketakutan dan pertengkaran.

Orang egois sering merasa paling berani, padahal yang ia lakukan hanyalah memaksakan kehendak. Ia tak tahu bahwa keberanian sejati adalah mampu mengalah demi kebaikan bersama. Memaksakan kehendak bukan keberanian, tapi kedunguan yang dibalut kesombongan. Egois merasa bahwa mengalah adalah kekalahan, padahal mengalah bisa menjadi kemenangan sejati. Inilah sebabnya orang egois tak pernah tenang, selalu gelisah dan dicurigai.

Tak ada tempat bagi orang egois di bumi ini yang diciptakan untuk kebersamaan. Allah menciptakan kita berbeda agar kita saling mengenal dan bekerjasama, bukan saling menjatuhkan demi kepentingan diri. Hidup tak hanya tentang “aku”, tapi “kita”. Tapi bagi si egois, yang penting hanyalah dirinya sendiri. Maka wajar jika hidupnya penuh konflik dan kehampaan.

Orang egois tak pernah puas, karena dunia ini tak akan pernah cukup untuk menuruti semua keinginannya. Ia akan selalu merasa kurang dan iri pada orang lain. Ia menumpuk keinginan, tapi tak pernah menumbuhkan rasa syukur. Maka hidupnya jauh dari berkah dan keberlimpahan yang hakiki. Egois membuat hatinya keras, bahkan pada dirinya sendiri.

Egois mematikan nurani. Hati yang seharusnya menjadi tempat lahirnya kasih sayang, justru tertutup oleh keinginan pribadi. Ia tak bisa lagi merasakan tangis orang lain, karena sibuk mengejar ambisinya sendiri. Jiwa seperti ini bukan hanya gelap, tapi juga kering dan dingin. Ia haus perhatian tapi menolak memberi cinta.

Tak ada ketenangan sejati dalam hidup yang penuh egoisme. Orang egois mungkin terlihat kuat di luar, tapi dalamnya kosong dan sunyi. Ketika tak ada lagi yang peduli padanya, barulah ia sadar bahwa hidup tidak bisa sendiri. Tapi penyesalan datang ketika semua sudah menjauh. Maka, sebelum terlambat, buanglah ego dan tumbuhkan empati.

Dunia ini terlalu sempit untuk orang yang tak bisa berbagi. Kita tak bisa hidup tanpa orang lain—itu fakta. Maka egoisme adalah bentuk penolakan terhadap hakikat kehidupan. Orang egois memenjarakan dirinya sendiri dalam benteng kesendirian. Sementara dunia terus bergerak menuju kebersamaan.

Jika kau ingin damai, belajarlah untuk menahan diri, memahami orang lain, dan memberi ruang bagi pendapat yang berbeda. Dunia tak butuh orang yang paling keras, tapi yang paling bijak. Tak butuh yang paling pintar, tapi yang paling peduli. Satu tindakan empati lebih kuat dari seribu debat penuh ego. Dan satu jiwa yang rendah hati bisa menyelamatkan banyak hati.

Mari kita lawan egoisme dengan kasih sayang. Gantikan keinginan untuk menang sendiri dengan tekad untuk menang bersama. Jangan biarkan ego mengalahkan nurani. Jadilah manusia yang membawa cahaya, bukan bara api. Karena hidup yang indah bukan tentang mendominasi, tapi tentang saling menguatkan.

Akhirnya, kita harus sadar bahwa orang egois tak hanya merugikan orang lain, tapi juga merusak dirinya sendiri. Ia kehilangan makna, kehilangan kawan, dan kehilangan damai. Dunia akan terus berputar tanpa perlu menunggu orang egois berubah. Tapi alangkah indahnya jika perubahan itu datang dari dirinya sendiri, sebelum semuanya terlambat.[]