PELITA MAJALENGKA - SERBA salah menghadapi orang egois; dilayani baik-baik yang ada justru ngegas. Dilayani dengan keras justru jadi tambah tidak baik. Egois sebenarnya memang fitrah manusia. Dengan kata lain, sifat egois itu sebenarnya selalu ada dan melekat pada setiap manusia. Hanya saja ada orang yang mampu meredam sifat egois itu agar tidak berkembang liar.
Orang egois
adalah racun dalam lingkungan mana pun ia berada. Di mana ada orang egois, di
situ ada pertengkaran, ketegangan, dan kehancuran hubungan. Mereka hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri, seolah dunia harus berputar mengikuti
kemauannya. Tak peduli perasaan orang lain, yang penting dirinya bahagia.
Padahal hidup ini indah jika saling memberi dan memahami.
Egois bukan
hanya sikap buruk, tapi penyakit yang menghancurkan ketenangan jiwa. Orang
egois selalu merasa paling benar dan paling penting dalam segala urusan. Ia
mengira keberaniannya untuk menuntut dan mengambil itu bentuk kekuatan, padahal
itu kelemahan jiwa. Ia miskin empati, dan miskin kebijaksanaan. Akibatnya, ia
dijauhi banyak orang meski tak pernah sadar.
Dimana pun
orang egois tinggal, dia akan membawa badai. Lingkungan kerja jadi kacau,
keluarga jadi tegang, pertemanan jadi renggang. Hidup bersama orang egois
seperti berjalan di atas pecahan kaca—tak nyaman, menyakitkan, dan penuh
kewaspadaan. Ia pandai menyalahkan orang lain, tapi tak pernah mau bercermin.
Dunia kecil yang ia bangun penuh ketakutan dan pertengkaran.
Orang egois
sering merasa paling berani, padahal yang ia lakukan hanyalah memaksakan
kehendak. Ia tak tahu bahwa keberanian sejati adalah mampu mengalah demi
kebaikan bersama. Memaksakan kehendak bukan keberanian, tapi kedunguan yang
dibalut kesombongan. Egois merasa bahwa mengalah adalah kekalahan, padahal
mengalah bisa menjadi kemenangan sejati. Inilah sebabnya orang egois tak pernah
tenang, selalu gelisah dan dicurigai.
Tak ada tempat
bagi orang egois di bumi ini yang diciptakan untuk kebersamaan. Allah
menciptakan kita berbeda agar kita saling mengenal dan bekerjasama, bukan
saling menjatuhkan demi kepentingan diri. Hidup tak hanya tentang “aku”, tapi
“kita”. Tapi bagi si egois, yang penting hanyalah dirinya sendiri. Maka wajar
jika hidupnya penuh konflik dan kehampaan.
Orang egois tak
pernah puas, karena dunia ini tak akan pernah cukup untuk menuruti semua
keinginannya. Ia akan selalu merasa kurang dan iri pada orang lain. Ia menumpuk
keinginan, tapi tak pernah menumbuhkan rasa syukur. Maka hidupnya jauh dari
berkah dan keberlimpahan yang hakiki. Egois membuat hatinya keras, bahkan pada
dirinya sendiri.
Egois mematikan
nurani. Hati yang seharusnya menjadi tempat lahirnya kasih sayang, justru
tertutup oleh keinginan pribadi. Ia tak bisa lagi merasakan tangis orang lain,
karena sibuk mengejar ambisinya sendiri. Jiwa seperti ini bukan hanya gelap,
tapi juga kering dan dingin. Ia haus perhatian tapi menolak memberi cinta.
Tak ada
ketenangan sejati dalam hidup yang penuh egoisme. Orang egois mungkin terlihat
kuat di luar, tapi dalamnya kosong dan sunyi. Ketika tak ada lagi yang peduli
padanya, barulah ia sadar bahwa hidup tidak bisa sendiri. Tapi penyesalan
datang ketika semua sudah menjauh. Maka, sebelum terlambat, buanglah ego dan
tumbuhkan empati.
Dunia ini
terlalu sempit untuk orang yang tak bisa berbagi. Kita tak bisa hidup tanpa
orang lain—itu fakta. Maka egoisme adalah bentuk penolakan terhadap hakikat
kehidupan. Orang egois memenjarakan dirinya sendiri dalam benteng kesendirian.
Sementara dunia terus bergerak menuju kebersamaan.
Jika kau ingin
damai, belajarlah untuk menahan diri, memahami orang lain, dan memberi ruang
bagi pendapat yang berbeda. Dunia tak butuh orang yang paling keras, tapi yang
paling bijak. Tak butuh yang paling pintar, tapi yang paling peduli. Satu
tindakan empati lebih kuat dari seribu debat penuh ego. Dan satu jiwa yang
rendah hati bisa menyelamatkan banyak hati.
Mari kita lawan
egoisme dengan kasih sayang. Gantikan keinginan untuk menang sendiri dengan
tekad untuk menang bersama. Jangan biarkan ego mengalahkan nurani. Jadilah
manusia yang membawa cahaya, bukan bara api. Karena hidup yang indah bukan
tentang mendominasi, tapi tentang saling menguatkan.
Akhirnya, kita
harus sadar bahwa orang egois tak hanya merugikan orang lain, tapi juga merusak
dirinya sendiri. Ia kehilangan makna, kehilangan kawan, dan kehilangan damai.
Dunia akan terus berputar tanpa perlu menunggu orang egois berubah. Tapi
alangkah indahnya jika perubahan itu datang dari dirinya sendiri, sebelum
semuanya terlambat.[]