MUI untuk Siapa? Umat, Negara, atau Elite Agama?


Majelis Ulama Indonesia (MUI) lahir dengan harapan mulia: menjadi jembatan antara umat dan negara, suara moral bagi bangsa, dan pelita syariat di tengah kehidupan modern. Ia dimaksudkan sebagai lembaga kolektif ulama yang mampu mengawal umat Islam agar tetap berada di jalan yang lurus, tidak tersesat oleh arus pemikiran sesat, dan tetap menjaga harmoni dalam bingkai NKRI.

Namun, seiring perjalanan waktu, satu pertanyaan yang kian nyaring terdengar adalah: MUI ini sesungguhnya untuk siapa? Apakah benar masih untuk umat, atau telah berubah menjadi alat negara, atau bahkan ajang elitisme segelintir tokoh agama?

Kritik ini bukan tanpa alasan. Ketika suara MUI dinilai lambat menyikapi isu-isu krusial umat—seperti maraknya penyimpangan dakwah di media sosial, ketimpangan ekonomi yang menimpa kaum muslimin, atau bahkan dekadensi moral di kalangan pemuda muslim—muncul anggapan bahwa MUI tak lagi sepenuhnya berdiri di sisi umat.

Lebih menyakitkan lagi, ketika fatwa MUI terlihat selaras dengan kepentingan kekuasaan, sementara suara kritis terhadap ketidakadilan sosial nyaris tak terdengar. Dalam situasi seperti itu, umat merasa ditinggalkan, seolah-olah lembaga yang lahir dari aspirasi mereka kini menjauh, duduk di menara gading formalitas dan birokrasi.

Tentu, tidak adil jika menilai MUI hanya dari sisi kelemahannya. Banyak pula kontribusi MUI yang nyata: mulai dari sertifikasi halal yang memberi kepastian bagi konsumen muslim, pembinaan dakwah, hingga upaya menjaga akidah umat melalui fatwa-fatwa penting. Namun, di balik semua itu, ada kebutuhan besar yang belum sepenuhnya terjawab: kehadiran spiritual dan sosial yang nyata. Umat tidak hanya butuh fatwa, tetapi juga keteladanan, pembelaan, dan arah yang jelas dalam menghadapi zaman yang serba rumit.

Yang lebih menyedihkan adalah jika muncul dan ada elitisme di tubuh MUI. Posisi sebagai pengurus atau anggota kerap dianggap sebagai simbol status, bukan amanah dakwah. Akibatnya, muncul jarak antara ulama dan umat, seakan ulama hanya bisa ditemui dalam seminar, konferensi, atau acara televisi. Padahal, dalam sejarah Islam, ulama sejati justru hidup di tengah umat, mendengar jeritan rakyat, menyeka air mata fakir miskin, dan menjadi benteng terakhir saat kezaliman merebak.

Maka pertanyaannya kembali bergema: MUI ini sebenarnya milik siapa? Jika ia benar milik umat, maka harus kembali ke umat. Suaranya harus lantang membela yang lemah, sikapnya harus jujur menegur yang zalim, dan langkahnya harus tegas memandu generasi muda ke arah cahaya.

Jika ia ingin menjadi mitra negara, maka bukan sebagai tukang stempel kebijakan, melainkan penyeimbang yang memberi kritik tajam namun santun, yang menjaga nilai-nilai keadilan tetap hidup dalam bingkai kebangsaan. Dan jika ingin menjadi tempat berkumpulnya elite agama, maka elite itu harus menjadi yang paling rendah hati, paling dekat dengan umat, paling rajin mengulurkan tangan kepada yang terpinggirkan.

MUI adalah lembaga yang memiliki peran strategis. Ia bisa menjadi mercusuar kebaikan atau sekadar lampu yang redup karena tertutup kabut kepentingan. Jalan perubahan masih terbuka. Umat masih berharap. Tapi harapan tidak bisa terus-menerus dikhianati. Bila terus seperti ini, kepercayaan publik akan luntur, dan MUI hanya akan menjadi lembaga formal yang eksistensinya terasa hanya saat ada konferensi pers.

Kini saatnya bagi MUI untuk bercermin, membersihkan niat, menata ulang arah, dan kembali pada ruh awalnya: menjadi pelayan umat, penasehat negara, dan penjaga nilai-nilai langit. Umat tidak butuh kemewahan retorika. Umat hanya ingin merasa ditemani, dipandu, dan dibela. Bukan oleh penguasa. Tapi oleh ulama—yang amanah, berilmu, dan bersih hati.[Ba]