Konon, Maulana Malik Ibrahim berasal dari tanah Samarkand, jauh di Asia Tengah. Ia rela meninggalkan kemewahan dan kehormatan negeri asalnya demi menyebarkan cahaya Islam di bumi yang asing baginya. Setibanya di Gresik pada akhir abad ke-14, ia tidak langsung berbicara tentang syariat, melainkan menebar manfaat. Ia membuka pengobatan gratis untuk rakyat, mengajarkan pertanian modern, membantu masyarakat mengelola air, dan menjadi penengah bagi mereka yang berselisih. Dari sentuhan-sentuhan kecil itulah, hatinya menawan masyarakat. Islam datang bukan sebagai ancaman, tapi sebagai rahmat.
Sunan Gresik memahami bahwa dakwah sejati bukan sekadar menyampaikan, tetapi menghadirkan kasih sayang Allah dalam wujud nyata. Ia mengubah cara pandang banyak orang terhadap makna beragama: bahwa iman tumbuh bukan dari paksaan, tetapi dari kesadaran. Ia mengajarkan bahwa menjadi Muslim berarti memberi kemanfaatan, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Di tengah masyarakat Hindu-Buddha kala itu, Maulana Malik Ibrahim tampil penuh welas asih. Ia tidak menghancurkan tradisi, melainkan menyucikannya. Ia menyelipkan nilai tauhid dalam budaya, menjembatani antara masa lalu dan masa depan. Ia tidak memperolok keyakinan orang, melainkan mengajak dengan hikmah dan nasihat yang lembut — sebagaimana diperintahkan Allah dalam QS. An-Nahl: 125. Dakwahnya sejuk, tidak membakar. Ia adalah guru yang memeluk, bukan menuding.
Keteladanan Sunan Gresik tidak berhenti pada lisan, tetapi menjelma dalam tindakan nyata. Saat masyarakat kekeringan, ia turun tangan menggali sumur. Saat rakyat lapar, ia membuka lumbung. Saat banyak orang berdebat tentang agama, ia menenangkan mereka dengan senyum yang teduh dan nasihat penuh cinta. Dari tangannya, Islam tidak hanya dikenal sebagai agama, tetapi sebagai jalan hidup yang damai dan membahagiakan.
Kini, berabad-abad telah berlalu sejak jasad sucinya dimakamkan di Gresik. Namun, ruh perjuangannya tetap hidup di antara kita. Ia telah mewariskan satu hal yang tidak lekang oleh waktu: bahwa dakwah terbaik adalah akhlak yang memikat, bukan kata yang memaksa.
Ketika kita melihat dunia yang semakin keras dan individualistis, sosok Sunan Gresik mengingatkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari hati yang lembut dan tangan yang tulus. Dari seorang perantau yang datang tanpa pamrih, lahirlah generasi ulama besar — para wali sembilan — yang meneruskan cahaya Islam di seluruh Nusantara.
Sunan Gresik telah tiada, namun kehangatan teladannya abadi. Ia tidak meninggalkan istana, tidak menulis kitab tebal, tapi ia menulis sesuatu yang jauh lebih abadi — kisah cinta seorang hamba kepada Tuhannya dan kepada sesama manusia. Sebuah kisah yang mengajarkan kita bahwa untuk menyinari dunia, tak perlu berkuasa. Cukup menjadi lentera kecil yang tak pernah padam di tengah gelapnya zaman.[]