Ketika Dosa Menjadi Gaya Hidup


PELITA MAJALENGKA - 
Ada masa ketika dosa bukan lagi dianggap aib, melainkan kebanggaan. Manusia berjalan dengan kepala tegak di jalan kemaksiatan, tersenyum di tengah kehancuran iman, dan menertawakan nasihat seolah ia sekadar dongeng masa lalu. Di era ini, dosa tak lagi bersembunyi dalam gelap, tapi menari di panggung terang, bertepuk tangan bersama mereka yang kehilangan rasa malu. Padahal, setiap tawa dalam dosa adalah tangisan yang ditunda; setiap kenikmatan maksiat adalah racun yang dibungkus manis.

Ketika dosa menjadi gaya hidup, nurani perlahan mati. Hati yang dulu lembut kini membatu, telinga tak lagi peka pada panggilan adzan, dan mata tak lagi basah oleh tangisan penyesalan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Apabila seorang hamba melakukan dosa, maka akan muncul titik hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, hatinya kembali bersih; namun jika ia terus berbuat dosa, maka titik itu akan bertambah hingga menutupi hatinya.” (HR. Tirmidzi). Lihatlah, betapa mengerikannya hati yang tertutup noda—tak lagi mampu mengenali kebenaran, apalagi mencintainya.

Hari ini, dosa bukan hanya dilakukan, tapi dipromosikan. Ia disulap menjadi tren, dikemas dengan kata “kebebasan berekspresi”, “pilihan hidup”, atau “hak pribadi”. Padahal, tidak ada kebebasan sejati dalam perbudakan hawa nafsu. Dosa menipu manusia dengan janji semu: kebahagiaan instan, kenikmatan cepat, popularitas sesaat. Namun ujungnya selalu sama—hampa, gelisah, kehilangan arah. Itulah harga mahal dari gaya hidup tanpa taubat.

Coba renungkan sejenak. Betapa banyak dari kita yang dulu pernah menyesal setelah bermaksiat, namun kemudian mengulanginya lagi dan lagi, seakan Allah tidak sedang mengawasi. Kita lupa, bahwa setiap dosa meninggalkan bekas di jiwa, setiap maksiat mengikis rasa takut kepada Allah, dan setiap kelalaian menjauhkan kita dari cahaya hidayah. Allah berfirman: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23).

Ketika dosa sudah terasa biasa, maka kehancuran tinggal menunggu waktu. Bukan karena Allah zalim, tapi karena manusia yang menutup pintu rahmat-Nya sendiri. Tapi ketahuilah, selagi nyawa belum sampai di tenggorokan, pintu taubat masih terbuka. Allah itu Maha Lembut, bahkan terhadap hamba yang berkali-kali jatuh. Dia menunggu dengan kasih sayang luar biasa, menanti air mata penyesalan, menanti langkah kecil kembali ke jalan-Nya.

Wahai diri, berhentilah sebelum terlambat. Dunia yang kau kejar tak akan pernah cukup, dan dosa yang kau peluk hanya akan membakar tenangmu. Kembalilah pada sujud yang menenangkan, pada istighfar yang menyejukkan, pada Allah yang tak pernah menolak siapa pun yang datang kepada-Nya. Jangan biarkan hatimu menjadi beku sebelum merasakan hangatnya ampunan. Jangan biarkan hidupmu menjadi panggung dosa ketika surga masih menunggu di ujung taubat.

Sebab, pada akhirnya, yang tersisa bukanlah popularitas, harta, atau pujian. Yang tersisa hanyalah hati—apakah ia hidup dengan cahaya iman, atau mati karena menganggap dosa sebagai gaya hidup.[]