PELITA MAJALENGKA - Kadang retaknya sebuah rumah tangga tidak dimulai dari pertengkaran besar, bukan pula karena kehadiran orang ketiga, tapi karena satu hal sederhana: doa yang tak lagi dipanjatkan. Saat doa hilang, keberkahan perlahan pergi, ketenangan menguap, dan hati mulai terasa jauh meski raga masih tinggal serumah. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada rumah yang sunyi dari suara doa. Rumah yang dahulu dipenuhi tawa kini hanya menyisakan dingin dan diam.
Doa adalah jantung sebuah rumah tangga. Ia menghidupkan cinta, menyalakan harapan, dan menjadi tameng dari badai kehidupan. Ketika suami dan istri berhenti berdoa bersama, sesungguhnya mereka sedang membiarkan cinta mereka sekarat pelan-pelan. Dulu mereka memulai segalanya dengan doa—berdoa agar cinta ini diberkahi, agar pernikahan ini diridhai. Tapi waktu berlalu, rutinitas menggerus ketulusan, doa pun terlupakan. Dan tanpa mereka sadari, rumah itu mulai kehilangan arah.
Ibnul Qayyim pernah berkata, “Doa adalah senjata orang beriman dan tiang agama.” Bila doa menjadi tiang, maka rumah tanpa doa bagaikan bangunan tanpa fondasi—mudah retak walau diterpa angin kecil. Banyak pasangan bertahan bukan karena tak pernah bertengkar, tetapi karena selalu kembali kepada Allah lewat doa. Mereka tahu, cinta sejati bukan hanya saling memandang, tapi sama-sama memandang ke arah yang sama: menuju ridha Allah.
Namun, di rumah yang tanpa doa, segalanya terasa berat. Masalah kecil menjadi besar, salah paham jadi kebencian, dan kehangatan berubah menjadi kebekuan. Suami merasa istrinya tak lagi memahami, istri merasa suaminya berubah. Padahal mungkin bukan cinta yang hilang—tetapi keberkahan yang pergi bersama hilangnya doa.
Pernah suatu ketika seorang istri menangis di sajadah, bukan karena suaminya marah, tapi karena ia rindu saat suaminya dulu menggandeng tangannya untuk shalat berjamaah. “Dulu kami sering berdoa bersama,” katanya pelan, “sekarang kami hanya berbicara ketika ada masalah.” Air matanya jatuh, dan itulah bukti: tanpa doa, cinta kehilangan arah dan hati kehilangan sandaran.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Hati yang jarang berdoa adalah hati yang sekarat.” Maka bayangkan, jika dua hati dalam satu rumah sama-sama sekarat, betapa rapuhnya kebersamaan itu. Doa bukan hanya permohonan, tetapi bentuk cinta paling lembut. Ketika seorang suami menyebut nama istrinya dalam sujudnya, atau istri memohonkan kebaikan untuk suaminya dalam tahajudnya, Allah menurunkan rahmat di antara mereka.
Rumah tangga yang dipenuhi doa akan terasa hidup. Meski miskin harta, mereka kaya dalam ketenangan. Meski sederhana, mereka bahagia karena selalu merasa cukup dengan ridha Allah. Tapi rumah tanpa doa akan menjadi tempat paling sunyi—bukan karena tak ada suara, tapi karena Allah tak lagi disapa di dalamnya.
Wahai suami, wahai istri… kembalilah pada doa. Pegang tangan pasanganmu, meski hanya untuk mengucap, “Mari kita minta pertolongan Allah.” Karena doa bukan sekadar ritual, tapi tali langit yang menjaga rumahmu dari retak. Ingatlah, cinta akan bertahan selama ada doa yang menyatukannya. Dan jika doa berhenti, maka cinta pun perlahan akan pergi.[]
.jpg)