Cahaya dari Sindang: Makna Tersirat di Balik MTQ ke-55


PELITA MAJALENGKA - 
PAGI itu, udara Kecamatan Sindang, Kabupaten Majalengka, terasa berbeda. Mentari memancarkan sinarnya dengan kelembutan yang seolah membawa berkah. Di tengah hiruk pikuk persiapan dan suara lantunan ayat suci yang bergema dari pengeras suara, masyarakat Sindang menyambut pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-55 tingkat Kabupaten Majalengka dengan penuh sukacita. Ini bukan sekadar perlombaan membaca Al-Qur’an, tapi sebuah perayaan spiritual yang menggugah nurani dan menyalakan cahaya iman di setiap hati.

Dari berbagai penjuru desa, masyarakat berdatangan dengan pakaian terbaiknya. Wajah-wajah mereka memancarkan harapan. Anak-anak muda tampak antusias, para orang tua menatap dengan kebanggaan, dan para tokoh agama menunduk khidmat. Di balik semua itu, ada getaran yang sama: cinta kepada Al-Qur’an. MTQ di Sindang bukan sekadar ajang kompetisi, melainkan panggilan jiwa untuk kembali menyatu dengan kalam Ilahi.

MTQ ke-55 ini menjadi momentum istimewa bagi masyarakat Sindang. Setelah melalui berbagai ujian zaman—era digital yang kadang menjauhkan manusia dari nilai-nilai ketuhanan—hadirnya MTQ menjadi oase rohani. Seolah Allah menghadirkan ayat-ayat-Nya di bumi Majalengka untuk menyejukkan hati-hati yang haus akan makna dan tuntunan hidup.

Di arena utama, lantunan ayat suci terdengar begitu indah. Seorang qari muda dari pesantren lokal membacakan ayat Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan penuh penghayatan. Setiap getaran nadanya menembus kalbu, membuat banyak mata yang mendengar menitikkan air mata. Dalam suasana hening itu, terasa betul bahwa MTQ bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang siapa yang lebih dekat dengan Tuhan.

Tak hanya tilawah, berbagai cabang lomba lain turut digelar: tafsir, tahfidz, syarhil Qur’an, hingga kaligrafi. Setiap peserta bukan hanya menampilkan kemampuan, tapi juga memanifestasikan cinta kepada Al-Qur’an dalam bentuk yang berbeda. Ada yang menulis ayat dengan tangan gemetar karena haru, ada yang menghafal dengan penuh pengorbanan, dan ada pula yang menafsirkan dengan mata berkaca-kaca.

Di balik panggung gemerlap, para panitia bekerja tanpa kenal lelah. Mereka menyiapkan tempat, mengatur jadwal, memastikan peserta nyaman, dan menjaga ketertiban acara. Semua dilakukan dengan semangat ikhlas. “Kami ingin MTQ ini tak hanya menjadi lomba tahunan, tapi menjadi tanda cinta masyarakat Sindang kepada Al-Qur’an,” ujar salah satu panitia dengan mata berbinar.

Sore hari, suasana semakin syahdu. Cahaya senja berpadu dengan gema lantunan ayat yang mengisi udara. Seorang qariah remaja tampil dengan suara lembut membaca Surah Ar-Rahman. Ketika sampai pada ayat "Fabiayyi aalaa’i rabbikuma tukadzdziban", hadirin bergumam pelan, seolah menjawab panggilan Allah tentang nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung. Momen itu menjadi pengingat, betapa manusia sering lupa bersyukur.

Di tengah keramaian, tampak seorang ibu tua duduk di kursi kayu sambil menatap panggung. Ia berbisik pelan, “Dulu saya hanya mendengar Al-Qur’an dari radio, sekarang bisa mendengar langsung anak-anak kita melantunkannya.” Kalimat itu sederhana, tapi mengguncang hati. Ada rasa syukur yang dalam, ada kebanggaan bahwa generasi muda Sindang masih menjaga warisan suci ini.

Tak bisa dipungkiri, MTQ telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat Majalengka. Setiap kali digelar, ia menghadirkan semangat kebersamaan, mempererat ukhuwah, dan menumbuhkan semangat religius. Di Sindang, semangat itu terasa lebih kuat—seolah setiap rumah ingin menjadi rumah Al-Qur’an, setiap jiwa ingin terhiasi oleh ayat-ayat Allah.

Kepala Kecamatan Sindang dalam sambutannya menyampaikan pesan yang dalam: “MTQ ini bukan sekadar lomba, tapi sebuah gerakan peradaban. Ketika masyarakat mencintai Al-Qur’an, maka Allah akan menurunkan keberkahan di bumi ini.” Kalimat itu menggema di hati para hadirin, menyadarkan bahwa kemenangan sejati bukan di podium, melainkan dalam hati yang hidup bersama Al-Qur’an.

Di malam penutupan, suasana menjadi haru. Lampu-lampu menghiasi panggung, bendera dari setiap kecamatan berkibar, dan piala disiapkan untuk para juara. Namun di balik semua gemerlap itu, ada makna yang lebih dalam: bahwa setiap peserta sejatinya telah menjadi pemenang, karena mereka telah menanamkan Al-Qur’an di dalam diri mereka.

Para juara mungkin akan membawa pulang piala, tapi seluruh peserta membawa pulang sesuatu yang jauh lebih berharga—cahaya iman dan tekad untuk terus mencintai firman Allah. Mereka telah menjadi duta-duta Al-Qur’an yang akan menyinari lingkungannya dengan akhlak, ilmu, dan keteladanan.

Bagi masyarakat Sindang, MTQ ke-55 bukan sekadar agenda tahunan, melainkan peristiwa spiritual yang meneguhkan kembali jati diri mereka sebagai umat beriman. Dari anak-anak hingga orang tua, semua terlibat dan merasakan getarannya. Ada rasa bangga, ada rasa syukur, ada pula harapan besar agar generasi mendatang tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Ketika acara usai dan keramaian perlahan mereda, gema ayat suci masih terngiang di udara. Di hati banyak orang, terpatri keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dihayati dan diamalkan. Dari Sindang, cahaya itu menyala—cahaya yang menuntun umat menuju kehidupan yang lebih beradab dan penuh keberkahan.

Maka, MTQ ke-55 di Kecamatan Sindang bukan sekadar acara. Ia adalah sujud kolektif masyarakat kepada Tuhan mereka. Ia adalah bentuk cinta yang nyata terhadap kalam-Nya. Dari mimbar Sindang, suara para qari dan qariah menggema bukan hanya di telinga, tetapi di relung jiwa. Seolah-olah Al-Qur’an berbicara langsung kepada kita semua: “Wahai hamba-hamba-Ku, dekatlah kepada-Ku, dan Aku akan menerangi jalanmu.”[]