Dari Majalengka untuk Al-Aqsha: Tiga Santri Penghafal Qur’an yang Menulis dengan Hati untuk Palestina


PELITA MAJALENGKA
- Di antara rimbunnya pepohonan dan udara sejuk pegunungan Lemahsugih, Majalengka, tiga santri muda Pondok Pesantren Tahfiz Nurul Bayan menatap dunia dengan mata yang penuh harapan. 

Di tangan mereka, bukan senjata atau bendera, melainkan pena — alat sederhana yang mereka jadikan jalan dakwah dan cinta. Mereka menulis bukan untuk terkenal, tapi untuk menyuarakan kepedihan dan doa bagi tanah suci Al-Aqsha, bumi para nabi yang kini bersimbah luka.

Mereka adalah Fathia Aulia Azzahra, Hanifatul Muslimah, dan Amira Reema Aryashi — tiga nama yang kini tercatat sebagai penulis muda nasional dalam ajang literasi “Cinta Al-Aqsha, Jaga Palestina” yang digagas oleh Aqsa Writing Forum (AWF) Bandung. Dari puluhan naskah yang datang dari berbagai penjuru negeri, karya mereka menembus 27 naskah terbaik dari 17 penulis muda yang akan dibukukan secara nasional.

Ketiganya masih belia, masih duduk di pesantren, tetapi semangat mereka melampaui usia. Saat sebagian remaja sibuk mencari sorotan dunia maya, mereka justru menghabiskan waktunya dengan hafalan ayat-ayat suci dan menulis kisah tentang perjuangan Palestina.

Bagi Fathia Aulia Azzahra, kelolosannya terasa seperti keajaiban kecil dari Allah.
Alhamdulillah, nggak nyangka banget bisa lolos dari event ini,” ucapnya dengan senyum malu dan mata yang berkaca. “Ini pengalaman pertamaku menulis artikel, dan ternyata bisa jadi salah satu penulis muda nasional. Bersyukur banget.

Senada dengan Fathia, Hanifatul Muslimah pun tak dapat menahan rasa harunya. Ia mengaku sempat ragu untuk ikut lomba, merasa tulisannya sederhana dan jauh dari sempurna.

Awalnya nggak percaya, ini pertama kalinya aku ikut event kayak gini,” ujarnya lembut. “Tapi aku yakin, kalau niatnya baik dan tulus, Allah pasti kasih jalan. Semoga ini jadi langkah awal buat terus berbagi ide dan manfaat lewat tulisan.

Sementara itu, Amira Reema Aryashi, santri yang dikenal pendiam namun berjiwa lembut, menuturkan bahwa tulisannya lahir dari empati mendalam.

Aku nulis sambil ngebayangin anak-anak Palestina yang seusia kita, yang mungkin nggak bisa tidur karena bom, tapi mereka tetap hafal Qur’an dengan semangat luar biasa. Aku pengen tulisan ini jadi doa buat mereka.

Ia menatap jauh ke halaman pesantren, seolah melihat bayangan anak-anak Gaza yang tetap tersenyum di tengah reruntuhan.

Sekretaris AWF, Urfa Kaida, menyampaikan bahwa karya ketiga santri Nurul Bayan sangat menyentuh hati tim juri.

Tulisan mereka sederhana, tapi mengandung kekuatan spiritual. Ada kepedihan, ada cinta, ada doa. Itu yang membuatnya berbeda,” ujarnya.

Pondok Pesantren Tahfiz Al-Qur’an Nurul Bayan, yang beralamat di Kampung Cinta Bakti, Desa Mekarwangi, Kecamatan Lemahsugih, Majalengka, memang memiliki visi besar — menjadi pusat penghafal Al-Qur’an yang mencetak kader da’iyah bertaraf internasional. Di pondok ini, para santri tidak hanya belajar menghafal ayat, tapi juga bagaimana menghidupkannya dalam kehidupan nyata, termasuk lewat dakwah literasi.

Pimpinan pondok, Ustazd Abu Nafis, menuturkan bahwa keberhasilan santri-santrinya adalah buah dari pendidikan yang berlandaskan cinta kepada Al-Qur’an dan kepedulian terhadap umat.

Kami selalu tanamkan kepada anak-anak, bahwa hafalan bukan sekadar untuk diingat, tapi untuk diamalkan dan disuarakan. Salah satu bentuk dakwah itu lewat tulisan. Pena bisa menjadi saksi bahwa hati seorang penghafal Qur’an tak hanya dekat dengan langit, tapi juga peka terhadap derita sesama,” ujarnya dengan mata yang berkaca haru.

Di pesantren itu, waktu seolah berjalan lebih lambat. Suara lantunan ayat-ayat suci setiap pagi berpadu dengan suara burung-burung yang menandakan kesejukan iman. Di sela jadwal hafalan dan kajian, tiga santri itu menulis. Mereka menulis dengan tangan kecil, tapi dengan hati yang luas. Setiap kalimat yang mereka goreskan, lahir dari cinta dan doa untuk Palestina — negeri yang mereka cintai meski belum pernah mereka injak.

Kini, karya mereka akan dibukukan. Dan kelak, ketika buku itu dibaca di berbagai kota di Indonesia, nama mereka akan dikenang bukan karena prestasi akademik semata, tapi karena ketulusan iman yang mereka ukir lewat kata. Dari Majalengka, gema cinta itu berangkat — menembus jarak, menembus batas, membawa pesan dari santri penghafal Qur’an untuk dunia, 

“Kami mungkin tak bisa mengirim bantuan, tapi kami bisa mengirim doa.
Kami mungkin belum kuat berjuang di medan, tapi kami bisa menulis.
Dan tulisan kami adalah bentuk cinta kami kepada Al-Aqsha.”

Mereka adalah wajah masa depan Islam yang tidak hanya menghafal ayat, tapi juga menyalakan cahaya kebaikan di dunia nyata. Karena bagi mereka, dakwah bukan hanya di mimbar — tapi juga di lembar.[BA]