Belajar Itu Mulia, Tapi Harus Membekas dalam Amal
Islam memuliakan ilmu dan mengangkat derajat orang-orang berilmu. Dalam surah Al-Mujadilah ayat 11, Allah berfirman, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Namun, kemuliaan ilmu tidak terletak pada banyaknya catatan, hafalan, atau jumlah kajian yang dihadiri, melainkan pada seberapa besar ilmu itu diamalkan dalam kehidupan nyata.
Sayangnya, sebagian dari kita terjebak pada euforia mencari ilmu tanpa memperhatikan kualitas amal. Semangat mencatat materi ustaz, tetapi lupa mencatat kebutuhan anak. Aktif menyimak kajian parenting Islami, tapi anak sendiri ditinggalkan terlalu lama dengan gawai. Rajin hadir di kajian rumah tangga sakinah, tapi enggan berdialog dengan pasangan. Ilmu dan amal tidak boleh dipisahkan. Ilmu yang tidak menggerakkan amal hanyalah beban.
Lalai dalam Peran: Ibadah yang Timpang
Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah sosial (hablum minannas). Tidaklah cukup seseorang rajin shalat malam dan hadir di majelis taklim jika dalam kehidupan sehari-hari ia mengabaikan peran sebagai ayah, ibu, atau anggota masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Menjadi istri yang shalihah bukan sekadar ikut halaqah pekanan, tapi juga sabar dalam mendampingi suami dan telaten membesarkan anak. Menjadi suami shalih bukan hanya hadir rutin di majelis ilmu, tapi juga terlibat penuh dalam mendidik anak, mencukupi nafkah, dan menjadi imam yang memimpin keluarga menuju ketaatan.
Kajian Bukan Pelarian dari Kewajiban
Ada kalanya seseorang menggunakan kajian sebagai bentuk pelarian dari realitas. Saat merasa jenuh dengan beban rumah tangga, lelah menghadapi pasangan atau anak, ia lebih memilih pergi ke kajian sebagai bentuk “pelipur lara.” Padahal sejatinya, ilmu harus membuat kita lebih siap menghadapi realitas, bukan melarikan diri darinya.
Jangan sampai kita menjadi seperti penuntut ilmu yang disebut dalam kitab Ihya Ulumuddin, yaitu mereka yang belajar bukan untuk diamalkan, tapi hanya untuk kebanggaan, prestise, atau pelarian dari tanggung jawab. Akhirnya, majelis ilmu menjadi semacam “tempat singgah” yang menenangkan hati, tapi tidak mengubah laku.
Tarbiyah Itu Membentuk, Bukan Sekadar Mendengar
Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) bukan sekadar proses mendengarkan ceramah, tapi proses pembentukan karakter. Orang yang sudah lama ikut kajian seharusnya makin dewasa dalam peran hidupnya, bukan makin menjauh. Makin banyak ilmu, seharusnya makin banyak kontribusi nyata.
Ilmu harus membentuk keteladanan dalam sikap, ketekunan dalam tanggung jawab, dan konsistensi dalam peran. Seorang ibu yang mengikuti kajian rutin seharusnya makin hangat kepada anak-anaknya, bukan makin sering menitipkan mereka ke orang lain. Seorang pemuda yang aktif dalam halaqah seharusnya menjadi anak yang makin patuh kepada orang tua dan makin rajin dalam pekerjaan atau kuliahnya.
Menyeimbangkan Ilmu dan Amal
Keseimbangan antara ilmu dan peran sosial adalah kunci keberhasilan dakwah. Rasulullah SAW bukan hanya seorang guru di masjid, tapi juga suami yang romantis, ayah yang penyayang, pemimpin yang adil, dan tetangga yang baik. Dalam setiap peran, beliau menjadi teladan yang utuh.
Maka, sudah seharusnya orang-orang yang semangat dalam kajian juga menjadi yang terdepan dalam kebaikan sosial. Ilmu itu cahaya. Tapi jika cahaya itu tidak menerangi rumah sendiri, maka di mana letak manfaatnya?
Kesimpulan: Ilmu Harus Menghidupkan Peran
Menjadi penuntut ilmu adalah kemuliaan, tapi jangan sampai semangat itu justru membuat kita lalai terhadap amanah kehidupan. Ukuran keberhasilan kajian bukan pada banyaknya hadir, tapi pada sejauh mana hidup kita berubah menjadi lebih amanah, peduli, dan penuh tanggung jawab.
Jangan sampai kita dikenal sebagai “rajin kajian” tapi gagal sebagai suami, istri, ayah, ibu, atau tetangga. Ilmu harus menghidupkan peran, bukan menggantikan peran. Itulah hakikat keberkahan ilmu yang sebenarnya.[Ba]