PELITA MAJALENGKA - Di tengah arus modernitas dan kebebasan yang kebablasan, kita menyaksikan fenomena yang memilukan: menikahi wanita setelah ia hamil di luar nikah. Apa yang dulu dianggap aib besar dan musibah moral, kini justru terlihat seperti hal biasa. Banyak yang berkata, "Yang penting dinikahi," seolah akad nikah menjadi solusi instan dari kesalahan besar. Padahal, zina tetaplah zina, dan kehamilan sebelum halal adalah bukti nyata perbuatan yang dimurkai Allah.
Masyarakat kini mulai permisif, memberi ruang luas bagi perilaku yang dulu dianggap sebagai pelanggaran berat. Menikah setelah hamil bukan lagi solusi syar’i, tetapi bentuk “perbaikan citra” agar tampak suci di mata manusia. Mereka lupa bahwa Allah Maha Melihat segalanya, termasuk niat di balik sebuah akad. Akad seharusnya menjadi awal ketaatan, bukan penutup dosa yang dibungkus pesta.
Zina dalam Islam bukan sekadar pelanggaran sosial, melainkan kehinaan spiritual yang merusak jiwa, akhlak, dan keturunan. Allah berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32). Menikah setelah berzina tanpa taubat hanyalah formalitas yang tak menyentuh langit. Bagaimana mungkin mengharap sakinah mawaddah wa rahmah dari hubungan yang dibangun di atas maksiat?
Fenomena ini menyedihkan, karena sebagian orang tua justru mendorong "pernikahan cepat" setelah anaknya hamil, bukan karena ingin memperbaiki diri, tetapi karena malu pada tetangga. Harga diri lebih dijaga daripada murka Allah. Mereka menutup aib dengan akad, padahal yang lebih penting adalah membuka hati untuk bertaubat. Bukan akad yang salah, tapi waktunya yang sudah jauh dari semestinya.
Anak-anak yang lahir dari hubungan ini tidak bersalah, tetapi orang tua yang tidak bertaubat menyisakan luka batin dan spiritual. Akad yang dipaksakan hanya demi legalitas dunia akan kosong dari keberkahan jika tidak diiringi dengan taubat nasuha. Rumah tangga yang dibangun tanpa pondasi iman akan mudah goyah oleh ujian. Bukan kebahagiaan yang datang, tapi kegelisahan yang terus mengintai.
Saat zina tidak lagi dianggap aib, maka kehormatan wanita akan jatuh pada titik paling rendah. Lelaki yang dahulu menggoda lalu menghamili, kini disebut bertanggung jawab karena mau menikahinya. Padahal sejatinya, ia sedang menambal robekan besar yang ia buat sendiri. Ini bukan tanggung jawab sejati, tapi upaya menyelamatkan wajah dari malu.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina berzina ketika ia beriman." (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, saat zina dilakukan, cahaya iman padam sejenak dari hatinya. Maka pernikahan yang dilakukan tanpa taubat adalah bangunan yang dibangun dalam gelap. Ia bisa runtuh sewaktu-waktu, karena pondasinya bukan iman, melainkan rasa takut diketahui manusia.
Seharusnya, ketika zina terjadi, yang pertama dilakukan adalah menangis dalam istighfar yang tulus. Kembalilah kepada Allah dengan hati yang remuk dan jiwa yang tunduk. Barulah setelah itu, jika ingin menikah, lakukan karena ingin memperbaiki diri dan menempuh jalan halal dengan serius. Pernikahan setelah taubat bisa menjadi jalan menuju kebaikan, bukan sekadar menutupi keburukan.
Fenomena ini mengajarkan kita bahwa pendidikan akhlak dan iman harus ditanam sejak dini. Jangan ajari anak-anak bahwa zina bisa diselesaikan dengan akad, tapi tanamkan bahwa kehormatan dan taqwa lebih mulia dari nafsu sesaat. Masyarakat harus berani bicara bahwa zina adalah petaka, bukan sekadar kesalahan kecil yang bisa “diatur”. Jika kita semua diam, maka dosa ini akan menjadi budaya.
Media sosial dan hiburan yang meromantisasi hubungan bebas harus disaring dengan iman. Jangan biarkan tayangan cinta haram mempengaruhi cara berpikir generasi muda. Kita harus kembali menguatkan pesan bahwa cinta sejati adalah cinta yang taat kepada Allah. Bukan cinta yang membuat dosa terasa manis, dan pernikahan terasa sebagai pelarian, bukan peribadahan.
Menikah itu suci, dan harus dijaga kesuciannya. Jangan biarkan akad menjadi topeng dari kehamilan yang tak halal. Jadikan akad sebagai mahkota kehormatan, bukan lembaran penghapus aib. Karena Allah tidak menilai penampilan, tapi isi hati dan amal yang tulus.
Mari kita sadarkan kembali masyarakat bahwa zina tetaplah dosa besar, dan menikah setelah hamil bukanlah akhir dari masalah—kecuali diiringi dengan taubat sejati. Jangan normalisasi petaka menjadi budaya. Jadilah generasi yang menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Karena pernikahan sejati lahir dari ketaatan, bukan dari ketakutan atau malu semata.[BA]