DPR Kenyang Harta, Rakyat Kenyang Janji


PELITA MAJALENGKA - 
Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya adalah lembaga yang lahir dari rahim rakyat untuk membela suara rakyat. Namun, realitas hari ini memperlihatkan wajah yang jauh berbeda. Mereka lebih sibuk memperjuangkan kepentingan pribadi ketimbang memikirkan derita rakyat. Seolah amanah suci hanya berubah menjadi panggung perebutan harta.

Ironisnya, gaji dan tunjangan DPR mengalir deras bak air sungai di musim hujan. Sementara rakyat yang mereka wakili berjuang mati-matian sekadar membeli beras dan minyak goreng. Ada jurang besar antara kenyamanan elite parlemen dengan penderitaan masyarakat jelata. Inilah potret nyata ketidakadilan yang menampar nurani bangsa.

Rakyat hanya diberi janji manis saat musim pemilu tiba. Namun, setelah duduk di kursi empuk, janji itu menguap tanpa jejak. Mereka tersenyum dalam baliho, tapi lupa menangis bersama rakyat yang menderita. Seakan kursi DPR adalah tiket untuk melupakan nurani.

Kenyang harta, tapi kosong dari rasa syukur dan tanggung jawab. Mereka tak pernah puas menimbun fasilitas, perjalanan dinas, dan tunjangan berlapis. Sementara petani keringatnya tak dihargai, buruh suaranya tak didengar, dan nelayan jerih payahnya tak dilihat. Ada ketimpangan moral yang begitu menyakitkan.

Mereka sering bicara tentang konstitusi, tapi lupa menjalankan isi hatinya. Konstitusi menuntut keadilan, sementara kebijakan mereka menindas yang lemah. Konstitusi menuntut kesejahteraan, sementara mereka sibuk mempertebal dompet. Seolah kursi DPR adalah ladang panen pribadi, bukan amanah ilahi.

Setiap rapat penuh drama politik, namun minim solusi nyata. Mereka sibuk berdebat soal kekuasaan, sementara rakyat berdebat soal harga cabai dan beras. Mereka berteriak lantang tentang kepentingan bangsa, tapi diam seribu bahasa saat rakyat menjerit. Politik jadi panggung sandiwara, bukan ruang perjuangan sejati.

Betapa menyakitkan, ketika DPR lebih cepat mengetok palu untuk kepentingan dirinya ketimbang kepentingan rakyat. Peraturan tentang gaji, tunjangan, dan fasilitas segera disetujui tanpa banyak pertimbangan. Tapi kebijakan pro-rakyat selalu tertunda, penuh alasan, dan berliku panjang. Seakan rakyat hanyalah catatan kaki dalam buku tebal kekuasaan.

Rakyat kenyang janji, tetapi tetap lapar kenyataan. Mereka menunggu keadilan, tapi yang datang hanyalah ilusi. Mereka mengharap perhatian, tapi yang hadir hanyalah pengabaian. Beginilah wajah DPR yang kehilangan arah sebagai wakil rakyat sejati.

Jika kursi parlemen hanya dipakai untuk memperkaya diri, itu bukan lagi perwakilan rakyat, melainkan perwakilan kerakusan. Sejarah akan mencatat, bahwa DPR pernah menjadi simbol pengkhianatan terhadap penderitaan bangsa. Nama mereka akan disebut bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai beban sejarah. Dan kelak, nurani akan menuntut keadilan yang tak bisa dihindari.

Sudah saatnya DPR bercermin pada penderitaan rakyat. Kursi empuk hanyalah sementara, sementara amanah rakyat akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Tidak ada gaji, tidak ada tunjangan, tidak ada harta yang bisa menyelamatkan mereka dari hisab yang pedih. Jika terus begini, mereka sedang menggali kubur kehormatan sendiri.

Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh bukti. Rakyat tidak butuh drama politik, rakyat butuh keadilan nyata. Jika DPR ingin dikenang dengan baik, berhentilah menumpuk harta dan mulailah menumpuk amal. Karena pada akhirnya, sejarah dan Tuhan tidak pernah lupa pada pengkhianatan nurani.[BA]