Sekolah Reyot, Istana Mewah: Ironi Negeri Berkedok Adil

Rumah mewah pejabat (atas), sekolah yang melahirkan pemimpin besar itu runtuh karena termakan usianya yang senja (bawah)
PELITA MAJALENGKA - Di sebuah desa terpencil, anak-anak berlarian ke sekolah dengan wajah penuh semangat. Namun, bangunan yang mereka tuju bukanlah gedung megah dengan cat putih mengkilap dan jendela kaca bening. Yang ada hanyalah ruang kelas reyot, dinding bambu yang mulai berlubang, atap bocor yang meneteskan air setiap hujan, dan bangku kayu lapuk yang tak layak lagi diduduki. Inilah potret nyata pendidikan di banyak sudut negeri yang katanya adil dan makmur.

Kontras sekali bila dibandingkan dengan megahnya istana para pejabat yang mengaku bekerja demi rakyat. Lantai marmer berkilau, lampu kristal seharga miliaran, dan taman istana dengan air mancur yang seolah menari. Ironi yang menusuk: anak-anak masa depan bangsa harus belajar di bangunan rapuh, sementara para penguasa bernaung di balik dinding kemewahan yang tak pernah mereka hirupkan untuk rakyat kecil.

Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan utama menuju kemajuan bangsa, justru dibiarkan berjalan pincang. Anak-anak duduk berhimpitan, kadang tiga sampai empat orang berbagi satu meja. Guru yang digaji rendah tetap mengajar dengan ikhlas, meski buku pelajaran usang dan papan tulis sudah tak jelas lagi warnanya. Bagaimana mungkin bangsa ini berharap generasi emas lahir dari rahim pendidikan yang kian lapuk?

Lebih menyedihkan lagi, cerita-cerita memilukan datang dari berbagai pelosok. Ada anak yang terpaksa berjalan puluhan kilometer melewati hutan dan sungai hanya untuk sampai ke sekolah yang nyaris roboh. Ada yang harus rela belajar tanpa sepatu, bahkan ada yang tak bisa sekolah sama sekali karena bangunan sudah runtuh dan tak ada perhatian dari pemerintah. Mereka tetap tersenyum, tetap bersemangat, seolah memberi pelajaran kepada kita bahwa harapan tak boleh padam meski negara abai.

Sementara itu, di layar televisi, kita disuguhi berita peresmian gedung-gedung baru nan mewah, pesta ulang tahun pejabat dengan anggaran ratusan juta, hingga renovasi istana yang nilainya triliunan. Di mana letak keadilan ketika yang seharusnya menjadi prioritas utama—pendidikan—justru berada di urutan paling bawah? Ironi ini semakin menegaskan bahwa negeri ini lebih sibuk merawat simbol kekuasaan ketimbang masa depan anak bangsa.

Tak jarang, para pemimpin berpidato manis di depan kamera, mengutip ayat-ayat suci tentang pentingnya pendidikan, tentang bagaimana anak-anak adalah investasi bangsa. Namun kenyataannya, investasi itu hanya berhenti di bibir. Anggaran pendidikan memang disebut besar, tapi entah menguap ke mana. Korupsi merajalela, proyek-proyek fiktif dibuat, dan sekolah-sekolah reyot tetap dibiarkan seolah bukan masalah.

Padahal, setiap bocornya atap sekolah bukan sekadar masalah infrastruktur. Ia adalah simbol bocornya tanggung jawab negara. Setiap kursi lapuk adalah cermin rapuhnya komitmen pemerintah terhadap generasi muda. Dan setiap buku lusuh adalah bukti bahwa kata “adil” hanyalah slogan kosong yang tak pernah benar-benar diwujudkan.

Mereka yang berada di puncak kekuasaan mungkin lupa, istana mewah tak akan dikenang oleh rakyat. Yang akan dikenang adalah anak-anak yang gagal menggapai cita-cita karena negara tak memberi mereka kesempatan. Sejarah akan mencatat, bukan tentang indahnya lampu kristal di ruang rapat, tapi tentang anak-anak desa yang berjuang belajar di sekolah yang nyaris roboh.

Rasa sakit itu semakin terasa ketika kita tahu bahwa negeri ini kaya raya. Sumber daya alam melimpah, pajak rakyat terus dipungut, utang negara kian menggunung atas nama pembangunan. Namun hasilnya, rakyat kecil masih hidup dalam ketidakadilan yang nyata. Kekayaan negeri ini seakan hanya mengalir ke segelintir orang, sementara rakyat jelata hanya mendapat sisa remah yang tak seberapa.

Di sinilah letak ironi yang menyayat hati: negeri ini sering membanggakan diri sebagai bangsa religius, bangsa berbudaya, bangsa besar dengan sejarah emas. Namun, di balik semua itu, kita menyaksikan anak-anak bangsa belajar di ruang kelas berlubang, penuh debu, tanpa fasilitas layak. Di manakah rasa malu para pemimpin? Di manakah nurani mereka yang setiap hari disumpah atas nama rakyat?

Anak-anak itu adalah cermin masa depan. Bila kita biarkan mereka belajar di ruang reyot, jangan harap bangsa ini akan berdiri tegak di masa depan. Bila kita biarkan ketidakadilan terus merajalela, jangan salahkan jika negeri ini hanya menjadi penonton di panggung dunia. Sebab peradaban besar tidak dibangun di atas istana mewah, melainkan di atas kokohnya fondasi pendidikan rakyatnya.

Kini, saatnya kita bertanya dengan suara keras: untuk siapa sebenarnya negara ini berdiri? Untuk rakyat yang setiap hari berkeringat demi sesuap nasi, atau untuk penguasa yang sibuk menghiasi istananya? Apakah adil bila rakyat dipaksa tunduk membayar pajak, tapi tak diberi hak atas pendidikan yang layak? Apakah pantas pemimpin beristirahat di kasur empuk, sementara anak-anak belajar di lantai tanah yang dingin?

Seharusnya, negara belajar dari kesabaran rakyatnya. Anak-anak desa tetap berangkat ke sekolah meski jaraknya jauh. Guru-guru tetap mengajar meski gaji tak seberapa. Orang tua tetap mendorong anaknya belajar meski harus menjahit pakaian lama. Semua itu adalah bentuk kesetiaan rakyat terhadap masa depan negeri. Maka, apa balasan negara kepada mereka?

Jika keadilan masih terus bersembunyi di balik retorika, jika kepedulian hanya lahir di masa kampanye, maka yakinlah: istana mewah itu tak lebih dari simbol pengkhianatan. Ia akan runtuh, bukan karena rayap, tapi karena kutukan sejarah. Sebab bangsa yang menelantarkan pendidikannya, sejatinya sedang menggali kuburnya sendiri.

Akhirnya, artikel ini bukan sekadar kritik, tapi juga doa dan seruan. Doa agar masih ada pemimpin yang benar-benar peduli. Seruan agar kita semua tak lagi diam melihat ketidakadilan ini. Karena setiap sekolah reyot adalah tangisan masa depan, dan setiap istana mewah adalah tamparan bagi nurani. Semoga negeri ini segera sadar, sebelum semuanya terlambat.[BA]