Ketika Brand Menciptakan Ilusi Kehalalan

Mewaspadai makanan non halal berkedok halal
Oleh Sawqi Saad El Hasan*

Viralnya kabar tentang sebuah warung makan di Solo yang ternyata menggunakan bahan non-halal tanpa pemberitahuan yang bukan hanya masalah pelanggaran prosedur. Seperti petir yang hadir di siang bolong, tentunya membuat gempar konsumen karena warung tersebut dikenal "enak" sejak dahulu.

Nama baik yang sebelumnya dikenal dari status warung sebagai kuliner lokal yang termahsyur, kini dipertanyakan. Ilusi kehalalan yang sudah terbentuk selama ini tertanam di benak masyarakat karena menu dan rasa yang otentik berasal dari bahan non-halal.

Warung itu tidak hanya menjual makanan. Mereka menjual rasa aman. Rasa tenang karena pembeli merasa apa yang mereka santap sesuai dengan keyakinan. Branding bernuansa Islami, sambutan hangat dari karyawan, testimoni dari pembeli yang menyebutkan bahwa warung ini “aman,” semuanya menjadi bagian dari citra yang dibuat dengan hati-hati. Ilusi yang tercipta tidak membutuhkan sertifikasi resmi, cukup dengan membiarkan publik "mengimajinasikan" kesuciannya. 

Anatomi Pembentukan Ilusi

Fakta bahwa warung makan ini sudah beroperasi sangat lama menjadi semacam tameng yang memperkuat kepercayaan masyarakat. Lama kelamaan, muncul persepsi bahwa umur usaha dianggap cukup sebagai bukti bahwa tempat itu aman. Banyak yang berpendapat, “Kalau memang tidak halal, pasti sudah ditutup.”

Tapi masalahnya bukan hanya soal apa yang diucapkan, tapi juga soal yang tidak pernah diungkapkan. Warung makan itu juga tidak pernah bilang secara langsung kalau makanannya haram. Diam yang lama ini justru diisi oleh asumsi positif dari pelanggan. Apabila tidak ada pihak yang meragukan, akhirnya banyak orang menganggapnya "aman".

Cerita yang disampaikan oleh satu orang kepada yang lainnya mengenai kesannya selama makan di warung tersebut akan memberikan keyakinan yang postif untuk memberikan pembenaran. Melihat konsumen Muslim makan di sana seolah menjadi pembenaran sosial yang diam-diam diakui. Semua ini membentuk opini kolektif bahwa warung makan itu halal, padahal keyakinan itu lahir tanpa dasar yang jelas.

Justru persepsi inilah yang jauh lebih kuat dampaknya daripada label resmi. Sering kali yang diyakini masyarakat bukan berasal dari bukti yang sah, tapi dari pengulangan, kebiasaan dan asumsi yang diwariskan begitu saja. Saat komunikasi resmi tidak hadir, narasi dibentuk oleh tindakan konsumen. Ketika narasi ini tumbuh tanpa disanggah, ia berubah jadi “kebenaran” yang dipercaya bersama-sama.

Brand bisa menciptakan ilusi tentang status mereka (seperti halal) yang didukung oleh reputasi, pemasaran berbasis mulut ke mulut atau bahkan ketiadaan klaim negatif. Masyarakat "menyaksikan" dan percaya pada narasi yang dibangun. Hal tersebut menunjukkan bagaimana ilusi kehalalan dapat bertahan puluhan tahun karena adanya spektakel kepercayaan yang terbangun.

Runtuhnya Ilusi Kehalalan 

Pengakuan penggunaan bahan non-halal sangat berdampak kepada konsumen. Hal itu seperti sambaran petir disertai gemuruh di siang bolong karena berdampak negatif merontokkan citra yang sudah dibangun lebih dari setengah abad. Realitas yang tersembunyi tiba-tiba menyeruak, mengubah loyalitas menjadi amarah.  

Bagi konsumen, hal ini bukan sekadar pelanggaran bisnis, melainkan pengkhianatan keyakinan. Mereka merasa dikhianati oleh entitas yang sudah dianggap sebagai "warisan dan tradisi keluarga."  Terlebih lagi di era media sosial, kejujuran yang pahit menyebar lebih cepat daripada kabar burung.

Fenomena tersebut menyulut skeptisisme massal. Sebelumnya juga sudah pernah mengalami kasus serupa tapi kepada temuan lapangan hasil investigasi pihak BPJPH yang menunjukan dari sembilan produk, terdapat dua produk yang mengandung bahan non-halal.

Apabila warung makan yang sudah eksis selama lebih dari setengah abad dan dianggap "terpercaya" saja bisa mengelabui konsumen dengan memoles citra, bagaimana dengan produk lainnya?

Apabila hendak membangun ulang kepercayaan publik dan tetap bisa jaga itu, ilusi harus diganti menjadi keterbukaan. Bukan lagi soal tempel label halal di depan toko supaya kelihatan sah. Tapi harus dipahami sebagai proses panjang dan ketat yang harus dilalui. Mulai dari dapur sampai ke meja, semuanya wajib dicek dan dibuktikan terbuka.

Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat juga harus kritis untuk meminta bukti, tidak hanya mengandalkan reputasi atau rekomendasi viral dari pemegaruh (influencer). Masyarakat juga perlu belajar supaya lebih kritis.

Jangan percaya karena warungnya ramai atau rekomendasi dari influencer yang bilang enak. Konsumen harus lebih aktif meminta kejelasan, meminta bukti. Jadi bukan hanya terima saja apa yang disajikan. Sekarang sudah ada situs halal.go.id yang bisa dipakai untuk mengecek apakah sebuah produk sudah punya sertifikasi halal atau belum. Tapi situs itu juga perlu ditingkatkan.

Informasi soal produk jangan hanya nama, tanggal berlakunya sertifikasi dan nama perusahaan, tapi juga ada foto produk, keterangan lengkap dan komposisi produk. Terdapat banyak produk yang namanya mirip, beda sedikit tapi isinya bisa jauh beda. Tujuannya agar konsumen tidak salah beli dan yakin dengan apa yang mereka pilih.

Keluar dari Bayang Ilusi

Upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik ini tidak bisa jalan sendirian. Harus ada kerja sama yang serius, bukan sekadar formalitas. Pemerintah, pelaku usaha dan LPH wajib duduk bersama, saling terbuka dan benar-benar berniat membangun sistem yang bisa dipertanggungjawabkan. Transparansi jadi fondasi utama dan bukti harus jadi ukuran, bukan sekadar janji atau klaim sepihak.

Semua itu tidak akan hanya jadi wacana jika semua pihak kerja sama. Pemerintah perlu menguatkan aturan dan pengawasan soal sertifikasi halal secara totalitas, tidak bisa setengah-setengah. Setiap proses harus diaudit secara terbuka dan bisa dilacak, gunakan teknologi blockchain supaya jelas dari hulu sampai hilir.

Pelaku usaha juga tidak bisa tinggal diam. Transparansi harus jadi pegangan utama. Mereka perlu buka semua proses produksi, dari bahan baku sampai penyajian, tujuannya agar bisa diverifikasi. Jangan hanya klaim halal secara sepihak, tapi kasih bukti yang bisa dilihat dan dipercaya.

LPH juga punya peran penting. Integritas dan profesionalisme mereka harus terus dijaga dan ditingkatkan. Setiap audit harus dijalankan dengan serius, tidak ada celah untuk bermain aman atau kompromi karena standar kehalalan adalah halal itu harga mati.

Fenomena yang terjadi pada warung makan di Solo adalah fenomena gunung es. Mungkin saja masih banyak lagi warung makan seperti itu yang memukau tetapi tanpa integritas. Bagi pelaku usaha, ini peringatan untuk menjadikan halal sebagai komitmen dan bukan dianggap sebagai komoditas untuk keuntungan semata.

Bagi konsumen, fenomena ini adalah pengingat untuk lebih kritis. Tanyakan kepada penjual/pramusaji, verifikasi dan jangan terjebak nostalgia. Sebagai konsumen, kita harus memastikan bahwa kehalalan bukanlah hal sepele, tapi realitas yang hidup dalam setiap gigitan.[]

*Pendamping Proses Produk Halal Universitas Indonesia Halal Center dan Dosen Tetap STEBIS Bina Mandiri Cileungsi