Dunia Hanya Persinggahan


PELITA MAJALENGKA - 
Ada kalanya kita lupa bahwa kehidupan ini bukanlah tujuan akhir. Kita sibuk mengejar pekerjaan, membangun rumah, mengumpulkan harta, hingga mengikat diri dengan jabatan dan pujian manusia. Padahal, semua itu hanyalah fatamorgana yang suatu saat akan pudar. Dunia ini, dengan segala gemerlapnya, bukan rumah abadi kita. Ia hanya persinggahan, sekadar tempat singgah sementara sebelum perjalanan panjang menuju keabadian. Kesadaran ini sering kali tertutup oleh kesibukan sehari-hari, padahal hati kecil kita selalu berbisik: “Aku akan kembali, aku bukan di sini selamanya.”

Bayangkan kita dalam sebuah perjalanan jauh. Di tengah jalan, kita berhenti sejenak di sebuah tempat peristirahatan. Di sana kita bisa makan, minum, dan beristirahat. Namun apakah ada orang yang menjadikan tempat singgah itu sebagai rumah? Tidak. Begitulah dunia ini: hanya tempat transit, bukan terminal terakhir. Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan, “Jadilah engkau di dunia seperti seorang asing atau seorang pengembara.” Kalimat itu sederhana, namun jika direnungkan dalam-dalam, ia membelah kesadaran kita. Hidup ini bukanlah untuk menetap, melainkan untuk menyiapkan bekal perjalanan yang sesungguhnya, yakni akhirat.

Betapa banyak orang yang tertipu oleh dunia. Mereka berlari tanpa arah, mengejar mimpi dunia seakan itulah kebahagiaan sejati. Namun ketika ajal datang, semua berakhir dalam sekejap. Rumah megah ditinggalkan, rekening penuh saldo tak lagi berguna, dan jabatan tinggi berubah menjadi sejarah yang dingin. Yang dibawa hanyalah amal, doa, dan kenangan kebaikan yang pernah ditanam. Inilah yang sering dilupakan manusia, padahal di lubuk hati terdalam kita tahu: dunia tak pernah abadi.

Jika kita membuka lapisan alam bawah sadar, ada rasa takut yang tersembunyi tentang kefanaan. Ketika menghadiri pemakaman, ketika mendengar kabar duka, atau bahkan ketika melihat uban di kepala sendiri, hati kita bergetar. Itu adalah sinyal dari jiwa, tanda bahwa kita harus segera kembali kepada Allah. Namun sayangnya, kita sering membungkam suara itu dengan hiburan, kesibukan, dan gemerlap dunia. Padahal, suara hati itulah panggilan agar kita menata ulang arah hidup, agar tidak salah tujuan.

Dunia memang indah, namun keindahannya bisa menjadi jebakan jika kita tidak bijak. Layaknya oase di tengah padang pasir, ia bisa menghidupkan jiwa, namun juga bisa membuat kita terlena dan berhenti melangkah. Allah tidak melarang kita menikmati dunia, tetapi Dia memperingatkan agar jangan sampai dunia mengikat hati. Karena hati yang terikat dunia akan berat melangkah menuju akhirat. Hati yang tertambat pada harta, jabatan, dan pujian akan sulit melepaskan diri ketika kematian datang menjemput.

Merenunglah sejenak: berapa lama kita akan tinggal di dunia? Enam puluh, tujuh puluh, atau delapan puluh tahun? Bandingkan dengan kehidupan akhirat yang tak terhingga. Apakah bijak jika kita menghabiskan seluruh energi hanya untuk dunia yang sebentar? Seorang ulama salaf berkata, “Seandainya dunia sebanding dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberi orang kafir walau seteguk air.” Kalimat ini menusuk, menunjukkan betapa rendahnya nilai dunia dibandingkan dengan akhirat.

Namun jangan salah paham, menyadari dunia sebagai persinggahan bukan berarti kita berhenti berusaha atau pasrah tanpa ikhtiar. Justru sebaliknya, kita bekerja, belajar, dan berkarya dengan niat ibadah, menjadikan setiap langkah bernilai akhirat. Dunia hanya sarana, bukan tujuan. Dunia hanyalah ladang, dan akhirat adalah musim panen. Siapa yang menanam kebaikan di dunia, akan menuai kebahagiaan abadi di akhirat. Siapa yang lalai, ia akan menyesal ketika ladangnya kosong.

Maka mari kita tanyakan pada diri sendiri: sudahkah kita menyiapkan bekal perjalanan ini? Sudahkah kita mengisi hari dengan amal shalih, sedekah, doa, dzikir, dan kebaikan yang akan menemanai di alam kubur? Ataukah kita masih sibuk mempercantik tempat singgah, sementara bekal untuk perjalanan abadi justru terlupakan? Pertanyaan ini menggugah, menyingkap tabir alam bawah sadar, dan mengingatkan kita bahwa waktu terus berjalan, dan setiap detik adalah langkah menuju titik akhir.

Hidup ini memang hanya sebentar. Namun sebentar itu menentukan selamanya. Dunia hanyalah persinggahan, tempat di mana kita diuji, apakah hati kita lebih cinta pada Sang Pemilik dunia atau pada dunia itu sendiri. Mari kita jernihkan jiwa, kita perbaiki niat, kita gunakan dunia untuk menyiapkan akhirat. Karena pada akhirnya, rumah kita yang sebenarnya bukanlah di sini, melainkan di sisi Allah yang Maha Kekal.[BA]