Di tangan yang salah, HP bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan sumber fitnah yang bisa merobohkan benteng akhlak dan iman. Satu klik bisa membuka jalan menuju kemaksiatan. Satu sentuhan layar bisa menghancurkan bertahun-tahun pendidikan pesantren. Anak yang tadinya rajin menghafal Al-Qur’an, bisa terjerumus pada tontonan yang merusak hati.
HP membuat manusia lupa waktu. Berjam-jam bisa habis hanya untuk scroll media sosial. Dzikir tertinggal, shalat tergesa, dan hafalan terbengkalai. Pesantren yang mestinya menjadi tempat fokus menuntut ilmu, kini diuji dengan kehadiran teknologi yang seringkali lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Lebih berbahaya lagi, setan gepeng merusak ukhuwah. Santri yang dulu akrab, saling menasehati, kini sibuk dengan HP masing-masing. Percakapan hangat berubah jadi emoji dingin. Persaudaraan yang dibangun atas dasar cinta karena Allah melemah karena semua larut dalam dunia maya.
Selain itu, media sosial dalam HP menjadi panggung pamer dan tipu daya. Kehidupan orang lain yang penuh kemewahan membuat santri merasa hidupnya kekurangan. Timbul rasa iri, dengki, bahkan tidak bersyukur. Padahal pesantren adalah tempat melatih kesederhanaan dan keikhlasan.
HP juga mencuri waktu produktif. Notifikasi yang terus berbunyi membuat konsentrasi terpecah. Hafalan yang seharusnya selesai, tertunda. Kitab yang seharusnya dibaca, terabaikan. Ilmu yang seharusnya menjadi bekal akhirat, hilang begitu saja tergantikan tontonan singkat yang tidak bermanfaat.
Dampaknya tidak hanya pada akhlak, tapi juga kesehatan mental. HP yang terus menempel di tangan membuat anak-anak kurang tidur, gelisah, dan mudah stres. Otak yang mestinya dipenuhi Al-Qur’an, malah dijejali informasi receh yang tidak bernilai.
Kekhawatiran orang tua pun semakin besar. Mereka menitipkan anak ke pesantren agar tumbuh menjadi generasi Qur’ani, tapi justru pulang membawa kebiasaan buruk dari layar kecil. Gaya hidup duniawi merasuki hati, membuat anak lupa jati diri dan cita-cita mulia mereka.
Pesantren sebagai benteng akhlak kini menghadapi ujian berat. Satu santri yang jatuh karena HP, berarti satu benteng yang runtuh. Satu hati yang terseret konten negatif, berarti satu langkah menjauh dari cahaya Qur’an. Jika tidak diantisipasi, pesantren bisa kehilangan ruhnya sebagai penjaga iman umat.
Namun, solusi bukan sekadar melarang. HP adalah realitas zaman. Yang dibutuhkan adalah pendidikan akhlak dan pengawasan bijak. Santri perlu dibimbing agar menggunakan HP untuk kebaikan—belajar ilmu, berdakwah, atau memperluas wawasan. HP harus ditundukkan menjadi alat, bukan tuan.
Guru dan orang tua punya peran vital. Mereka harus memberi teladan. Jika orang tua atau kiai sibuk dengan HP, bagaimana santri bisa menahan diri? Larangan tak akan bermakna jika tanpa contoh nyata. Teladan adalah benteng paling kuat melawan setan gepeng.
Aturan juga perlu ditegakkan. Waktu belajar, ibadah, dan menghafal harus steril dari gangguan HP. Santri perlu disiplin: kapan boleh menggunakan HP, kapan harus mematikannya. Dengan begitu, HP tidak lagi mengendalikan, tetapi dikendalikan.
Benteng terbesar tetaplah iman. Santri yang hatinya terikat dengan Allah, tidak mudah tergoda meskipun HP ada di tangannya. Dzikir, doa, dan kebersamaan dalam pesantren bisa menjadi tameng yang melawan derasnya arus digital.
Setan gepeng memang tidak bisa dihapus dari dunia. Namun, ia bisa ditaklukkan. Caranya dengan menguatkan hati, mendidik akhlak, menegakkan disiplin, dan menjadikan pesantren tetap sebagai cahaya peradaban. Jangan biarkan layar kecil merobohkan jiwa besar.
Akhirnya, kita harus sadar: HP bisa menjadi sahabat, bisa juga jadi musuh. Jika dikendalikan, ia membawa ilmu dan manfaat. Tapi jika dikuasai, ia menjadi setan gepeng yang menghancurkan. Mari kita bentengi pesantren, keluarga, dan generasi muda dari jebakan layar tipis ini. Karena masa depan umat tidak boleh hancur hanya karena satu benda kecil bernama HP.[]