Oleh Arenga Pinata*
Majalengka, selain dikenal sebagai
“Kota Angin”, juga memiliki kekayaan budaya dan nilai-nilai lokal Sunda yang
begitu luhur. Sayangnya, kearifan lokal ini sering hanya menjadi hiasan pinggir
dalam kehidupan modern. Padahal, di balik petuah seperti “ulah ngagulkeun
diri” (jangan membanggakan diri) atau “silih asih, silih asah, silih
asuh” (saling menyayangi, saling mencerdaskan, saling membimbing),
tersimpan filosofi pendidikan karakter yang sangat kuat. Maka sudah saatnya,
kearifan lokal Sunda bukan hanya dikenang, tapi diintegrasikan secara nyata
dalam kurikulum sekolah-sekolah di Majalengka.
Revitalisasi
Nilai, Bukan Sekadar Romantisme
Mengangkat budaya lokal dalam
pendidikan bukan soal nostalgia semata. Ini soal revitalisasi nilai. Dalam
konteks pendidikan abad ke-21 yang menekankan pada penguatan karakter,
integrasi nilai-nilai Sunda seperti tepasalira (empati), someah hade
ka semah (ramah terhadap tamu), dan jembar manah (lapang dada)
menjadi relevan dan mendesak.
Kurikulum Merdeka yang kini
dijalankan memberi ruang luas bagi sekolah untuk menyusun Projek Penguatan
Profil Pelajar Pancasila (P5). Di sinilah peluang besar itu terbuka: memasukkan
kearifan lokal sebagai bagian dari projek tematik, tidak hanya dalam bentuk
teori, tapi praktik nyata dalam kegiatan sekolah.
Kearifan
Lokal sebagai Pilar Pendidikan Karakter
Bayangkan jika anak-anak SD hingga
SMA di Majalengka tidak hanya diajari sejarah Kerajaan Padjajaran, tetapi juga
dilatih untuk menerapkan nilai tata krama dalam kehidupan sehari-hari.
Atau saat siswa diajak memahami konsep gotong royong melalui praktik ngaboseh
(kerja bakti desa) yang dikemas dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Kearifan lokal tidak hanya
memperkaya pengetahuan, tapi membentuk watak dan perilaku. Anak-anak akan
tumbuh tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga bijak dalam bersikap,
sebagaimana dicita-citakan oleh filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara: ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Kolaborasi
Guru, Budayawan, dan Pemerintah Daerah
Agar integrasi ini berjalan efektif,
diperlukan sinergi antara guru, tokoh adat, budayawan, dan pemerintah daerah.
Guru sebagai aktor utama dalam kelas perlu diberikan pelatihan tentang materi
lokal yang kontekstual dan aplikatif. Sementara para budayawan bisa menjadi
narasumber hidup yang menyampaikan filosofi Sunda secara otentik dan
menginspirasi.
Pemerintah daerah, melalui Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, dapat mendorong lahirnya modul-modul pembelajaran
berbasis lokal. Misalnya, tema “Kumaha Engké, Engké Kumaha” bisa dijadikan
diskusi kritis dalam pelajaran Bahasa Sunda atau bahkan PPKn, untuk melatih
anak berpikir reflektif dan bertanggung jawab.
Digitalisasi
Budaya Sunda
Tidak kalah penting, integrasi
budaya lokal juga harus merambah dunia digital. Sekolah-sekolah di Majalengka
dapat memanfaatkan platform media sosial atau situs sekolah untuk memuat
konten-konten edukatif tentang filosofi Sunda. Video pendek, podcast berbahasa
Sunda, hingga lomba cerita rakyat digital dapat menjadi strategi kreatif
mengenalkan budaya secara modern dan disukai generasi Z.
Menuju
Pendidikan Berbasis Identitas
Dalam era globalisasi, identitas
lokal seringkali tergerus oleh budaya luar yang lebih dominan. Integrasi
kearifan lokal dalam pendidikan menjadi langkah penting untuk menciptakan
generasi Majalengka yang kuat akar budayanya, sekaligus siap bersaing di kancah
nasional dan global.
Mengajarkan anak-anak untuk bangga
menjadi urang Sunda, bukan sekadar memakai iket atau kebaya saat hari Kartini.
Tapi menjadikan kasundaan sebagai fondasi dalam berpikir, bersikap, dan
bertindak. Sebuah pendidikan berbasis identitas, yang tidak hanya mencerdaskan,
tapi juga mengakar.
Sebuah
Panggilan Aksi
Kini waktunya bukan sekadar
membicarakan pentingnya budaya lokal, tapi menjadikannya roh dalam sistem pendidikan
kita. Majalengka memiliki segalanya: budaya yang kaya, masyarakat yang bijak,
dan semangat kolaboratif. Tinggal satu: komitmen bersama untuk bergerak.
Mari jadikan sekolah-sekolah di Majalengka sebagai pelestari nilai-nilai luhur Sunda. Karena dari sinilah akan lahir generasi yang tidak hanya pintar, tapi juga taya laku luhung, luhur budi dan santun dalam tindak.
*Pemerhati masalah sosial dan agama