Stigma ‘Sekolah Orang Tak Mampu’: MI Perlu Rebranding!

Oleh Jeje A Jamil

ENTAH siapa yang pertama kali menyematkan label ini, tapi yang jelas, Madrasah Ibtidaiyah (MI) kerap dicap sebagai “sekolah pilihan terakhir” atau bahkan lebih menyakitkan: “sekolahnya orang tidak mampu.” Ini bukan sekadar keluhan di warung kopi, tapi fakta lapangan yang terus mengendap dalam benak sebagian masyarakat. Citra muram itu menghantui eksistensi MI, tak hanya di kota, tapi juga di pelosok Majalengka yang sebenarnya punya potensi luar biasa dalam dunia pendidikan Islam.

Lihat saja: bangunan banyak MI di desa-desa masih ala kadarnya, guru-gurunya sering harus multitugas karena kekurangan tenaga pendidik, bahkan insentif pun terkadang datang tidak tepat waktu. Di tengah tekanan ini, MI tetap berjalan, meski tertatih. Ironisnya, justru sekolah inilah yang membekali anak-anak dengan pendidikan karakter dan nilai-nilai spiritual yang kian langka di sekolah umum.

Namun apakah semua ini cukup? Tidak. Karena yang dibutuhkan sekarang bukan hanya semangat bertahan, tapi upaya sistematis untuk merebut kembali kepercayaan publik. Tak bisa dipungkiri, sebagian orang tua masih memandang MI sebagai sekolah "pengganti", bukan "pilihan utama". Anak-anak mereka hanya akan dimasukkan ke MI jika gagal di SD negeri favorit. Padahal, kalau dilihat dari visi keislaman dan potensi pengembangan moral, MI sejatinya punya “senjata lengkap”. Sayangnya, senjata itu berkarat, bukan karena tidak berguna, tapi karena tak diasah dan tidak dipoles citranya.

Rebranding MI: Saatnya Negara dan Umat Bangkit Bersama

Kita perlu jujur: MI butuh rebranding. Bukan hanya dari sisi fisik, tapi juga dari narasi publik dan kebijakan yang menopangnya. Pemerintah daerah, Kementerian Agama, bahkan tokoh-tokoh ormas Islam mesti duduk satu meja untuk menata ulang wajah MI. Mengapa? Karena membiarkan MI terus berjalan dengan stigma lama sama saja membunuh potensi generasi muslim masa depan secara perlahan.

Rebranding bukan berarti MI harus jadi sekolah mahal, atau mengejar standar “sekolah unggulan” ala kota besar. Tidak. Tapi MI harus berani tampil percaya diri dengan ciri khasnya: pendidikan diniyah yang kuat, integritas moral, dan pembelajaran yang membumi. Guru-gurunya harus diberi pelatihan yang menyegarkan, bukan hanya tumpukan kurikulum. Infrastrukturnya harus ditingkatkan, bukan cuma dicat saat menjelang akreditasi.

Lebih dari itu, MI butuh narasi baru. Narasi bahwa ini adalah tempat lahirnya pemimpin berakhlak, ulama masa depan, dan warga negara yang cinta tanah air. Jangan biarkan MI hanya dibanggakan saat ada lomba MTQ atau Hafidz Qur'an. MI harus punya panggung setiap hari — dan itu butuh dukungan media, peran masyarakat, serta keberpihakan nyata dari pejabat terkait.

Kalau pemerintah bisa membuat branding besar-besaran untuk sekolah penggerak, kenapa MI tidak bisa punya kampanye yang sama? Kenapa tidak ada tagline seperti: “Madrasah Hebat, Umat Kuat”? Atau “Belajar, Ngaji, Mandiri – Hanya di MI!” Rebranding tidak selalu mahal, tapi harus serius dan kolaboratif.

Pendidikan dasar adalah pondasi, dan MI adalah pilar pentingnya dalam sistem pendidikan Islam. Tapi selama ia terus dipandang sebelah mata, maka kita sedang membiarkan generasi Muslim kehilangan tempat terbaiknya tumbuh. Kita bukan sedang membahas soal sekolah elit atau tidak, tapi soal martabat lembaga pendidikan Islam yang sedang diuji zaman.

Jadi, kepada para pejabat, pengambil kebijakan, dan pemangku umat, mari kita berhenti berkata “MI sudah cukup.” Karena MI belum cukup — jika kita masih membiarkannya tenggelam dalam stigma murahan yang tak pantas.[]

 

*Kepala Sekolah MI Al Fatah Sadawangi