Antara Cara Hidup dan Gaya Hidup: Jalan Mana yang Kau Tempuh?

Gaya hidup hedon, bahasa dunia akhirat (foto: ig)
PELITA MAJALENGKA - Di zaman serba cepat ini, manusia seringkali terjebak dalam bayang-bayang “gaya hidup” tanpa menyadari bahwa yang paling utama adalah “cara hidup”. Gaya hidup membungkus manusia dengan kemewahan semu, sedangkan cara hidup membimbing manusia menuju ketenangan yang sejati. Banyak orang yang tersesat bukan karena tidak tahu arah, tetapi karena terlalu sibuk mengejar penampilan.

Gaya hidup adalah topeng sosial. Ia mengajarkan manusia untuk tampil bukan karena esensi, tapi karena persepsi. Manusia berlomba-lomba membeli barang yang tak mereka butuhkan, dengan uang yang tak mereka miliki, demi kesan yang tak mereka pahami. Ini adalah jebakan dunia modern yang membuat banyak orang lelah tapi tak bahagia.

Cara hidup adalah prinsip. Ia lahir dari nilai, akal sehat, dan keimanan. Orang yang memilih cara hidup akan berorientasi pada kebutuhan, bukan keinginan. Ia tahu kapan harus membeli, kapan harus menahan diri, dan mengerti bahwa hidup bukan ajang pamer, tapi perjalanan panjang menuju kebijaksanaan.

Betapa banyak rumah tangga hancur bukan karena kurang rezeki, tapi karena tak mampu membedakan antara kebutuhan dan gengsi. Seorang istri merengek minta rumah mewah, sang suami berutang demi membeli mobil bagus. Di depan tetangga tampak bahagia, tapi di dalam rumah penuh konflik dan cicilan.

Gaya hidup memicu kompetisi yang tak berujung. Satu orang membeli gadget terbaru, yang lain merasa tertinggal. Seorang teman liburan ke luar negeri, yang lain merasa hidupnya tak berguna. Semua ini terjadi bukan karena kebutuhan, tapi karena dorongan untuk “tampak” berhasil.

Cara hidup mengajarkan manusia untuk hidup dengan sadar. Ia bukan tentang seberapa tinggi rumahmu, tapi seberapa damai hatimu. Ia bukan tentang pakaian bermerek, tapi tentang akhlak yang melekat. Orang yang memiliki cara hidup tak mudah silau oleh tren, karena ia punya nilai yang ditanam.

Media sosial adalah panggung gaya hidup. Di sanalah orang menayangkan highlight hidupnya, menutupi kegundahan dan kekosongan batin. Sementara mereka yang hidup dengan prinsip tenang saja, tak perlu validasi dari likes atau views. Mereka tahu hidup bukan tontonan, tapi tanggung jawab.

Anak muda masa kini lebih tahu cara membuat konten daripada cara mencari hikmah hidup. Mereka diajari bagaimana memoles tampilan, bukan memperdalam makna. Padahal, kebahagiaan bukan soal seberapa banyak yang kita pamerkan, tapi seberapa tulus kita menjalani hari.

Pendidikan rumah tangga seharusnya lebih banyak menanamkan cara hidup. Ajarkan anak-anak untuk hidup secukupnya, bukan semewah-mewahnya. Tumbuhkan kesadaran bahwa hidup itu tentang memberi manfaat, bukan sekadar mengikuti tren. Karena tren akan berlalu, tapi prinsip akan membentuk masa depan.

Banyak orang miskin secara nilai, meskipun kaya secara penampilan. Mereka hidup dalam kebingungan antara harus menjadi siapa, dan takut kehilangan citra. Sedangkan orang yang hidup dengan cara yang benar, tak takut dinilai rendah, karena ia tahu: hidup bukan tentang nilai di mata manusia, tapi di mata Tuhan.

Dalam Islam, Rasulullah SAW mencontohkan kehidupan yang sederhana tapi penuh makna. Beliau memilih tidur di atas pelepah kurma, padahal bisa saja hidup di istana. Beliau ajarkan kita untuk menata hati, bukan hanya menata tampilan. Sebab itulah kemuliaan sejati.

Dunia terus berubah, mode berganti, tren datang dan pergi. Tapi satu hal yang tak pernah usang: hidup yang dijalani dengan kejujuran, kesederhanaan, dan keberkahan. Itulah inti dari cara hidup. Dan ketika itu yang kita pilih, hidup akan terasa lebih ringan dan bermakna.

Mari kita berhenti sejenak. Bertanya pada diri sendiri: apakah aku hidup seperti yang aku butuhkan, atau hanya karena aku ingin terlihat “berhasil”? Apakah keluargaku bahagia karena ketulusan, atau hanya sibuk menyesuaikan diri dengan standar orang lain? Pertanyaan ini menyentak, tapi menyadarkan.

Di antara gemerlap gaya hidup yang melenakan, mari kembali memilih cara hidup yang mencerdaskan. Karena gaya hidup hanya membentuk persepsi sesaat, tapi cara hidup membentuk kehidupan yang hakiki. Jangan sampai hidup ini berakhir hanya menjadi penonton panggung kepalsuan, sementara jiwa kita kehausan makna.[BA]