Romantisme Hidup Berjama’ah

Tak bisa dipungkiri, dalam hidup ini umat akan menjadi kuat jika menegakkan hidup berjama'ah
Oleh Bahron Ansori

HIDUP dalam jama’ah bukan sekadar berkumpul, tapi bersatu dalam cinta karena Allah. Di dalamnya ada luka yang tak terucap, kecewa yang tak terdengar, namun semuanya bernilai ibadah. Setiap tangis yang jatuh adalah penghapus dosa, setiap tawa adalah hadiah dari ukhuwah. Romantisme berjama’ah hadir bukan karena kesempurnaan, tapi karena keikhlasan menanggung bersama.

Kadang hati lelah, raga letih, dan harapan merapuh. Namun dalam jama’ah, ada pundak untuk bersandar, dan doa-doa tulus yang menembus langit. Hidup tak lagi hanya soal “aku”, tapi tentang “kita” yang saling menguatkan di jalan dakwah. Di sinilah cinta yang paling jujur bersemayam—cinta karena iman.

Berjama’ah bukan berarti tanpa konflik, sebab setiap kita membawa warna dan luka masa lalu. Perbedaan bukan pemecah, justru penguji kesabaran dan kedewasaan. Allah sengaja menempatkan kita dalam lingkungan yang beragam agar tumbuh dalam akhlak. Dan hanya mereka yang menetapi jama’ah dengan niat lillah yang akan bertahan.

Di jama’ah, kadang yang kau anggap menyakitimu justru sedang menyembuhkanmu. Ujian antar sesama bukan untuk memisahkan, melainkan menguatkan. Karena dari gesekan itu iman diuji dan hati dibersihkan. Sungguh, siapa pun yang bertahan dalam kebersamaan pasti akan mencicipi manisnya persaudaraan.

Tidak semua yang kita berikan dibalas dengan ucapan terima kasih. Tapi yakinlah, tidak ada kebaikan yang sia-sia di jalan ini. Jama’ah mengajarkan kita untuk beramal tanpa pamrih, dan mencintai tanpa syarat. Karena yang kita cari bukan pujian manusia, tapi ridho Ilahi.

Yang dulu lemah, kini tumbuh gagah karena dikuatkan oleh doa-doa sahabat seiman. Yang dulu keras hati, luluh oleh sentuhan cinta ukhuwah. Jama’ah adalah tempat di mana manusia dibentuk ulang oleh suasana yang penuh kasih sayang. Di sana ada pembinaan jiwa, bukan sekadar pengaturan aktivitas.

Saat kita jatuh, jama’ah mengulurkan tangan. Saat kita salah, jama’ah menegur dengan cinta. Saat kita futur, jama’ah menyiram iman dengan nasihat dan munajat. Maka rugilah mereka yang meninggalkan jama’ah hanya karena luka kecil yang seharusnya disembuhkan, bukan dijadikan alasan untuk pergi.

Hidup sendiri mungkin terasa lebih bebas, tapi ia rapuh dan sunyi dari makna. Dalam jama’ah, kita belajar menjadi hamba yang matang, bukan hanya secara ilmu, tapi juga hati. Kita ditempa bukan untuk menjadi sempurna, tapi menjadi lebih baik dari hari ke hari. Di sinilah perjalanan menuju surga itu nyata terasa.

Romantisme hidup berjama’ah adalah ketika kita sadar, semua ini bukan tentang siapa paling benar, tapi siapa yang paling ikhlas. Bukan tentang siapa paling menonjol, tapi siapa yang paling istiqamah. Dan bukan tentang siapa yang berbuat banyak, tapi siapa yang tetap bertahan walau tak terlihat. Karena di mata Allah, kesetiaan itu lebih bernilai dari sekadar pencitraan.

Wahai yang sudah menetapi jama’ah, jangan pernah goyah oleh bisikan perpecahan. Jangan pernah patah oleh ujian yang datang bertubi-tubi. Karena setiap langkah bersama saudaramu adalah bukti cinta pada agama ini. Dan kelak, kau akan tersenyum di surga, karena pernah sabar, pernah menangis, dan pernah bertahan bersama mereka yang kau cintai karena Allah.

Kadang kita merasa tak dipahami di tengah jama’ah, merasa sendiri meski dikelilingi banyak orang. Namun justru di situ Allah sedang mengajari kita makna ikhlas yang sejati. Sebab berjama’ah bukan tentang selalu dimengerti, tapi tentang sabar menetapi. Kita belajar mencintai tanpa harus dimengerti, memberi tanpa harus dihargai.

Ada hari di mana kita ingin menyerah, lalu tiba-tiba datang nasihat dari seorang saudara yang menguatkan jiwa. Ada saat kita futur, lalu melihat senyum tulus dari sesama pejuang yang membangkitkan harapan. Di sinilah jama’ah menjadi pelita dalam gelapnya hati, menjadi perahu saat badai menghantam iman. Maka nikmat mana lagi yang hendak kita dustakan dari persaudaraan ini?

Jangan iri pada mereka yang memilih jalan sendiri, karena mereka mungkin terlihat tenang tapi kehilangan pelukan ukhuwah. Jangan bandingkan dirimu dengan mereka yang tampak lebih bersinar, karena mungkin kau lebih dicintai Allah karena kesabaranmu menetapi jama’ah. Semua punya jalan, tapi tidak semua dipilih Allah untuk bersama para pejuang. Dan jika kamu termasuk yang bertahan, bersyukurlah—itu karunia yang tak semua orang dapatkan.

Setiap malam yang kita lewati dengan musyawarah dakwah, setiap langkah yang kita tempuh untuk menghadiri taklim, setiap keringat yang menetes saat agenda berjama’ah—semua itu dicatat oleh Allah tanpa tertinggal satu pun. Mungkin dunia tak melihat, tapi langit menyaksikan. Jama’ah bukan sekadar komunitas, ia adalah jalan menuju ridho-Nya. Sebab itu, bertahanlah, meski pelan, meski terluka.

Karena berjama’ah itu cinta, dan cinta sejati tak lari saat terluka. Ia justru sembuh dalam pelukan pengertian dan doa. Maka genggam erat tangan saudaramu, peluk dengan ikhlas kekurangannya, dan katakan pada hatimu: aku akan tetap di sini, sampai Allah ridho, sampai surga menjemputku bersama kalian. Inilah romantisme yang tak bisa dibeli oleh dunia—karena ia hidup di hati para pejuang yang tulus menetapi jalan Allah.[]