Mereka bukan pencari popularitas, bukan pula pemburu materi. Seringkali diganjar sekadar ucapan terima kasih atau bahkan diabaikan sama sekali. Padahal, dari lisannya mengalir ilmu yang menyelamatkan dunia dan akhirat. Dari doa-doanya, lahir anak-anak yang kelak menjadi pemimpin yang takut kepada Allah.
Ketika dunia sibuk dengan sorak sorai selebritas dan viralnya konten tanpa makna, guru ngaji diam-diam mencetak peradaban. Mereka melahirkan generasi yang kokoh di tengah badai fitnah dan krisis moral. Tak silau harta, tak terbuai tahta, tak tergoda wanita. Semua itu bermula dari surau kecil dan suara lembut guru ngaji yang mengajarkan makna hidup sejati.
Betapa banyak pemimpin yang jujur, lurus, dan berwibawa, ternyata dulunya adalah murid kecil di bawah bimbingan guru ngaji. Mereka dididik bukan hanya mengenal huruf, tapi juga mengenal Tuhan, Rasul, dan tujuan hidup. Keberanian mereka dalam menolak suap, kekuatan mereka dalam menegakkan kebenaran, adalah buah dari pendidikan ruhani yang dalam. Semua itu bermula dari pangkuan para guru ngaji.
Sayangnya, keberadaan mereka sering luput dari perhatian negara. Tak banyak kebijakan yang benar-benar berpihak pada guru-guru ngaji di mushola dan surau kecil. Padahal, dalam Islam, pengajar ilmu punya kedudukan yang sangat tinggi. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa memuliakan orang alim, maka sesungguhnya ia telah memuliakan Aku." (HR. Thabrani).
Mereka bukan ASN dengan tunjangan tetap, bukan pula tokoh terkenal dengan ribuan pengikut. Tapi pekerjaan mereka jauh lebih mulia dari sekadar rutinitas birokrasi. Mereka menanam kejujuran, kesabaran, dan cinta kepada ilmu yang menjadi benteng dari kehancuran moral bangsa. Dari tangan mereka, lahirlah insan-insan yang lurus di jalan Allah.
Allah menjanjikan kemuliaan bagi mereka yang memuliakan guru dan ahli ilmu. Dalam sebuah hadis dikatakan, "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11). Maka barang siapa yang memperhatikan guru ngaji, hakikatnya sedang membangun peradaban surgawi di dunia ini.
Tak perlu menunggu mereka meminta. Sudah saatnya kita yang bergerak, menyapa, menghargai, dan memperhatikan. Bangun sistem yang berpihak kepada para guru ngaji. Berikan insentif yang layak, dukungan moral, dan ruang aktualisasi agar mereka terus semangat mendidik umat.
Wahai para pemangku kebijakan, lihatlah ke surau-surau desa. Di sana ada guru ngaji yang sudah renta, tapi masih setia mengajar meski tak pernah dilirik negara. Mereka tak pernah protes, tapi Allah mencatat setiap huruf yang mereka ajarkan sebagai amal jariyah. Apakah kita akan terus membiarkan mereka dalam kesunyian dan ketidakadilan?
Bangsa ini akan hancur bila melupakan para pendidik ruhani. Karena yang membentuk karakter adalah guru yang mendidik hati, bukan hanya otak. Dan itulah yang dilakukan oleh para guru ngaji: mendidik hati dengan cinta, membentuk akhlak dengan keteladanan. Tanpa mereka, bangsa ini akan kehilangan jiwanya.
Mari kita bangkitkan kesadaran. Hormati, bantu, dan muliakan guru ngaji yang telah menyelamatkan anak-anak kita dari kebutaan iman. Jadikan mereka prioritas dalam pembangunan bangsa, karena dari merekalah muncul lentera yang menerangi generasi. Mereka adalah pejuang sejati, walau tanpa panggung dan aplaus. Tapi Allah telah siapkan panggung kemuliaan di akhirat kelak.
Semoga kita termasuk dalam golongan yang menghargai ahli ilmu. Karena siapa yang menolong para penyeru kebaikan, maka Allah akan menolongnya di dunia dan akhirat. Guru ngaji adalah pilar, bukan pelengkap. Tanpa mereka, tiang bangsa ini akan rapuh. Saatnya membalas dengan perhatian, bukan hanya pujian.[BA]