DI TENGAH maraknya tren busana muslimah, kita sering melihat perempuan-perempuan berhijab syar’i dengan jilbab panjang yang menjuntai hingga ke lutut, bahkan menyentuh mata kaki. Fenomena ini, secara kasat mata, menjadi representasi kembalinya semangat berislam secara kaffah, utuh dan menyeluruh. Namun, tak jarang pula kita menemui ironi yang menyentil: jilbabnya memang panjang, tapi hatinya pendek. Tampilan luarnya terkesan begitu taat, tapi akhlaknya masih jauh dari ajaran Rasulullah SAW.
Judul “Jilbab Panjang, Tapi Hatinya Pendek” bukanlah bentuk pelecehan terhadap busana syar’i, melainkan sindiran halus yang mengajak kita merenung lebih dalam tentang makna sejati dari hijab. Karena dalam Islam, hijab tidak hanya tentang kain yang menutupi tubuh, melainkan juga penjagaan terhadap lisan, perasaan, dan perilaku.
Hijab: Antara Simbol dan Substansi
Hijab sejatinya adalah simbol ketaatan kepada Allah, bentuk penghambaan yang lahir dari kesadaran spiritual. Namun, simbol tanpa substansi bisa menjadi kosong makna. Sebab Allah tidak hanya menilai penampilan, melainkan isi hati dan amal perbuatan.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Artinya, kesalehan sejati tidak cukup dengan tampilan luar. Ia harus disertai hati yang lembut, penuh kasih, dan akhlak yang mencerminkan ajaran Islam.
Hati Pendek: Mudah Marah, Ringan Menghakimi
Apa makna hati yang pendek? Ialah hati yang sempit menerima perbedaan, mudah menghakimi orang lain, cepat tersinggung, dan sulit memaafkan. Seorang muslimah yang berhijab panjang, namun lisannya tajam terhadap sesama, atau sombong merasa lebih baik dari yang belum berhijab, pada hakikatnya belum memahami makna hijab secara utuh.
Allah memerintahkan kita menutup aurat, namun juga memerintahkan kita menjaga hati, lisan, dan akhlak. Dalam surat Al-Ahzab ayat 59, Allah menyuruh para wanita beriman menutup tubuh agar mereka dikenali dan tidak diganggu. Tapi bagaimana bila yang mengenakan hijab justru menjadi sosok yang memicu kegaduhan karena lisan dan perilakunya?
Jilbab Adalah Awal, Bukan Akhir
Berjilbab adalah langkah awal menuju ketaatan, bukan akhir dari perjalanan spiritual. Karena itu, jangan merasa cukup hanya karena sudah menutup aurat. Ketaatan harus terus tumbuh, dari pakaian menuju perbuatan, dari lisan menuju sikap, dari tampilan menuju kedalaman hati.
Dalam banyak kajian, disebutkan bahwa hijab adalah bagian dari proses tazkiyatun nafs—pensucian jiwa. Maka hijab yang benar seharusnya membawa ketenangan, kesantunan, dan kasih sayang. Bukan menjadi alat penghakiman, apalagi merasa paling benar sendiri.
Jangan Menjadi “Fasad” dalam Hijab
“Fasad” dalam bahasa Arab berarti kerusakan. Ada kalanya kita menjumpai orang-orang yang berpakaian islami, tapi malah menciptakan “fasad” dalam pergaulan: mem-bully teman yang belum hijrah, menggurui dengan nada sinis, atau menebar aib atas nama amar ma’ruf nahi mungkar. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan bahwa berdakwah itu dengan hikmah dan kelembutan, bukan dengan celaan atau cemoohan.
Ironisnya, perilaku seperti itu justru membuat orang menjauh dari Islam. Hijab yang harusnya menjadi cahaya, berubah menjadi bayangan kelam yang menakutkan. Inilah yang disebut sebagai hati yang pendek: ia lupa bahwa Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan untuk menciptakan jarak dan kebencian.
Menyatukan Jilbab dan Akhlak
Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga agama akhlak. Jilbab adalah bagian dari syariat, dan akhlak adalah ruh dari syariat itu sendiri. Tak seharusnya jilbab dipisahkan dari sikap baik, kejujuran, kesabaran, dan kerendahan hati.
Mari bercermin: sudahkah jilbab kita memuliakan diri kita dan orang lain? Atau justru menjadi tameng yang kita pakai untuk merasa paling benar? Sudahkah kita ramah kepada sesama perempuan yang belum berhijrah, atau malah membuat mereka merasa tak layak dekat dengan kita?
Penutup: Hijrah Itu Proses, Jangan Saling Hakimi
Hijrah bukan garis finis, tapi perjalanan panjang. Ada yang sudah berjilbab namun masih belajar bersabar. Ada pula yang belum berhijab, namun hatinya lembut dan akhlaknya baik. Maka jangan menilai hanya dari kulit luar, dan jangan juga merasa cukup hanya dengan penampilan.
Jilbab panjang seharusnya menandakan hati yang lapang. Hati yang tidak sempit dalam bersikap, tidak tajam dalam menilai, dan tidak keras dalam menyampaikan. Karena Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.
Sebagaimana kata pepatah Arab: “Man jadda wajada, wa man shabara zhafira.” – Barang siapa bersungguh-sungguh, ia akan berhasil. Dan barang siapa bersabar, ia akan menang.
Jilbab bukan sekadar kain, tapi cermin hati. Semoga kita semua bukan hanya panjang jilbabnya, tapi juga panjang kesabaran, luas kasih sayang, dan dalam ketakwaannya.[Ba]