Lahir pada 18 September 1889 di daerah Cantayan, Sukabumi, Ahmad Sanusi tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sarat nilai-nilai keislaman dan nasionalisme. Ayahnya, KH. Abdurrahim, adalah seorang kiai yang disegani, dan dari beliaulah benih kecintaan terhadap ilmu dan perjuangan mulai tumbuh dalam diri Ahmad kecil. Sejak remaja, Ahmad Sanusi telah memperlihatkan kecerdasan luar biasa. Ia menghafal Al-Qur’an dengan cepat dan memperdalam kitab-kitab klasik Islam dari berbagai madrasah di Jawa Barat, termasuk di Pesantren Gunung Puyuh yang kelak menjadi pusat perjuangannya.
Tak puas dengan ilmu lokal, Sanusi muda melanjutkan pengembaraannya ke tanah suci Makkah. Di sana, ia tidak hanya mendalami ilmu keislaman dari para ulama dunia, tetapi juga menyaksikan bagaimana umat Islam di berbagai penjuru dunia bersatu dalam ukhuwah yang kokoh. Sekembalinya ke Indonesia, ia membawa semangat pembaruan, kemandirian, dan perlawanan terhadap penjajahan.
KH. Ahmad Sanusi memadukan peran sebagai pendidik, da’i, dan pejuang. Ia mendirikan pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi yang menjadi kawah candradimuka bagi para santri dan pemuda Islam untuk membekali diri dengan ilmu agama dan semangat nasionalisme. Dari pesantren itulah semangat perlawanan disulut. Namun perjuangannya tak hanya dari balik mimbar. Beliau aktif dalam dunia politik sebagai bentuk jihad melawan kolonialisme. Ia mendirikan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII), yang kemudian bertransformasi menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) pada 1952—sebuah wadah perjuangan umat Islam untuk bersatu dalam bingkai dakwah dan kebangsaan.
Ahmad Sanusi bukan ulama yang hanya berdiam di pesantren. Ia lantang bersuara di berbagai forum nasional, bahkan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), lembaga penting yang merumuskan dasar negara Indonesia. Dalam forum tersebut, Sanusi dengan tegas memperjuangkan nilai-nilai Islam agar menjadi fondasi negara, sekaligus menjaga keutuhan bangsa yang majemuk.
Namun jalan perjuangannya tak pernah mulus. Karena keberaniannya menentang kolonial, KH. Ahmad Sanusi beberapa kali mengalami pemenjaraan oleh Belanda dan Jepang. Ia dituduh menyebarkan ajaran radikal karena mengajarkan rakyat untuk tidak tunduk pada penjajah. Bahkan, di masa penjajahan Jepang, ia dibuang ke Boven Digoel, Papua, sebuah tempat pengasingan yang terkenal berat bagi para tahanan politik. Tapi semua itu tak menyurutkan semangatnya. Justru dari tempat-tempat itulah, ia semakin matang dalam visi perjuangannya: Indonesia harus merdeka dan Islam harus memimpin dalam nilai, bukan hanya dalam nama.
Sosok KH. Ahmad Sanusi dikenal bersahaja namun teguh. Beliau tak pernah silau oleh jabatan atau materi. Bahkan setelah kemerdekaan, ia tetap memilih hidup sederhana di pesantren. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan. Oleh sebab itu, PUI yang didirikannya tak hanya bergerak dalam dakwah, tetapi juga pendidikan, sosial, dan pemberdayaan umat.
Keteguhan KH. Ahmad Sanusi menjadikan dirinya sebagai sosok panutan lintas generasi. Gagasannya tentang pentingnya persatuan umat masih relevan hingga kini. Ia memahami bahwa kekuatan umat Islam tidak hanya pada jumlah, tetapi juga pada kesatuan langkah dan misi. “Islam adalah rahmat, dan Indonesia adalah rumah yang harus dijaga dengan kasih sayang dan keberanian,” begitu kira-kira semangat yang ia tanamkan kepada para muridnya.
KH. Ahmad Sanusi wafat pada 15 Juli 1950, namun warisannya tak pernah benar-benar pergi. Namanya kini diabadikan sebagai Pahlawan Nasional sejak tahun 2008, sebuah penghargaan yang menunjukkan betapa perannya diakui dalam sejarah bangsa. Di Sukabumi, jejaknya masih bisa dirasakan, terutama di kompleks pesantren Gunung Puyuh, tempat di mana semangat dan cita-citanya terus hidup di dada para santri.
Bila kita bicara tentang tokoh pejuang kemerdekaan yang berasal dari pesantren, maka KH. Ahmad Sanusi adalah salah satu contohnya yang paling paripurna. Ia mengajarkan bahwa menjadi ulama tak berarti apolitis, dan menjadi pejuang tak harus menanggalkan sorban. Dengan ilmu di dada dan iman yang kokoh, ia menorehkan sejarah sebagai ulama, pendidik, pejuang, dan negarawan.[Ba]