Sekolah Islam atau Sekadar Nama? Saat Akhlak Tak Lagi Jadi Tujuan

Oleh Arenga Pinata

Kita sedang hidup di zaman yang menyedihkan. Zaman di mana sekolah Islam tumbuh di mana-mana, tapi nilai Islam malah makin tenggelam. Gedung-gedung megah bertuliskan “Sekolah Islam Terpadu”, “Pesantren Modern”, atau “Madrasah Unggulan” tersebar dari kota besar hingga pelosok desa. Tapi, coba lihat lebih dekat—apakah akhlak anak-anak di dalamnya benar-benar mencerminkan Islam, atau hanya tempelan label tanpa makna?

Sekolah Islam hari ini, sayangnya, banyak yang lebih sibuk mencetak siswa-siswi yang hafal surat panjang tapi tak paham maknanya. Islam hanya jadi hafalan, bukan tuntunan. Anak-anak bisa melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara merdu, tapi lidah yang sama juga fasih menyebar gosip, menghina temannya, bahkan meremehkan guru. Shalat mungkin dilakukan karena jadwal sekolah memaksa, bukan karena panggilan iman. Dan lebih ironis, ada yang mampu menghafal 30 juz, tapi tak mampu menjaga pergaulan dari hal-hal yang mendekati zina.

Di balik seragam islami dan jilbab panjang, banyak yang menyimpan cerita luka moral. Jilbab tak lagi jadi simbol kehormatan, tapi sekadar gaya. Fashion muslimah dijadikan ajang pamer tren, bukan benteng aurat. Sementara itu, para guru dan orang tua sibuk dengan urusan administrasi, kurikulum, dan ranking—tapi lupa bahwa inti pendidikan Islam adalah membentuk karakter, bukan sekadar angka dan sertifikat.

Pergaulan bebas pun menyusup tanpa malu ke dalam sekolah-sekolah Islam. Siswa laki-laki dan perempuan bebas bercanda, berbalas pesan mesra, bahkan ada yang diam-diam pacaran atas nama "ukhuwah". Ada yang menyembunyikan foto tak senonoh di balik folder bertuliskan "Tugas Aqidah", atau menyamarkan status cinta-cintaan sebagai “motivasi hijrah”. Dunia digital menjadi medan bebas tanpa kontrol, sementara pengawasan guru dan orang tua hanya sebatas "kami percaya anak-anak kami sholeh".

Yang lebih menyedihkan lagi, diskusi keislaman di sekolah kadang hanya jadi formalitas. Tema besar seperti akhlak, tanggung jawab, dan amanah hanya jadi bahan LDKS, pesantren kilat, atau mading Jumat. Setelah itu? Hilang ditelan sibuknya ujian tengah semester. Islam hanya jadi wacana, bukan tindakan nyata.

Kita tak bisa lagi tutup mata. Jika sekolah Islam hari ini gagal mencetak pribadi berakhlak, maka untuk apa embel-embel “Islam” itu dipajang di depan gerbang sekolah? Untuk gengsi? Untuk nilai jual? Untuk menenangkan hati orang tua yang merasa anaknya “sudah aman” karena disekolahkan di tempat bernuansa agama?

Pendidikan Islam sejati seharusnya menggetarkan hati. Mengajarkan takut kepada Allah, bukan sekadar takut tak lulus. Mengajarkan jujur walau pahit, bukan menghafal dalil sambil mencontek. Membentuk karakter yang kuat, bukan hanya kecerdasan semu yang dipoles di depan panggung wisuda.

Sudah saatnya kita jujur: apakah sekolah Islam kita hanya nama, atau benar-benar makna? Karena jika akhlak bukan lagi tujuan utama, maka kita hanya sedang memproduksi generasi pintar tapi kosong. Generasi yang tahu semua istilah agama, tapi tak takut berdusta. Generasi yang bisa ceramah soal surga dan neraka, tapi tak gentar melangkah ke arah dosa.

Mari kita kembali pada tujuan awal: pendidikan Islam adalah tentang membentuk jiwa, bukan hanya mengisi otak. Jika tidak, jangan salahkan anak-anak kita jika kelak tumbuh menjadi muslim hanya dalam KTP, bukan dalam hati dan perilaku.[]


*Pemerhati masalah sosial, agama dan budaya