ADA yang terasa sangat menyesakkan ketika melihat seorang siswi berseragam gamis panjang, berjilbab lebar, ternyata terlibat dalam hubungan asmara diam-diam yang menjurus pada pelanggaran syariat.
Hati orang tua mana yang tak hancur saat mengetahui anaknya, yang selama ini disangka aman di sekolah Islam, justru mengenal cinta terlarang dari balik layar gawai atau sudut-sudut sekolah? Ini bukan lagi kisah anak-anak di sekolah umum, melainkan fenomena nyata yang mulai muncul di balik tembok institusi pendidikan yang mengusung nama Islam.
Lebih memilukan lagi ketika para guru yang setiap pagi memulai pelajaran dengan doa dan ayat-ayat suci, ternyata tidak menyadari bahwa anak-anak didik mereka tengah mengalami krisis ruhani yang serius. Mereka hadir di kelas, tertib di hadapan guru, tetapi gersang di hadapan Allah.
Ruh mereka kosong, dan karena kekosongan itulah, godaan sekecil apa pun bisa menjadi jebakan yang menjerumuskan mereka. Apakah ini bukan pertanda bahwa kita telah lalai, bahwa pendidikan kita hanya menyentuh kulit, bukan menyirami akar?
Ketika fenomena pergaulan bebas mulai menjangkiti sekolah-sekolah Islam, pertanyaan besar pun muncul: Di mana letak salahnya? Bukankah lingkungan sekolah Islam seharusnya menjadi benteng moral bagi generasi muda?
Namun faktanya, tidak sedikit kasus pelanggaran etika pergaulan yang justru muncul dari institusi yang mengajarkan adab dan akhlak. Ini bukan sekadar masalah disiplin, tetapi cermin nyata dari kegagalan pendidikan ruhani yang seharusnya menjadi jantung dari pendidikan Islam itu sendiri.
Ruhani yang Terabaikan di Tengah Rutinitas Formalitas
Sekolah Islam memang mengajarkan ilmu agama. Kurikulum mencakup pelajaran fikih, aqidah, akhlak, dan Al-Qur’an. Tapi sering kali, pengajaran itu hanya sebatas teori. Anak-anak menghafal ayat-ayat, memahami dalil, tetapi tidak menyatu dalam ruh mereka. Tidak ada transformasi hati, tidak ada internalisasi nilai yang menyentuh jiwa.
Pendidikan ruhani seharusnya tidak hanya membuat anak “tahu” mana yang halal dan haram, tetapi juga membuat mereka “takut” kepada Allah dan “malu” melanggar batas. Jika pendidikan hanya menjadikan anak pandai ceramah, tapi tidak bisa menjaga pandangan, maka kita perlu mengevaluasi ulang pendekatan kita.
Ketiadaan Keteladanan: Gagalnya Pendidikan Diam
Ruhani tidak tumbuh hanya dengan ucapan, tetapi dengan teladan. Banyak guru yang mengajar adab, namun tidak memperlihatkan adab. Banyak orang tua yang menuntut anaknya menundukkan pandangan, tapi sibuk sendiri dengan gawai. Anak-anak melihat, meniru, dan belajar secara diam-diam dari lingkungan. Pendidikan ruhani yang kuat justru tumbuh dari keteladanan yang konsisten.
Solusi
-
Immunogen Culture of Ihsan di Sekolah
Sekolah perlu lebih dari sekadar tempat belajar. Ia harus menjadi ladang subur tempat anak merasa diawasi Allah di setiap langkah. Buat kegiatan rutin seperti muhasabah harian, halaqah ruhaniyah, dan tahajud berjamaah. Jangan hanya fokus pada rapor akademik, tapi juga rekam jejak ruhani anak.
-
Mentoring Ruhani Pribadi
Setiap murid perlu murabbi atau pembimbing yang menjadi tempat curhat, tempat bertanya, dan sekaligus tempat meneladani. Program mentoring satu-satu ini telah terbukti efektif di banyak pesantren atau sekolah Islam unggulan. Anak tidak cukup dibimbing secara kolektif; mereka butuh figur yang bisa mereka percaya dan teladani.
-
Kolaborasi Guru-Orangtua secara Aktif
Orang tua dan guru harus saling bersinergi dalam memantau perkembangan ruhani anak. Ciptakan forum bulanan parenting ruhani, bukan sekadar rapat akademik. Bahas isu-isu seperti gaya hidup remaja, pengaruh media sosial, dan cara membangun kedekatan anak dengan Allah.
-
Digital Literacy Islami
Banyak kasus pergaulan bebas dimulai dari komunikasi daring. Sekolah Islam harus mulai mengajarkan adab digital—bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis di ruang maya sesuai syariat. Tanamkan bahwa batasan dalam Islam tidak hilang hanya karena berada di balik layar.
-
Revitalisasi Kurikulum Akhlak
Kurikulum akhlak harus hidup dan menyentuh hati. Ajarkan kisah-kisah sahabat Nabi yang menahan diri dari zina, kisah pemuda Ashabul Kahfi, atau Yusuf ‘alaihissalam yang menjaga diri. Bangkitkan rasa malu dan hormat kepada Allah, bukan sekadar ketakutan pada aturan sekolah.
Pergaulan bebas di sekolah Islam adalah alarm keras bahwa pendidikan ruhani belum menyentuh hati. Maka, mari kita ubah arah. Kembalikan ruh pendidikan Islam kepada tujuannya yang hakiki: membentuk manusia yang sadar akan kehadiran Allah dalam setiap tindakannya. Jika ruhani anak kuat, maka bentengnya akan kokoh, bahkan di tengah badai zaman.[]