PELITA MAJALENGKA - Dulu, saat hidup masih dalam keterbatasan, ukhuwah itu terasa begitu manis. Kita duduk bersama di atas tikar usang, berbagi cerita sambil mengaduk teh yang tak seberapa manisnya. Nasi sepiring pun terasa cukup jika dimakan dengan cinta persaudaraan.
Saat itu, kita tidak punya apa-apa selain hati yang tulus, tangan yang ringan membantu, dan air mata yang jatuh di pelukan saudara saat beban hidup terasa berat. Sungguh, masa-masa itu tak bisa dibeli dengan seluruh kekayaan dunia.
Namun kini, saat kunci-kunci dunia mulai Allah titipkan, perlahan tapi pasti ukhuwah itu pun mulai terkikis. Kita yang dulu saling menguatkan, kini saling menjauh. Kita yang dulu tak segan menginap di rumah saudara karena kehendak hati, kini butuh janji dan izin panjang hanya untuk sekadar bertamu.
Mobil-mobil mewah yang dulu kita idamkan kini justru menciptakan sekat tak kasat mata. Rumah-rumah megah yang dulu kita doakan bersama, kini justru menumbuhkan tembok-tembok pembatas yang sulit ditembus.
Di mana gotong royong yang dulu menjadi budaya kita? Dulu, satu orang sakit, seluruh tetangga datang membantu. Dulu, satu orang berduka, kita beramai-ramai menyelimuti dengan doa dan pelukan.
Tapi kini, kita terlalu sibuk dengan bisnis kita, dengan proyek-proyek duniawi, hingga lupa bahwa ada saudara kita yang menanti uluran kasih. Kita lupa bahwa dunia yang kita genggam hari ini adalah titipan, bukan kepemilikan sejati.
Mengapa bisa seperti ini? Mengapa dunia yang seharusnya mendekatkan kita pada syukur dan ukhuwah, justru menjauhkan kita dari cinta dan kasih sayang? Karena hati kita mulai terpaut pada dunia. Karena kita mulai mencintai harta lebih dari cinta kepada saudara.
Karena kita mulai merasa cukup dan tidak membutuhkan orang lain. Tiga penyebab utama runtuhnya ukhuwah hari ini adalah cinta dunia yang berlebihan, ego yang membesar karena status, dan hilangnya rasa syukur atas nikmat kebersamaan yang dulu pernah dirasakan.
Namun masih ada harapan. Bangunan ukhuwah bisa kembali ditegakkan. Pertama, kita harus kembali memurnikan niat, bahwa segala yang kita miliki adalah titipan yang harus dibagikan.
Kedua, menghidupkan kembali budaya silaturahmi dan ta’awun tanpa memandang strata.
Ketiga, membangun kembali empati—menempatkan diri kita dalam posisi saudara kita yang dulu pernah berjalan bersama kita di jalan yang sama.
Ukhuwah sejati bukan hanya tentang seberapa sering kita bertemu, tapi seberapa dalam kita saling mendoakan dan saling peduli. Jangan sampai mobil yang kita tunggangi menjauhkan kita dari jalan ukhuwah. Jangan sampai tembok rumah kita menghalangi kita untuk menjenguk saudara.
Jangan sampai dunia yang sementara ini meruntuhkan bangunan ukhuwah yang dulu kita bangun dengan air mata, peluh, dan cinta tulus.
Mari kembali pada titik awal: kesederhanaan hati dan ketulusan cinta sesama muslim. Mari ingat bahwa kelak di hadapan Allah, bukan gedung mewah atau mobil mentereng yang menjadi ukuran, tapi seberapa besar cinta kita kepada saudara karena Allah.
Jika ukhuwah pernah indah saat kita tak punya apa-apa, seharusnya ia lebih indah saat kita diberi segalanya. Jangan biarkan kunci dunia yang sementara menutup pintu ukhuwah yang kekal.[BA]