LANGIT Majalengka belum sepenuhnya terang ketika suara azan subuh berkumandang dari sebuah masjid kecil di pelosok Kecamatan Leuwimunding. Desa itu sunyi, namun dari dalam rumah kayu sederhana bercat putih pucat, terlihat sinar lampu temaram yang menyala sebelum fajar. Di dalamnya, seorang lelaki sepuh sedang melipat sajadah, bersiap menyambut hari dengan wajah tenang dan hati penuh dzikir.
Dialah KH. Abdul Halim, ulama
kharismatik yang telah menjadi pelita bagi warga Majalengka selama lebih dari
lima dekade. Sosoknya sederhana, tubuhnya kurus, namun setiap kalimat yang
keluar dari lisannya bagai air jernih yang menyejukkan hati. Ia bukan hanya
guru agama, tetapi juga ayah, sahabat, dan penuntun ruhani bagi ribuan orang.
Warisan
Ulama Kampung
KH. Abdul Halim lahir pada 1942 di
Desa Parungjaya, anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Haji Hasan Basri,
adalah petani sekaligus pengasuh surau kecil yang menjadi tempat belajar
anak-anak kampung. Sejak kecil, Halim sudah terbiasa mendengar lantunan
Al-Qur’an dan menghafal hadis di sela-sela tugasnya menggembala kambing. “Saya
masih ingat, setiap selesai shalat Magrib, ayah menyuruh kami duduk
mengelilingi pelita, mengaji dan mengkaji arti kehidupan,” kenangnya.
Ketika usianya 12 tahun, ia dikirim
ke Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Di sana, ia menimba ilmu dari para
ulama besar, termasuk KH. Syamsul Arifin dan KH. Ma’shum. Ia dikenal sebagai
santri yang tekun, hemat bicara, namun cepat paham. Selepas menamatkan studi,
ia sempat berguru ke Mekkah selama dua tahun, mematangkan ilmu fikih, tasawuf,
dan tafsir Al-Qur’an.
Namun, tawaran menjadi pengajar di
kota besar seperti Bandung dan Jakarta ia tolak. “Saya harus kembali ke tanah
kelahiran, di situlah ladang dakwah saya,” ucapnya dengan mata berbinar. Dan
sejak itu, Majalengka adalah medan jihad yang tak pernah ia tinggalkan.
Membuka
Jalan Hati
Saat kembali ke Majalengka pada
1970, KH. Abdul Halim tak langsung membangun pesantren besar. Ia mulai dari
langkah paling sunyi: berjalan kaki dari satu rumah ke rumah lain, mengajak
orang tua mengajar anaknya mengaji. Kadang hanya lima anak yang datang, kadang
hanya dua. Tapi ia tak pernah berhenti.
“Beliau seperti mata air,” kata
Ustaz Ridwan, salah satu muridnya. “Tak terdengar deras, tapi terus mengalir,
menghidupkan hati yang kering.”
Dari pengajian kecil di surau,
berkembanglah Pesantren Al-Hidayah di kaki Gunung Ceremai. Sekarang, pesantren
itu telah menampung lebih dari 600 santri dari berbagai daerah. Di sinilah
ajaran KH. Abdul Halim tumbuh: Islam yang lembut, membumi, dan memuliakan
manusia.
“Ngaji bukan hanya soal hafal
kitab,” ucapnya suatu ketika. “Tapi bagaimana kitab itu hidup di keseharian
kita. Jangan cuma hafal ayat tentang sabar, tapi juga sabar ketika diuji.
Jangan cuma tahu hadis tentang sedekah, tapi juga ringan tangan berbagi.”
Sosok
Pemersatu
Di tengah gejolak zaman, ketika
banyak orang terpecah karena beda pendapat, Abdul Halim tampil sebagai jembatan
yang menyatukan. Ia sering menjadi penengah ketika konflik agraria pecah antara
petani dan perusahaan. “Beliau datang bukan dengan amarah, tapi dengan air
mata,” kenang Pak Warso, seorang tokoh petani. “Tangannya menggenggam
Al-Qur’an, tapi hatinya menggenggam kami semua agar jangan saling benci.”
Ia juga menjadi rujukan lintas
golongan. Saat Majalengka mengalami konflik sosial di awal 2000-an, KH. Abdul
Halim menjadi salah satu tokoh yang diminta pemerintah untuk memediasi. Ia
menolak duduk di kursi kehormatan, dan lebih memilih berjalan dari rumah ke
rumah, menyapa warga, mendengarkan keluh kesah mereka. Baginya, keberkahan
datang dari kerendahan hati, bukan kekuasaan.
Kesederhanaan
yang Mewah
KH. Abdul Halim menolak semua
fasilitas mewah. Hingga usianya yang ke-83 ini, ia tetap tidur di atas kasur
tipis, makan dari nasi dan sambal buatan istri, dan bepergian dengan sepeda
onthel tua. Anak-anaknya pun diarahkan untuk hidup sederhana. “Bapak selalu
bilang: kemuliaan itu bukan di baju mahal, tapi di baju yang bersih karena
kerja jujur,” ujar putrinya, Bu Aisyah.
Kisah tentang kesederhanaannya sudah
seperti legenda di Majalengka. Saat diberi honor ceramah oleh seorang pejabat,
ia justru membaginya ke anak-anak yatim dan tukang becak. “Untuk apa saya
simpan, saya sudah cukup,” katanya singkat.
Menanam
dengan Air Mata
Suatu malam di tahun 2010, hujan
deras mengguyur Majalengka. Banyak rumah di kawasan pesisir sungai hancur
karena longsor. KH. Abdul Halim datang membawa selimut, makanan, dan Al-Qur’an.
Ia tak datang sebagai penceramah, tapi sebagai pelayan. Ia peluk satu per satu
korban bencana, dan berdoa bersama mereka. “Beliau menangis lebih keras dari
kami,” kata Ibu Marni, warga korban longsor. “Rasanya seperti dipeluk ayah
sendiri.”
Tangisnya adalah doa. Langkahnya
adalah kasih. Dan setiap air matanya adalah benih yang tumbuh menjadi cinta di
hati warga Majalengka.
Ulama
yang Tidak Mau Dipuja
Meski sering disebut wali kecil oleh
para santrinya, KH. Abdul Halim selalu menolak dipuja. Namanya tak pernah
muncul di baliho, bahkan fotonya jarang terlihat di publikasi. “Saya ini cuma
petani yang kebetulan bisa ngaji,” katanya merendah. Tapi justru karena itulah
banyak orang yang mencintainya.
Setiap kali diajak tampil di
televisi atau menjadi narasumber seminar nasional, ia menolak dengan halus.
“Biarlah cahaya itu datang dari amal, bukan dari kamera,” jawabnya ringan.
Wasiat
yang Tak Pernah Luntur
Dalam setiap pengajian, KH. Abdul
Halim selalu mengulang pesan sederhana tapi dalam: “Jangan tinggalkan shalat,
jangan berbohong, dan jangan menyakiti sesama.” Tiga hal ini menjadi wasiat
hidup yang dipegang ribuan santrinya hingga kini.
Dan ketika ditanya bagaimana cara
agar tetap istiqamah di zaman penuh fitnah ini, ia menjawab lirih, “Dekatlah
pada Al-Qur’an. Jangan hanya dibaca, tapi dipeluk dalam hati. Maka kamu tidak
akan kehilangan arah.”
Penghormatan
dari Langit dan Bumi
Pada tahun 2022, pemerintah
Kabupaten Majalengka memberikan penghargaan “Tokoh Inspiratif Sepanjang Masa”
kepada KH. Abdul Halim. Saat itu, ia hadir mengenakan sarung, jas lusuh, dan
peci putih. Tapi dari raut wajahnya, terpancar cahaya ketulusan yang menyentuh
semua yang hadir.
Saat pidato, ia hanya berkata,
“Semua ini bukan milik saya. Jika ada kebaikan, itu milik Allah. Jika ada
kekurangan, itu karena saya belum cukup sujud.”
Doa
untuk Negeri
Kini, usia Abdul Halim sudah senja.
Langkahnya lebih lambat, suaranya lebih pelan, tapi semangatnya tak pernah
padam. Setiap subuh, ia masih memimpin doa untuk bangsa: agar pemimpinnya
jujur, agar rakyatnya sabar, dan agar umat Islam tetap bersatu dalam kasih.
“Negeri ini butuh cinta, bukan
cacian. Butuh doa, bukan kutukan,” katanya.
Penutup:
Cahaya yang Tak Padam
Warga Majalengka menyebut KH. Abdul
Halim sebagai pelita di tengah gelap zaman. Ia tak menuntut jabatan, tak
mengejar panggung, tapi hidupnya adalah dakwah yang tak henti bersinar.
Di masjid tua tempat ia biasa
mengajar, tertulis sebuah kalimat yang ia tulis sendiri: “Siapa yang hidup
untuk orang lain, maka Allah akan hidup bersamanya di dunia dan akhirat.”
Begitulah KH. Abdul Halim, ulama
kampung yang hidupnya membekas di hati warga Majalengka. Ia mungkin tak
meninggalkan harta, tapi ia meninggalkan warisan yang lebih abadi: cinta, ilmu,
dan keteladanan.[Ba]