PELITA MAJALENGKA - Di tengah gemuruh kehidupan modern yang ditandai oleh ambisi, kompetisi, dan glamor duniawi, manusia sering kali terjebak dalam pusaran kesibukan mengejar harta. Setiap hari berlalu dengan agenda yang padat: bekerja, menabung, investasi, dan ekspansi bisnis.
Semua dijalani demi satu tujuan: bertambahnya kekayaan. Namun, di balik hitungan angka-angka di neraca keuangan itu, adakah hitungan amal dan dosa yang kita sisihkan waktu untuk merenunginya?
Dunia: Ladang Bukan Tujuan
Rasulullah SAW bersabda, "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir." (HR. Bukhari). Dunia ini hanyalah tempat singgah, bukan tempat tinggal. Ia adalah ladang untuk menanam amal, bukan tempat bersantai dan tenggelam dalam kenikmatan fana.
Namun, betapa sering kita memandang dunia sebagai akhir dari segalanya. Kita rela begadang demi mengejar peluang bisnis, tapi malas bangun malam untuk shalat tahajjud. Kita rajin mencatat laba-rugi usaha, tapi lupa mencatat berapa banyak dosa yang belum kita taubati.
Harta Itu Netral, Tapi Cinta Dunia Bisa Membutakan
Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya. Bahkan banyak sahabat Rasul yang hartawan: Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf—namun kekayaan mereka tidak membutakan hati. Mereka menjadikan harta sebagai kendaraan menuju ridha Allah, bukan tirai yang menutupi mata dari akhirat.
Yang menjadi masalah bukan pada hartanya, melainkan pada hati yang terlalu melekat padanya. Ketika harta sudah menjadi berhala tersembunyi, maka hisab akan terlupakan, dan istighfar menjadi hal yang langka.
Menghitung Dosa: Refleksi yang Terlupakan
Betapa rajin kita menghitung keuntungan harian, mingguan, bulanan. Betapa telitinya kita dalam memperhatikan fluktuasi pasar dan nilai tukar. Tapi kapan terakhir kita menghitung berapa banyak lisan ini menyakiti orang? Berapa kali mata ini melihat yang diharamkan? Berapa sering waktu kita habis tanpa dzikir, tanpa amal shalih?
Padahal, Allah berfirman: "Dan setiap jiwa akan datang bersama seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi (atas amalnya)." (QS. Qaf: 21). Amal kita semua tercatat, tak ada yang luput. Tapi kita, seringkali tak peduli. Kita terlalu sibuk mengatur strategi duniawi, hingga lupa mengatur strategi untuk selamat di akhirat.
Istighfar: Hitunglah Dosa Sebanyak Kita Hitung Uang
Bayangkan jika setiap kita membuka dompet, kita juga membuka hati untuk merenung: "Apakah hari ini aku lebih dekat kepada Allah?" Setiap kali mengecek saldo tabungan, kita bertanya: "Berapa banyak amal baik yang telah kuinvestasikan untuk akhirat?" Setiap mengevaluasi performa bisnis, kita juga mengevaluasi shalat kita: apakah khusyuk? Apakah tepat waktu?
Seandainya istighfar menjadi rutinitas seperti mengecek email atau notifikasi ponsel, niscaya hidup ini akan lebih tenang. Rasulullah SAW yang maksum saja beristighfar lebih dari 70 kali dalam sehari. Lalu bagaimana dengan kita yang penuh kekurangan dan celah dosa?
Kematian Tidak Menunggu Kekayaan Sempurna
Kita terus menunda taubat karena merasa masih muda, masih sehat, dan masih banyak proyek yang harus dijalankan. Tapi maut tak pernah menunggu kekayaan mencapai angka tertentu. Ia datang tanpa janji, tanpa aba-aba. Ketika kematian datang, bukan saldo rekening yang ditanyakan, tapi amal ibadah, kejujuran, shalat, dan hubungan kita dengan sesama.
Allah SWT mengingatkan dalam QS. Al-Munafiqun:10, "Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: 'Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menangguhkan (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.'"
Tapi sayangnya, penyesalan saat itu sudah tak berguna.
Harta yang Memberatkan Timbangan Amal
Bukan harta yang salah, tapi orientasi dan penggunaannya. Jika kekayaan dijadikan alat untuk berbagi, membantu sesama, dan memperkuat dakwah, maka ia akan menjadi pemberat timbangan amal. Namun jika ia hanya dikumpulkan, dihitung, dan dibanggakan, maka bisa jadi ia menjadi beban di akhirat kelak. Rasulullah bersabda: "Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ia ditanya tentang hartanya: dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan." (HR. Tirmidzi)
Mengapa Kita Tidak Menghisab Diri Sebelum Dihisab?
Umar bin Khattab berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah (amal) kalian sebelum ditimbang.” Ini bukan ajakan untuk menjadi pesimis atau merasa tak layak, tetapi panggilan untuk lebih sadar. Kesadaran itu menyelamatkan. Dengan menghitung dosa, kita terdorong untuk bertaubat. Dengan menyadari kekurangan, kita terdorong untuk memperbaiki.
Mari Bersihkan Neraca Jiwa Kita
Jika neraca keuangan kita terus diperiksa agar stabil, maka neraca jiwa kita pun harus lebih dijaga. Berapa sering kita menyakiti hati orang tua? Berapa kali kita membiarkan saudara seiman kelaparan? Berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia tanpa dzikir dan ilmu?
Sekarang saatnya kita ubah prioritas. Dunia bukan untuk dikutuk, tapi untuk dikelola secara amanah. Akhirat bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Mari jadikan harta sebagai sarana, bukan tujuan. Mari luangkan waktu bukan hanya menghitung pemasukan, tapi juga memperbanyak istighfar, memperbaiki diri, dan menghisab amal sebelum terlambat.
Ingat Akhirat, Meski Dunia Menawarkan Segalanya
Dunia akan selalu menggoda. Ia akan membuat kita merasa bahwa semua ini belum cukup. Tapi akhirat hanya menanyakan satu hal: apakah kita sudah cukup taat?
Jangan biarkan hidup kita berakhir dengan penyesalan karena terlalu sibuk mengejar angka, tapi lupa mengejar ridha Allah. Jadilah insan yang cerdas—yang menghitung dunia secukupnya, tapi menghisab dosa sebanyak-banyaknya. Karena di ujung kehidupan ini, bukan berapa banyak kita miliki yang menjadi ukuran, tetapi seberapa bersih kita kembali kepada-Nya.
“Dunia hanya tiga hari: kemarin yang telah berlalu, hari ini untuk beramal, dan esok yang belum tentu kita raih. Maka, jangan buang hari ini hanya untuk menghitung kekayaan, tapi gunakanlah untuk menghitung dan menghapus dosa.”
Wallahu a’lam.[BA]