PELITA MAJALENGKA - KITA hidup di zaman paling canggih sepanjang sejarah umat manusia. Hanya dengan sekali klik, kita bisa berbicara dengan seseorang bahkan beberapa orang sekaligus di belahan dunia lain. Semua informasi, hiburan, kebutuhan, bahkan teman-teman ada dalam genggaman. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan ini, ada yang pelan-pelan menghilang: kepedulian sosial.
Ironisnya, semakin dunia menjadi ‘tanpa batas’, justru
semakin banyak hati yang beku. Kita bisa tahu ada banjir di kota tetangga, ada
kemiskinan di pinggir jalan, ada anak-anak menangis kelaparan, tapi kita scroll
saja layar ponsel, melewatinya seperti iklan yang tak penting. Ketika jarak
bukan lagi penghalang, justru rasa peduli menjadi hal yang langka.
Masyarakat digital hari ini punya banyak mata, tapi
sedikit yang benar-benar menatap. Banyak yang melihat, tapi tak merasa. Kita
sibuk merekam penderitaan orang lain, tapi tak benar-benar membantu. Kita
berlomba menjadi viral, bukan menjadi bermanfaat. Ini bukan
sekadar kehilangan empati, tapi tanda bahwa jiwa kita mulai mati rasa.
Pernahkah kita merenung, kenapa banyak orang yang
mengakhiri hidup padahal ribuan followers memujanya? Kenapa banyak ibu-ibu tua
terlantar meski punya anak-anak yang sukses? Kenapa tetangga sebelah meninggal
beberapa hari tanpa ada yang tahu? Jawabannya sederhana tapi menyakitkan: kita
terlalu sibuk melihat layar, hingga lupa menengok sekitar.
Di sinilah kepedulian sosial menjadi sangat penting,
lebih penting dari sebelumnya. Di era digital yang menawarkan ilusi kedekatan,
justru kita harus melawan dengan menghadirkan kedekatan yang nyata—kedekatan
hati, kepedulian yang tak hanya virtual, tapi menyentuh langsung.
Saat Empati Menjadi Revolusi Diam-diam
Kepedulian sosial bukan lagi sekadar ajakan moral. Ia
adalah kebutuhan spiritual manusia modern. Di tengah derasnya informasi, banjir
konten hiburan, dan gaya hidup yang individualistis, kepedulian menjadi oase
yang menghidupkan nurani.
Ketika kita menyisihkan waktu untuk membantu orang lain,
kita sedang menyelamatkan jiwa kita sendiri. Saat kita menemani orang sakit,
menyumbang untuk yang tertimpa musibah, atau sekadar mendengarkan curhat teman
yang putus asa—di situlah kita sedang menjaga kemanusiaan kita agar tak hilang.
Kita butuh revolusi empati. Bukan dengan teriakan, tapi dengan
tindakan-tindakan kecil yang konsisten. Sapa tetangga. Peluk orang tua. Ajak
ngobrol anak-anak jalanan. Dukung UMKM lokal. Bantu teman yang sedang bangkrut.
Semua itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.
Di era algoritma yang membentuk dunia sesuai selera kita,
empati adalah bentuk perlawanan. Kepedulian adalah sikap sadar bahwa dunia
bukan hanya tentang ‘aku’, tapi ‘kita’. Dunia ini terlalu sempit untuk diisi
ego saja. Ia perlu cinta, perhatian, pengorbanan—hal-hal yang tak bisa dibeli
dengan saldo dompet digital.
Bayangkan, jika satu orang saja peduli pada satu orang
lain setiap harinya, dalam sebulan dunia akan lebih hangat. Tak perlu semua
orang jadi pahlawan, cukup masing-masing dari kita jadi manusia.
Tentu, ini tak mudah. Dunia modern membuat kita terbiasa
hidup cepat dan serba praktis. Tapi justru di situlah nilai dari kepedulian: ia
butuh waktu, hati, dan pengorbanan. Di tengah kesibukan kita bekerja, belajar,
menciptakan konten, mari sisihkan sedikit untuk peduli. Karena kepedulian
adalah investasi yang tak pernah rugi.
Dalam sejarah panjang peradaban, kemajuan teknologi
bukanlah jaminan kebahagiaan. Yang membuat manusia tetap manusia adalah
hatinya—kemampuannya untuk merasakan, berbagi, membantu, dan saling menguatkan.
Maka, jika di era ini semuanya menjadi mudah, jangan biarkan kepedulian menjadi
hal yang dilupakan.
Mari kita bangun kembali budaya gotong-royong, empati,
dan solidaritas. Jangan biarkan tetangga sakit tak terurus. Jangan biarkan
teman online kita menyimpan luka sendiri. Jangan biarkan anak-anak jalanan
kehilangan harapan. Dan jangan biarkan diri kita kehilangan nurani.
Kita tidak bisa menyelamatkan seluruh dunia. Tapi kita
bisa menyelamatkan dunia seseorang. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat
dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.
Karena pada akhirnya, ketika dunia terasa dingin, yang
bisa menghangatkannya bukan teknologi, tapi kepedulian manusia.[BA]