Gaya Hidup Umat yang Semakin Melenceng

Lihatlah, masjid begitu sepi. Sementara pasar selalu ramai dikunjungi manusia

PELITA MAJALENGKA - Di tengah hiruk pikuk dunia yang serba cepat dan modern ini, umat Islam semakin larut dalam gaya hidup yang jauh dari tuntunan agama. Banyak yang tak lagi mengenal arah kompas ruhani, seolah kehidupan ini hanya tentang memenuhi hasrat duniawi: pencitraan di media sosial, mengejar harta dan popularitas, serta mengukur kesuksesan dari kemewahan materi. Padahal, semua itu fana. Akan sirna seiring ajal yang datang tanpa pemberitahuan.

Hati kita tak lagi tenang, karena terlalu sibuk mengejar hal-hal yang justru menjauhkan kita dari Allah. Ketika azan berkumandang, kita tetap asyik dengan gawai. Saat Al-Qur’an dibacakan, hati tak bergetar. Waktu berjam-jam kita habiskan untuk hiburan, tapi merasa berat untuk shalat lima menit saja. Ini bukan hanya tanda kelalaian, tapi juga pertanda bahwa gaya hidup kita telah melenceng jauh dari jalan lurus.

Kita terjebak dalam gaya hidup konsumtif, pamer kekayaan, mengejar gaya, lupa makna. Rumah besar, kendaraan mewah, pakaian bermerek—semua dikumpulkan, meski harus berhutang dan menekan nurani. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tapi hari ini, banyak hati yang miskin meski dompet penuh.

Umat yang dulunya dikenal dengan kesederhanaan, ketakwaan, dan ukhuwah yang erat, kini justru tercerai-berai karena ego dan gengsi. Banyak dari kita yang rela menipu demi untung, menindas demi jabatan, mencela demi sensasi. Seakan lupa bahwa semua amal akan dipertanggungjawabkan. Seakan tak peduli bahwa setiap detik hidup adalah bekal untuk akhirat.

Pendidikan anak pun ikut terseret arus. Banyak orang tua lebih bangga melihat anak fasih berbahasa asing ketimbang hafal surat Al-Fatihah. Bangga jika anaknya jago matematika, tapi tak pernah mengajaknya shalat berjamaah. Kita sedang mencetak generasi hebat dunia, tapi lemah iman dan rapuh akhlaknya. Ini alarm besar yang tak boleh diabaikan.

Gaya hidup hedonis telah mengaburkan makna hidup. Banyak dari kita lebih takut kehilangan followers daripada kehilangan shalat. Lebih galau jika jaringan internet terputus, ketimbang jika hubungan dengan Allah terputus. Lebih semangat mengedit konten daripada memperbaiki akhlak. Inilah realita menyedihkan umat yang perlahan tapi pasti kehilangan arah.

Namun, belum terlambat untuk berubah. Allah Maha Pengampun dan selalu membuka pintu taubat bagi siapa pun yang ingin kembali. Kita hanya perlu menundukkan kepala, meneteskan air mata penyesalan, dan menata ulang hidup sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Mari kembali kepada kesederhanaan, kepada keikhlasan, kepada hidup yang penuh makna dan tujuan.

Bangkitlah wahai umat! Jangan biarkan dunia menenggelamkan akhirat kita. Jangan biarkan gaya hidup melenceng menjadikan kita hamba dunia, bukan hamba Allah. Mulailah dari diri sendiri: perbaiki niat, luruskan langkah, dan isi hari-hari dengan kebaikan yang Allah ridai.

Karena pada akhirnya, rumah megah akan kita tinggalkan, popularitas akan dilupakan, dan yang akan menemani hanyalah amal kita. Maka, gaya hidup seperti apakah yang sedang kita bangun hari ini? Yang menyelamatkan atau justru membinasakan?

Semoga tulisan ini menjadi pengingat untuk kita semua. Bahwa hidup ini bukan untuk bergaya, tapi untuk bertakwa. Bukan untuk diperindah di mata manusia, tapi untuk diterima di sisi Allah. Mari kembali ke jalan yang lurus, sebelum semuanya terlambat.[BA]