Antara Gelar Akademik dan Kosongnya Hati: Sebuah Renungan Bagi yang Lupa Mengisi Hati


PELITA MAJALENGKA - 
Di era modern ini, pendidikan formal begitu diagungkan. Gelar-gelar akademik seperti sarjana, magister, doktor, hingga profesor menjadi simbol kesuksesan dan kehormatan. Bangga rasanya ketika nama kita dihiasi embel-embel akademik di depan atau belakangnya. Tak sedikit yang rela menempuh waktu bertahun-tahun, menghabiskan biaya besar, demi satu gelar yang bisa dibanggakan di hadapan manusia. 

Namun, sungguh menyayat hati ketika kita menyadari bahwa banyak gelar yang diraih tidak selaras dengan kebangkitan hati. Akademik memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah kehidupan ruhani. Apa guna segunung ilmu bila hati hampa, kosong dari cahaya Ilahi?

Betapa miris melihat seseorang yang mampu menyampaikan teori kompleks dengan lantang, tetapi tak mampu menundukkan hatinya di hadapan Tuhannya. Ia ahli dalam diskusi, namun gagap dalam bersujud. Ia cakap dalam seminar, namun gersang dalam zikir. Ia dipuji karena cerdas di hadapan manusia, tetapi lupa memperjuangkan nilai-nilai yang menghidupkan hatinya. Inilah tragedi akademik yang sesungguhnya. Gelar terus diraih, namun hati tak pernah disentuh. Bangunan kognitif menjulang tinggi, tapi jiwa dibiarkan runtuh.

Mengapa Hati Menjadi Terlupakan?

Kesalahan terbesar dunia modern adalah mengukur manusia hanya dengan kepandaian intelektual. Padahal, kecerdasan sejati bukan hanya terletak di otak, tetapi di hati. Allah tidak menilai manusia dari gelar dan jabatan, melainkan dari ketakwaan dan kejernihan jiwa. Namun sayang, banyak yang lebih sibuk menghafal teori daripada menghafal Al-Qur'an. Lebih bangga menjadi keynote speaker di forum internasional daripada menjadi hamba yang menangis dalam doa malam. Akibatnya, lahirlah generasi cerdas tapi congkak, pintar tapi pongah, ahli ilmu tapi jauh dari kebijaksanaan.

Ketika pendidikan hanya menjadi ajang meraih gelar, bukan membentuk insan kamil, maka kerusakan tak bisa dielakkan. Kerusakan sosial menjadi nyata. Lihatlah, betapa banyak profesor yang tak malu melakukan korupsi. Betapa banyak doktor yang justru menyebarkan kebencian lewat lidah tajamnya. Betapa banyak akademisi yang kehilangan integritas karena menjadikan ilmunya sebagai alat meraih kuasa dan harta. Ilmu yang seharusnya menjadi cahaya, justru berubah menjadi kegelapan karena tak disinari oleh iman.

Dalam bidang budaya, ketimpangan nilai makin nyata. Ilmu tanpa iman melahirkan kekeringan spiritual. Lahirlah budaya kompetisi yang tak sehat, budaya pamer, budaya mencari pengakuan manusia semata. Budaya ilmu yang seharusnya merendahkan hati malah mengangkat ego hingga menembus langit kesombongan. Akhirnya, pendidikan menjadi lahan gengsi, bukan sarana ibadah.

Dalam aspek ekonomi, ketimpangan makin tajam. Banyak lulusan bergelar tinggi tak berpikir untuk menciptakan solusi bagi masyarakat, tetapi justru sibuk mencari pekerjaan bergaji besar demi memperkaya diri. Ilmu ekonomi hanya dijadikan alat eksploitasi, bukan pemberdayaan. Maka jangan heran jika angka kemiskinan dan ketimpangan sosial tetap tinggi, meski lembaga-lembaga pendidikan terus mencetak lulusan-lulusan cerdas setiap tahunnya.

Kematian Spiritual Kaum Intelektual

Gelar yang diraih tanpa diiringi dengan penyucian hati hanya akan melahirkan intelektual yang mati secara spiritual. Mereka hidup dalam tubuh, tapi mati dalam jiwa. Mereka berjalan dengan penuh percaya diri di depan manusia, tetapi tertatih-tatih di hadapan Allah. Inilah hakikat dari firman Allah, “Mereka itu seperti keledai yang memikul kitab-kitab besar.” (Qs. Al-Jumu'ah: 5)

Ayat ini menggambarkan dengan gamblang bahwa ilmu yang tak membekas dalam jiwa hanyalah beban. Layaknya keledai yang membawa buku, ia berat menanggungnya namun tak mengerti isinya. Demikianlah manusia bergelar tinggi namun kosong dari nilai iman dan amal.

Ilmu hati adalah ilmu yang menghidupkan. Ia menjadikan seseorang tidak hanya cerdas dalam berpikir, tapi juga bijak dalam bertindak. Ia mengantarkan pemiliknya kepada kebaikan, kelembutan, dan ketulusan. Ilmu hati mengajarkan bahwa keikhlasan lebih tinggi daripada popularitas, bahwa kerendahan hati lebih mulia daripada kesombongan intelektual. Maka, siapa pun yang menempuh pendidikan harus berani bertanya pada dirinya: Apakah ilmu ini mendekatkanku kepada Allah atau hanya mendekatkanku pada dunia?

Pendidikan sejati adalah pendidikan yang menghubungkan akal dengan ruh, logika dengan akhlak, pengetahuan dengan penghambaan. Ia bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembinaan karakter. Bukan hanya mencetak sarjana, tapi juga mukmin yang merunduk di hadapan Rabb-nya. Bukan hanya membentuk dosen dan guru, tapi juga pewaris para nabi. Maka, mari kita evaluasi: apakah sistem pendidikan kita hari ini telah menghidupkan hati, atau justru membuat hati menjadi beku?

Sudah saatnya kita berhenti bangga semata pada gelar. Sudah saatnya kita menata ulang niat kita menuntut ilmu. Apakah kita menuntut ilmu untuk memperbaiki diri atau hanya memperindah CV? Apakah kita kuliah agar bisa membanggakan orang tua, atau agar bisa menjadi pejuang ilmu yang jujur di hadapan Allah? Mari kita bangun paradigma bahwa ilmu bukan tujuan akhir, melainkan jalan untuk mendekat kepada-Nya. Bukan prestise yang kita cari, tapi ridha Ilahi.

Hati yang Hidup Lebih Mulia dari Gelar Apapun

Gelar bisa dibeli dengan waktu dan biaya. Tapi hati yang hidup hanya bisa diraih dengan perjuangan dan keikhlasan. Orang yang bergelar tinggi tapi kosong hatinya ibarat bangunan mewah tanpa fondasi—mudah roboh oleh ujian kehidupan. Namun orang yang hatinya hidup, meski tanpa gelar, ia mampu menjadi cahaya bagi sekitar, menjadi teladan dalam kesunyian, dan menjadi saksi iman yang tulus. Maka, daripada sibuk mengejar gelar untuk dilihat manusia, lebih baik kita sibuk menghidupkan hati agar dilihat oleh Allah.

Karena itu, wahai para penuntut ilmu, renungkanlah sejenak: apa arti ilmu yang tak menuntun kepada taat? Apa makna kepandaian jika tidak menghadirkan kebijaksanaan? Jangan biarkan gelar menjadi hijab yang menutupi hati dari cahaya kebenaran. Jangan jadikan ilmu sebagai pelita yang hanya menyinari orang lain, tetapi membiarkan diri sendiri berjalan dalam kegelapan. Ilmu tanpa iman ibarat pedang di tangan orang buta—tajam, berbahaya, dan tak tahu arah. Ilmu tanpa hati adalah kesombongan yang tertata rapi. Maka, bersihkanlah niat, luruskan arah, dan ikhlaskan jalan menuntut ilmu hanya karena Allah.

Mari kita kembali kepada tujuan sejati dari pencarian ilmu: membentuk insan yang bukan hanya berpikir, tetapi juga merasa. Bukan hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Bukan hanya menguasai teori, tetapi juga menghidupkan makna. Gelar hanyalah tempelan duniawi yang tak akan ditanya di akhirat. Yang akan ditanya adalah sejauh mana ilmu kita bermanfaat, sejauh mana hati kita tersentuh oleh kebenaran, dan sejauh mana hidup kita menjadi cahaya bagi sesama. Maka, mari kita berdoa, semoga Allah karuniakan kita bukan hanya kecerdasan akal, tetapi juga kejernihan hati. Karena di hadapan-Nya, hati yang hidup lebih berharga dari segala gelar dunia.

Semoga kita tidak hanya menjadi cendekiawan di dunia, tapi juga kekasih Allah di akhirat. Karena sesungguhnya, sebaik-baik ilmu adalah yang menjadikan kita lebih takut kepada Allah. Dan sebaik-baik gelar adalah 'Abdullah – hamba Allah, yang bersujud dengan rendah, meski dihormati oleh dunia.[BA]

Mi’raj News Agency (MINA)