Fakta Mengejutkan: Iran Pernah Jadi Mitra Terdekat Israel


PELITA MAJALENGKAN - 
Saat ini, Iran dikenal sebagai musuh bebuyutan Israel di panggung politik Timur Tengah. Retorika anti-Zionisme menggema dalam pidato-pidato para pemimpin Iran, sementara bendera Israel dibakar dalam berbagai demonstrasi di Teheran. Namun, sedikit yang tahu bahwa sebelum Revolusi Islam 1979, Iran justru pernah menjadi mitra strategis terdekat Israel. Fakta ini mungkin mengejutkan banyak orang, terutama mengingat kerasnya permusuhan antara kedua negara dalam empat dekade terakhir.

Dalam artikel ini, kita akan mengulas bagaimana Iran dan Israel membangun hubungan erat di era Shah Mohammad Reza Pahlavi, mengapa hubungan itu terjalin, dan bagaimana semuanya berakhir seiring naiknya kekuasaan Ayatollah Khomeini.

Aliansi Tersembunyi: Latar Belakang Hubungan Iran-Israel

Sejarah hubungan Iran-Israel dimulai tidak lama setelah berdirinya negara Israel pada 1948. Meski mayoritas negara-negara Muslim memutuskan untuk tidak mengakui keberadaan Israel, Iran di bawah kekuasaan Shah mengambil pendekatan yang berbeda. Meskipun secara resmi Iran tidak pernah mengakui Israel sebagai negara, namun secara de facto kedua negara menjalin hubungan diplomatik dan strategis.

Di balik layar, keduanya berbagi kepentingan yang sama: menghadapi ancaman dari negara-negara Arab, khususnya Mesir yang saat itu dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, tokoh utama pan-Arabisme. Shah melihat Israel sebagai mitra potensial untuk menjaga stabilitas kawasan, sementara Israel menganggap Iran sebagai sekutu penting dalam menghadapi isolasi regional. Maka dimulailah aliansi tersembunyi yang berlangsung hingga akhir dekade 1970-an.

Doktrin Periphery: Strategi Israel Mencari Sekutu Non-Arab

Salah satu dasar dari hubungan Iran-Israel adalah apa yang disebut “periphery doctrine” atau doktrin pinggiran. Ini adalah strategi yang dikembangkan oleh Israel untuk mencari sekutu dari negara-negara non-Arab yang berada di sekitar dunia Arab.

Israel pada waktu itu dikelilingi oleh negara-negara Arab yang menolak keberadaannya. Maka, agar tetap bertahan dan membangun pengaruh, Israel menjalin aliansi dengan negara-negara seperti Iran, Turki, dan Ethiopia. Negara-negara ini dianggap tidak memiliki kepentingan langsung dalam konflik Arab-Israel dan cenderung bersikap pragmatis dalam urusan luar negeri.

Iran, dengan kekuatan ekonomi dan militer yang besar, menjadi sekutu paling penting dalam strategi ini.

Diplomasi Bayangan: Kantor Dagang dan Intelijen

Meski tidak ada hubungan diplomatik formal, Iran dan Israel membuka kantor dagang yang berfungsi seperti kedutaan terselubung. Israel memiliki perwakilan diplomatik di Teheran, sedangkan Iran memiliki kantor dagang aktif di Tel Aviv sejak tahun 1950-an.

Lewat kantor-kantor inilah kedua negara menjalin kerja sama ekonomi dan pertukaran informasi. Teknologi Israel, terutama dalam bidang pertanian dan militer, menjadi barang yang sangat diminati oleh Iran. Sebaliknya, minyak dari Iran menjadi sumber energi penting bagi Israel yang diblokade oleh sebagian besar dunia Arab.

Lebih dari itu, kerja sama paling erat justru terjadi di bidang intelijen. Dinas rahasia Israel (Mossad) dan badan intelijen Iran (SAVAK) menjalin hubungan sangat dekat. Mossad memberikan pelatihan bagi agen-agen SAVAK, termasuk teknik kontra-subversi, penyadapan, hingga penyusupan. Kedua lembaga ini juga saling bertukar informasi untuk mengatasi ancaman dari kelompok kiri, komunis, dan Islamis radikal.

Proyek Militer Rahasia: Project Flower

Salah satu puncak kerja sama militer Iran-Israel adalah proyek rahasia bernama Project Flower yang dimulai sekitar tahun 1977. Proyek ini adalah kolaborasi antara Iran dan Israel untuk mengembangkan rudal jarak menengah berbasis teknologi rudal Gabriel milik Israel.

Iran membiayai proyek tersebut dengan kekayaan minyaknya, sementara insinyur Israel menyediakan teknologi dan keahlian. Tujuannya adalah agar Iran dapat memiliki sistem pertahanan mutakhir sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap persenjataan Barat. Namun, proyek ini berhenti total pada 1979 setelah Shah digulingkan dan hubungan Iran-Israel runtuh total.

Pasokan Energi: Minyak Iran untuk Israel

Selama tahun 1960–1970-an, Iran adalah pemasok utama minyak untuk Israel. Hal ini dilakukan secara rahasia, mengingat embargo minyak dari negara-negara Arab terhadap negara yang menjalin hubungan dengan Israel. Iran bahkan terlibat dalam pembangunan infrastruktur energi di Israel, termasuk jalur pipa dan terminal di wilayah gurun Negev.

Bagi Israel yang diisolasi dari pasar minyak dunia, kerja sama dengan Iran sangat penting untuk menjamin kelangsungan ekonominya. Fakta ini menjadi bukti bahwa kepentingan strategis dan ekonomi bisa mengalahkan pertimbangan ideologis dalam politik luar negeri.

Musuh Bersama: Nasionalisme Arab dan Komunisme

Di samping kerja sama ekonomi dan militer, kedua negara juga memiliki musuh bersama: nasionalisme Arab dan komunisme. Pan-Arabisme yang digagas oleh Mesir dan didukung oleh negara-negara seperti Irak dan Suriah dianggap sebagai ancaman besar bagi stabilitas kawasan dan kekuasaan Shah.

Iran dan Israel juga sama-sama menentang pengaruh Uni Soviet dan ideologi komunisme yang mengancam aliansi Barat di Timur Tengah. Inilah dasar geopolitik yang mengikat dua negara ini, meskipun latar belakang budaya dan agama mereka sangat berbeda.

Ketergantungan pada Dukungan Barat

Amerika Serikat memegang peran penting dalam memperkuat aliansi ini. Selama Perang Dingin, AS melihat Iran dan Israel sebagai dua tiang penyangga utama untuk membendung pengaruh Soviet. AS secara diam-diam mendorong kerja sama kedua negara, sekaligus memberikan bantuan militer dan ekonomi.

Shah Iran merupakan sekutu utama AS di kawasan Teluk, dan Israel merupakan mitra strategis yang tak tergantikan di jantung Timur Tengah. Dalam kerangka inilah, aliansi Iran-Israel mendapat dukungan moral dan logistik dari Washington.

Pecahnya Hubungan: Revolusi Islam 1979

Segala bentuk kerja sama antara Iran dan Israel hancur ketika Revolusi Islam meletus tahun 1979. Shah digulingkan dan digantikan oleh Republik Islam Iran di bawah pimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Dalam pidato-pidatonya, Khomeini menyebut Israel sebagai “Setan Kecil” dan menjadikan perjuangan membela Palestina sebagai bagian dari prinsip revolusi.

Iran memutuskan seluruh hubungan dengan Israel, menutup kantor dagang di Tel Aviv, dan mengusir semua perwakilan diplomatik Israel dari Teheran. Sejak saat itu, Iran menjadi salah satu negara yang paling vokal menentang keberadaan Israel, baik secara politik maupun militer.

Masa Pasca-Revolusi: Hubungan Gelap di Tengah Permusuhan

Meski secara resmi permusuhan menguat, beberapa laporan menunjukkan adanya kontak tidak langsung antara Iran dan Israel di awal 1980-an, terutama selama perang Iran-Irak. Israel dikabarkan memasok senjata kepada Iran lewat jalur rahasia, sebagai bagian dari operasi Iran-Contra yang juga melibatkan AS. Namun, kerja sama ini bersifat pragmatis dan tidak pernah mengembalikan hubungan seperti masa Shah.

Pelajaran Sejarah: Kepentingan Mengalahkan Ideologi

Kisah Iran-Israel sebelum Revolusi 1979 menunjukkan bahwa dalam politik luar negeri, kepentingan strategis sering kali lebih dominan daripada ideologi. Dua negara yang kini bermusuhan pernah menjalin hubungan sangat erat demi keamanan dan kekuatan nasional. Ini mengajarkan bahwa konflik di Timur Tengah tidak selalu berbasis agama, tapi juga pertimbangan realistis tentang kekuasaan, sumber daya, dan stabilitas.

Di era saat ini, ketika negara-negara Arab seperti UEA dan Bahrain mulai membuka hubungan dengan Israel, sejarah hubungan Iran-Israel bisa menjadi cermin. Aliansi bisa berubah seiring perubahan rezim, ideologi, atau kalkulasi kepentingan.

Fakta bahwa Iran pernah menjadi mitra strategis terdekat Israel bukan hanya episode yang menarik, tetapi juga penting untuk memahami kompleksitas geopolitik Timur Tengah. Dunia tidak berjalan dalam garis lurus antara kawan dan lawan. Aliansi bisa terbentuk dan runtuh berdasarkan kalkulasi realistis, bukan semata-mata atas dasar agama atau ideologi.

Mengingat sejarah ini, kita bisa membaca peta konflik dan perdamaian di Timur Tengah dengan kacamata yang lebih jernih — bahwa dalam politik internasional, tidak ada musuh abadi, tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.[BA]

[Diolah dari berbagai sumber]