PELITA MAJALENGKA - “ADA generasi yang hafal banyak ayat, tapi tak satupun menempel di hati. Ada manusia yang berpenampilan Islami, tapi perilakunya menjauhkan orang dari Islam.”
Kita hidup di era ketika nilai ditentukan oleh penampilan, bukan kepribadian. Gaya mengalahkan isi, pencitraan menutupi kekosongan. Maka lahirlah apa yang disebut Muslimin kosmetik — mereka yang tampak agamis dari luar, tapi rapuh di dalam.
Lihatlah sekeliling. Media sosial kita penuh dengan konten "islami": hijrah, ceramah motivasi, kajian live, hafalan ayat-ayat Al-Qur’an dibaca dengan nada indah. Tapi ironisnya, angka kezaliman juga meningkat, adab menurun, kesombongan merajalela, dan ukhuwah rapuh.
Banyak yang tampil syar’i, namun tak segan menggunjing. Banyak yang membagikan ayat, tapi keras kepala dalam berdebat. Banyak yang bersuara tentang sunnah, tapi wajahnya penuh amarah. Seolah agama hanya menjadi identitas gaya, bukan petunjuk hidup. Islam hanya tinggal label, bukan laku.
Tak salah berdandan rapi, bersih, bahkan menawan — karena Rasulullah pun cinta akan kebersihan dan kerapihan. Tapi agama ini bukan sekadar bungkus. Ia adalah isi. Jangan sampai kita seperti makanan kaleng yang luarannya berkilau, padahal dalamnya basi.
Inilah bahaya dari agama yang hanya dipakai di permukaan. Tak ada pondasi ruhiyah. Tak ada kedalaman tadabbur. Yang penting dilihat syar’i, difoto saat ngaji, dipuji karena pakaiannya. Tapi tidak malu saat menyakiti hati sesama, atau memperjualbelikan nilai agama demi popularitas.
Ketika Amal Menjadi Konten, dan Dosa Tak Lagi Dihisab
Salah satu penyakit zaman ini adalah menjadikan agama sebagai bahan konten. Kita shalat — tapi lalu direkam. Kita sedekah — tapi harus disebutkan nominal. Kita dakwah — tapi niatnya branding diri. Bahkan ada yang menangis dalam doa, tapi tetap menyalakan kamera.
Agama bukan untuk dipamerkan, ia untuk dijalani. Shalat bukan pertunjukan, tapi perjumpaan dengan Allah. Hijrah bukan konten viral, tapi perjalanan menundukkan ego. Sedekah bukan strategi marketing, tapi bukti cinta kepada akhirat.
Ketika agama hanya jadi "branding", maka yang dicari bukan lagi ridha Allah, tapi engagement rate. Amal jadi alat mendulang popularitas. Bahkan semakin banyak akun-akun "bertema Islam" yang justru menjauhkan dari ruh Islam itu sendiri. Isinya hujatan, adu dalil dengan kasar, hingga konten-konten berbalut agamis yang memancing syahwat.
Muslimin kosmetik pun lahir dari budaya ini — mereka yang tampak religius, tapi kosong dari kelembutan ruh. Ia tampil Islami, tapi perilakunya keras, sombong, tidak lapang dada, dan jauh dari akhlak Rasulullah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Jika kita hanya mengejar tampilan luar dan pujian manusia, lalu ke mana tujuan sebenarnya dari ibadah kita? Bukankah yang kita cari adalah wajah Allah, bukan like dan komentar?
Lebih menyedihkan lagi, banyak yang membungkus dosa dengan bungkus agama. Bergaya Islami tapi melakukan manipulasi. Menjual nama agama untuk proyek pribadi. Bahkan ada yang menyebut Islam, tapi menyakiti sesama Muslim tanpa rasa bersalah.
Bila ruh agama tak ada, maka semua amal hanya jadi kosmetik — memperindah wajah di mata manusia, tapi tidak mengangkat derajat di sisi Allah.
Kita Butuh Jiwa, Bukan Sekadar Citra
Sudah saatnya kita kembali bertanya: siapa diri kita sebenarnya saat tidak dilihat orang lain? Apa yang kita lakukan saat tak ada kamera menyala? Bagaimana akhlak kita saat tidak sedang tampil?
Muslim sejati bukan hanya yang pandai berceramah, berpenampilan indah, atau punya jutaan follower. Tapi mereka yang takut pada Allah di waktu sendiri, yang tetap sabar walau dihina, yang diam saat dihujat, dan menangis karena merasa jauh dari Tuhannya.
Allah tidak melihat pakaianmu, tapi hatimu. Tidak melihat kontenmu, tapi niatmu. Tidak melihat branding-mu, tapi keikhlasanmu. Dunia mungkin bisa kita tipu, tapi Allah tak pernah tertipu.
Cukuplah kita belajar dari para sahabat. Mereka bukan hanya terlihat Islami, mereka menjadi Islam itu sendiri. Setiap langkah mereka adalah dakwah, setiap tutur kata mereka adalah ketenangan. Mereka bukan Muslimin kosmetik, tapi Muslimin hakiki.
Mulailah dari hati. Periksa niat sebelum berbicara tentang agama. Benahi diri sebelum mengajak orang lain. Tinggalkan pamer amal. Kurangi debat yang tidak bermanfaat. Hidupkan kembali tangis dalam sujud. Jadilah pribadi yang meski sederhana, tapi dicintai oleh langit.
Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk esok hari.” (Qs. Al-Hasyr: 18)
Esok bukan tentang penampilan. Esok adalah tentang pertanggungjawaban. Saat wajah dipudarkan tanah, saat nama besar dilupakan orang, hanya hati yang bersih dan amal yang ikhlas yang menyelamatkan.
“Muslimin kosmetik” adalah cermin zaman yang mencintai kulit luar dan melupakan isi jiwa. Tapi kita bisa berubah. Kita bisa mulai membangun kembali Islam dari dalam — dari hati, dari keikhlasan, dari ketundukan yang sebenar-benarnya kepada Allah Ta'ala.
Bukan dengan menolak teknologi atau membenci media sosial. Tapi dengan menyucikan niat, menguatkan jiwa, dan menghadirkan Allah dalam setiap detik langkah hidup. Karena pada akhirnya, surga tidak menilai gaya, tapi taqwa.[BA]