Kita Hanya Tamu Di Atas Tanah (Sebuah Renungan Untuk Hati Yang Masih Ingin Kembali Pada-Nya)


Oleh Bahron Ans.

Di dunia ini, tak ada yang benar-benar milik kita. Kita lahir tanpa membawa apa pun, dan kelak akan pergi pun tanpa membawa satu keping pun dari apa yang kita miliki di dunia. Kita hanya tamu di atas tanah. Iya, tamu. Tidak kekal. Tidak abadi. Tidak selamanya tinggal. Tidak bisa seenaknya. Hanya sebentar. Lalu pergi.

Saat kita menapakkan kaki di bumi ini, sejatinya kita sedang menjalani masa kunjungan. Hidup ini tak lebih dari sebuah persinggahan sementara. Seperti halnya tamu, kita tidak menetap di rumah yang kita kunjungi. Kita tahu batas waktu, tahu diri, tahu sopan santun. Tapi mengapa banyak dari kita lupa bahwa bumi ini bukan rumah kita selamanya? Bahwa dunia ini hanyalah tempat numpang hidup sebelum kembali ke asal kita—tanah.

Dunia hanyalah panggung sandiwara. Kadang kita jadi pemeran utama, kadang hanya figuran. Hari ini dipuja, esok dilupa. Hari ini tertawa, esok menangis. Hari ini berdiri gagah, esok tergeletak kaku. Tak ada yang pasti dalam dunia ini. Tak ada yang abadi. Satu-satunya kepastian yang tidak pernah meleset adalah kematian. Sebuah kepastian yang tak bisa ditawar, tak bisa dihindar, tak bisa disogok. Ia datang sesuai perintah Rabb, dan menjemput kita pulang ke rumah sejati kita: tanah.

Hiduplah Sebagai Tamu yang Tahu Diri

Bayangkan dirimu datang bertamu ke rumah seseorang. Apa yang akan kamu lakukan? Tentu bersikap sopan, tidak semaunya, tidak mengambil barang seenaknya, tidak bicara sembarangan. Kamu menjaga diri, karena kamu tahu: kamu hanya tamu. Maka mengapa ketika menjadi tamu di atas bumi Allah, kita justru berlagak seolah pemilik segalanya? Seolah bumi ini milik pribadi yang bebas diperlakukan sesuka hati?

Kita lupa diri. Kita belagu. Kita sombong. Kita angkuh. Kita congkak. Kita merasa hebat karena pangkat, gelar, harta, pengaruh. Kita merasa bisa hidup tanpa tunduk kepada Tuhan. Kita menginjak bumi-Nya dengan dosa, kita hirup udara-Nya dengan maksiat, kita makan rezeki-Nya tanpa rasa malu. Tidakkah kita sadari bahwa setiap kesombongan kita akan dipertanggungjawabkan saat kembali ke dalam tanah?

Tanah yang kita injak hari ini, kelak akan menjadi rumah kita yang abadi: kubur. Di situlah kita akan tinggal, menanti pembalasan atas seluruh amal yang kita lakukan di atas tanah ini. Maka, jangan salah paham. Hidup ini bukan tempat main-main. Hidup ini bukan tempat menumpuk ego. Hidup ini adalah ladang untuk beramal. Ladang untuk menabur kebaikan. Ladang untuk menyiapkan bekal pulang.

Tanah Akan Menerima Kita Sesuai Amal

Saudaraku, tanah ini tak pernah menolak siapa pun. Ia akan menerima kita sebagaimana kita datang kepadanya. Jika kita datang membawa amal saleh, tanah akan menyambut dengan kelembutan. Kubur akan menjadi taman dari taman-taman surga. Namun jika kita datang dengan dosa, dengan kesombongan, dengan hati yang lalai dari Allah, maka kubur akan menjadi lorong gelap penuh siksa. Na’udzubillah.

Segala kebodohan yang kita lakukan di atas tanah ini—dosa, maksiat, kelalaian, tipu daya, kezaliman—semua itu tidak akan lenyap. Semuanya akan kembali kepada kita dalam bentuk penyesalan. Sebaliknya, segala amal baik—sholat yang khusyu, zikir yang lirih, sedekah yang tersembunyi, air mata yang menetes dalam taubat—semua itu akan kembali kepada kita sebagai cahaya dan kebahagiaan di bawah tanah kelak.

Maka jangan biarkan hari-hari berlalu sia-sia. Jangan biarkan waktu habis tanpa makna. Setiap hari adalah kesempatan untuk menebus dosa. Setiap detik adalah peluang untuk mendekat kepada-Nya. Jangan tunggu ajal datang untuk bertaubat. Karena kematian tak pernah memberi tahu kapan ia tiba. Ia tak perlu izin, tak menunggu kita selesai urusan dunia. Ia datang, dan ketika tiba, maka tamatlah semua kesempatan.

Jadilah Tamu yang Dikenang Baik Oleh Tuan Rumah

Allah adalah Tuan Rumah yang Maha Baik. Ia memberi kita tempat berpijak, udara untuk bernapas, makanan untuk hidup, kasih sayang dalam keluarga, ilmu untuk berpikir, iman untuk bertahan. Tapi berapa banyak dari kita yang hidup tanpa mengindahkan aturan-Nya? Berapa banyak yang hidup justru melanggar apa yang telah Allah larang? Padahal Dia hanya meminta satu: hidup sesuai kehendak-Nya.

Sebagai tamu, bukankah sepantasnya kita mengikuti aturan Tuan Rumah? Maka selama kita masih hidup, mari luruskan kembali langkah. Mari rendahkan hati. Mari tata ulang niat dan amal. Kita tidak akan lama di sini. Maka buatlah waktu singkat ini bermakna. Jadilah tamu yang dikenang kebaikannya. Jadilah hamba yang dirindukan tanah untuk kembali dengan harum amalnya.

Tak ada gunanya membanggakan diri. Tak ada manfaatnya menumpuk harta tanpa keberkahan. Tak ada faedahnya meraih popularitas yang menjauhkan dari Allah. Karena semua itu akan lenyap. Satu-satunya yang akan tinggal hanyalah amal baik. Maka mulailah dari hari ini. Dari saat ini. Bertaubatlah. Perbaiki shalatmu. Lembutkan hatimu. Ringankan tanganmu untuk memberi. Jaga lisanmu dari menyakiti. Bersihkan hatimu dari iri dan dengki.

Kita semua akan pergi. Satu per satu. Entah kapan. Tapi pasti. Maka bersiaplah. Pulang itu bukan pilihan, tapi keniscayaan. Dan ketika pulang itu tiba, hanya ada dua kemungkinan: disambut dalam cahaya atau dijemput dalam siksa.

Saudaraku, hidup ini bukan milik kita. Bumi ini bukan tempat tinggal abadi. Kita bukan siapa-siapa. Kita hanya tamu di atas tanah. Maka jangan sombong. Jangan angkuh. Jangan merasa aman. Setiap dosa yang kita lakukan akan kembali menagih. Setiap amal yang kita abaikan akan menjadi penyesalan. Dan setiap ibadah yang kita lakukan akan menjadi cahaya yang menuntun.

Mari isi sisa waktu kita dengan amal. Jangan tunda taubat. Jangan sia-siakan hidup. Karena kita tidak tahu, mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bertamu di atas tanah ini. Semoga ketika kita kembali ke tanah, Allah menyambut kita dengan kasih sayang, bukan dengan murka. Semoga kubur kita menjadi taman surga, bukan lorong siksa.

Ingatlah, kita hanya tamu di atas tanah. Maka hiduplah dengan baik, sesuai kehendak Tuan Rumah, Allah Ta’ala.[BA]