Antara TikTok dan Takwa: Mendidik Anak di Persimpangan Digital


Oleh Arenga Pinta*

Di antara gemerlap cahaya layar dan heningnya suara adzan, kita berdiri di persimpangan zaman. Satu kaki anak-anak kita berada di dunia digital: TikTok, Reels, scroll tanpa henti, tantangan viral, suara remix, dan ekspresi instan. Sementara satu kakinya lagi, kita harapkan teguh berpijak pada nilai-nilai takwa, iman, dan akhlak mulia. Tapi benarkah keduanya bisa seimbang? Atau satu sisi akan menelan yang lain?

Tak bisa dipungkiri, TikTok adalah fenomena zaman. Anak-anak kita—bahkan yang belum baligh—sudah lihai membuat konten, menari mengikuti tren, dan menyerap gaya hidup global dengan cepat. 

Mereka tahu siapa seleb TikTok terbaru, apa tantangan minggu ini, dan lagu viral dari berbagai penjuru dunia. Namun pertanyaannya: apakah mereka tahu makna doa sebelum tidur? Apakah mereka hafal surat pendek atau malah lebih hapal lirik lagu dari Korea?

Mengapa Kita Harus Cemas?

Bukan teknologi yang harus kita salahkan. Internet, gawai, dan aplikasi adalah alat. Yang menjadi masalah adalah ketika alat itu mengambil alih peran kita sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai penjaga nilai-nilai keluarga. Jika kita biarkan anak-anak diasuh oleh algoritma, maka jangan heran bila yang tumbuh bukan insan muttaqin, tapi generasi yang gersang dari cahaya Ilahi.

TikTok bekerja dengan algoritma yang menyajikan apa yang disukai, bukan apa yang dibutuhkan. Akibatnya, anak-anak kita larut dalam hiburan tanpa arah, candu validasi, dan kebisingan digital yang menggantikan suara hati. Rasa malu berganti menjadi bangga tampil. Rasa hormat digantikan likes dan komentar. Sementara akhlak, adab, dan tauhid perlahan terkikis, tertindih, terlupakan.

Persimpangan Ini Nyata

Anak-anak kini menghadapi dua jalan. Di satu sisi, mereka ditarik oleh dunia yang cepat, instan, dan dangkal. Di sisi lain, jalan takwa menawarkan ketenangan, kedalaman, dan makna. Tapi jalan takwa tak menarik perhatian algoritma. Tak ada filter dalam ibadah. Tak ada efek visual saat menunduk dalam sujud. Maka tak heran jika yang sunyi itu perlahan tergantikan yang ramai namun kosong.

Apakah ini berarti kita harus melarang? Tidak selalu. Tetapi membiarkan tanpa arah, sama buruknya dengan menutup mata. Kita tak sedang bicara soal mematikan internet. Kita sedang bicara tentang menghidupkan kembali hati anak-anak kita.

Takwa Adalah Akar yang Dalam

Takwa bukan sekadar takut kepada Allah. Takwa adalah kesadaran, kewaspadaan, dan kepekaan spiritual bahwa Allah Maha Melihat. Ia adalah rem yang membuat seorang remaja memilih menutup aurat walau semua temannya membuka. Ia adalah cahaya yang membuat seorang anak memilih jujur meski tak ada yang melihat. Ia adalah benteng yang menyelamatkan ketika dunia maya menawarkan ribuan pintu keburukan.

Jika anak-anak kita dibesarkan hanya dengan pengetahuan teknologi tanpa takwa, maka kita sedang menciptakan manusia yang cerdas tapi kosong. Pandai membuat konten, tapi tak tahu apa itu kontemplasi. Pandai menari, tapi tak tahu arah hidupnya.

Peran Orang Tua di Era Digital

Kita tidak bisa lagi menjadi orang tua zaman dulu. Sekadar memberi makan, menyekolahkan, dan menyuruh sholat tidaklah cukup. Kita harus hadir sebagai pendidik spiritual, teman diskusi, dan teladan nyata. Anak-anak membutuhkan rujukan. Jika mereka tak mendapatkannya dari orang tua, mereka akan mencarinya di TikTok.

  • Dengarkan mereka. Jangan remehkan keresahan anak-anak zaman ini. Mereka tumbuh dalam dunia yang jauh berbeda. Kita harus mau mendengar sebelum mereka tak mau bicara.

  • Arahkan, bukan larang. Ketika kita hanya melarang, mereka akan mencari jalan diam-diam. Tapi jika kita arahkan, mereka akan belajar memilah.

  • Jadi teladan. Jangan berharap anak menjauhi layar jika kita sendiri tak pernah lepas dari gawai. Jangan suruh mereka sholat jika kita tak pernah sholat tepat waktu.

Menanamkan Takwa Lewat Keseharian

Takwa tak bisa ditanam lewat ceramah semata. Ia tumbuh dari kebiasaan, keteladanan, dan suasana hati di rumah. Jadikan rumah sebagai madrasah, bukan hanya tempat istirahat.

  • Mulai hari dengan doa bersama, bukan dengan memeriksa notifikasi.

  • Ajak anak berdiskusi tentang video yang mereka tonton. Tanyakan: "Apa pelajarannya? Apakah itu sesuai dengan ajaran Islam?"

  • Buat waktu tanpa gawai di rumah. Mungkin satu jam sebelum tidur, semua gawai dimatikan. Gunakan untuk ngobrol, membaca Al-Qur’an, atau saling bercerita.

Konten Positif, Bukan Hanya Negatif

Tak semua konten buruk. Di TikTok pun ada video edukatif, dakwah, dan motivasi. Tetapi anak-anak perlu didampingi. Tunjukkan bahwa dakwah pun bisa kreatif, bahwa Islam bisa hadir dalam media modern tanpa kehilangan ruhnya. Mungkin kita bisa mengajak anak membuat konten dakwah singkat. Bukan untuk viral, tapi sebagai proses mendidik.

Menghidupkan Kembali Nurani

Anak-anak kita tidak kehilangan akal. Mereka hanya kehilangan arah. Mereka masih punya hati. Tapi hati itu kini terlalu bising. Kita sebagai orang tua, guru, dan pendidik, harus menjadi suara jernih di tengah keramaian digital itu. Bukan dengan marah-marah, tapi dengan kasih sayang yang tegas. Dengan cinta yang tidak memanjakan. Dengan sabar yang tidak permisif.

Jika kita tak mulai sekarang, nanti mungkin terlalu terlambat. Mendidik anak di era ini bukan hanya tentang masa depan dunia, tapi juga tentang keselamatan akhirat mereka. Jangan sampai kita menyesal melihat anak-anak yang dulu lucu dan polos, kini berubah menjadi pribadi yang asing karena terlalu lama kita biarkan diasuh oleh layar.

Bangkitkan Jiwa Para Ayah dan Ibu

Wahai ayah, jangan diam. Bangkitlah. Jadilah pemimpin di rumah. Ambil kembali peranmu sebagai penuntun jalan. Wahai ibu, jangan pasrah. Bangun kembali keteguhanmu sebagai penjaga akhlak anak-anak. Ini bukan soal siapa yang lebih sibuk. Ini soal siapa yang lebih peduli.

Anak-anak tidak butuh rumah besar, gawai mahal, atau fasilitas mewah. Mereka butuh bimbingan ruhani, pelukan saat bingung, dan teladan yang hidup. Mereka butuh ayah-ibu yang tidak hanya menafkahi, tapi juga menasihati dan mendampingi.

Kembali ke Jalan Cahaya

Di tengah cahaya neon TikTok, mari kita bawa anak-anak kembali ke cahaya Al-Qur’an. Di antara trending audio dan viral konten, mari kita kenalkan mereka pada suara adzan, lantunan ayat, dan sunyi yang menenangkan. Dunia akan terus berubah, teknologi akan terus berkembang. Tapi takwa adalah kompas yang tak akan pernah rusak. Pegang itu erat-erat.

Jangan biarkan anak kita tumbuh tanpa akar. Jangan biarkan mereka tenggelam dalam dunia yang terang tapi tanpa cahaya. Mari kita antar mereka menyusuri jalan takwa—jalan sunyi yang penuh makna, jalan yang tak viral tapi abadi.

Antara TikTok dan Takwa, mari kita pilih menjadi orang tua yang sadar, bukan sekadar pengawas. Menjadi pendidik, bukan hanya pemberi perintah. Menjadi pelita, bukan sekadar penonton.[]

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial, pendidikan dan agama