PELITA MAJALENGKA - Di tengah hamparan alam Sunda yang hijau, tempat embun menggantung di pucuk daun dan angin bertiup lirih membawa harum tanah selepas hujan, orang-orang tua zaman baheula sering menyampaikan wejangan yang sarat makna: “Ulah poho ngabekel keur akhirat.” Kalimat sederhana itu sesungguhnya adalah pancaran kearifan yang lahir dari laku panjang kehidupan, dari kebeningan rasa dan kedalaman batin yang senantiasa sadar akan kefanaan dunia.
Filsafat Sunda bukan filsafat yang banyak bicara, tapi ia hidup dalam tindakan. Ia tidak berbuih dalam kata, tapi mengalir dalam sikap, dalam sopan santun, dalam carita, dan dalam do’a. Dan salah satu filsafat yang paling luhur adalah tentang ngabekel akhirat—menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati, perjalanan panjang tiada akhir menuju kalanggengan (keabadian).
Ngabekel: Antara Dunia dan Akhirat
Dalam pandangan Sunda, hidup adalah sebuah perjalanan. Dan sebagaimana setiap perjalanan, perlu persiapan. Namun, kehidupan bukan sekadar dari rumah ke pasar, atau dari lembur ka dayeuh. Hidup ini adalah perjalanan yang jauh lebih agung—dari bumi menuju langit, dari kelahiran menuju kematian, dari dunia menuju akhirat.
Bekal yang dimaksud bukan sekadar makanan atau uang, tapi amalan, niat, akhlak, dan budi pekerti. Dalam istilah Sunda, orang yang tidak mempersiapkan bekal disebut leungit tanpa papasingan—hilang tanpa tanda, tenggelam dalam kefanaan dunia tanpa arah kembali. Maka dari itu, ngabekel akhirat menjadi petuah penting dalam tiap untaian nasihat orang tua terdahulu.
Kacapi Jiwa: Memetik Nada Kehidupan
Hidup ibarat kacapi. Ia memiliki dawai yang harus dipetik dengan hati-hati. Bila kita petik dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan, maka akan keluar nada yang merdu. Tetapi jika kita gegabah, penuh nafsu dan keserakahan, yang keluar hanyalah sumbang dan berisik. Bekal akhirat sejatinya adalah nada-nada itu: amal shaleh, kebaikan, kasih sayang, kejujuran, kesabaran, dan tawadhu.
Filsafat Sunda sangat menghargai keseimbangan—antara lahir dan batin, antara dunya jeung akhirat. Tidak heran bila dalam tradisi Sunda, ada ungkapan: “Hirup kudu nyangking elmu jeung iman.” Ilmu menjadi pelita, iman menjadi peta. Tanpa keduanya, kita hanya seperti petani yang turun ke sawah tanpa cangkul, tanpa benih, hanya berharap panen tanpa usaha.
Kabagjaan Nu Sajati
Sering kali manusia modern tertipu oleh kilau dunia. Rumah megah, kendaraan mewah, jabatan tinggi dianggap sebagai puncak kebahagiaan. Namun filosofi Sunda mengajarkan bahwa kabagjaan nu sajati (kebahagiaan sejati) bukanlah yang tampak di mata, tapi yang terasa dalam jiwa. Bukan berapa banyak kita miliki, tapi berapa banyak yang kita beri. Bukan seberapa tinggi jabatan, tapi seberapa rendah hati kita dalam menjalaninya.
Ngabekel akhirat bukan ajakan untuk meninggalkan dunia, tetapi untuk tidak diperbudak dunia. Orang Sunda percaya, "Dunya mah sakadar numpang nginum"—dunia hanya tempat singgah, tempat kita mengambil sedikit untuk bekal perjalanan panjang.
Hirup Kudu Lempeng, Teu Matak Nganas
Salah satu nilai luhur Sunda adalah lempeng—jujur, lurus, tidak berkelok dalam tipu daya. Orang yang hidup dengan lempeng dipercaya akan lebih ringan langkahnya menuju akhirat. Sebab bekal utama ke akhirat adalah kejujuran. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan. Sementara kebohongan, tipu muslihat, dan kezaliman hanya akan menjadi beban berat di pundak yang membuat perjalanan terhenti.
Maka dalam hidup, ngabekel akhirat berarti senantiasa menjaga kelurusan hati. Menyapu bersih niat dari pamrih, menyingsingkan lengan untuk membantu sesama, dan tidak lelah menebar manfaat.
Amal Salira, Warisan Langgeng
Harta bisa habis. Jabatan bisa runtuh. Ketenaran bisa sirna. Tapi amal kebaikan akan tetap hidup, bahkan setelah jasad terkubur. Orang Sunda percaya bahwa amal adalah warisan langgeng yang akan terus mengalir. Maka para karuhun (leluhur) Sunda dahulu gemar membuat sumur, menanam pohon, membangun pesantren, atau sekadar menyekolahkan anak-anak yatim—karena mereka tahu, itulah bekal sejati.
Seorang aki-aki di Ciamis pernah berkata, “Tong hese-hese nyimpen emas. Cik simpen wungkul amal, sabab emas bisa dicokot maling, tapi amal moal kabawa maling.” (Tak usah repot menyimpan emas. Simpan saja amal, sebab emas bisa dicuri, tapi amal tak bisa dicuri.)
Tangtu Bakal Paeh, Henteu Tangtu Waktuna
Kematian adalah satu-satunya kepastian yang waktunya tidak pasti. Filosofi Sunda sangat menyadari hal ini. Oleh karena itu, orang tua zaman dulu selalu berpesan agar jangan menunda amal. Sebab hidup ini seperti lampu teplok: angin kecil pun bisa memadamkan. Maka selagi nyawa masih di dada, bekal akhirat harus senantiasa disiapkan.
Bekal bukan hanya berupa salat dan puasa, tapi juga berupa kasih pada orang tua, keikhlasan dalam bekerja, dan kejujuran dalam berdagang. Tidak ada amal yang remeh bila dilakukan dengan ikhlas.
Di Leuweung Nu Seungit, Di Tepi Jurang Nu Tiris
Hidup seringkali seperti berjalan di antara hutan yang wangi dan jurang yang dingin. Terlalu jauh ke hutan, kita terlena dalam kenikmatan. Terlalu dekat ke jurang, kita tergelincir ke dalam malapetaka. Maka filosofi Sunda mengajarkan untuk ngajaga keseimbangan, agar langkah kita mantap, tidak tergelincir, dan tidak pula terjebak dalam fatamorgana dunia.
Itulah sebabnya, ngabekel akhirat menjadi pengingat, agar kita tidak terlalu cinta dunia hingga lupa tujuan akhir. Kita ini ibarat nu ngumbara ka dayeuh langit, musafir yang rindu pulang ke asalnya—ke haribaan Sang Pencipta.
Sasakala Hirup: Ti Allah, Ka Allah
Filosofi Sunda sangat spiritual. Dalam setiap perjalanan hidup, selalu ada kesadaran bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka hidup haruslah dijalani dengan silih asah, silih asih, silih asuh. Bekal akhirat dibangun bukan hanya dari ibadah pribadi, tapi dari hubungan sosial yang baik—menyayangi sesama, menolong yang lemah, dan memaafkan yang bersalah.
Kata orang tua dulu: “Lamun hayang ditarima di alam langgeng, kudu bisa narima di alam dunya.” (Jika ingin diterima di alam keabadian, harus pandai menerima kenyataan dunia.)
Ngadeukeutan Nu Kawasa, Ngaleupaskeun Nu Henteu Kakawasa
Ngabekel akhirat juga berarti menyandarkan diri hanya kepada Yang Maha Kuasa. Dalam hidup, terlalu banyak hal di luar kendali kita: rezeki, umur, jodoh, dan musibah. Maka filsafat Sunda mengajarkan agar kita banyak pasrah, tanpa menyerah. Pasrah kepada Allah, sadar atas batas diri, dan ikhtiar tanpa pamrih.
Kita leupaskeun keangkuhan, keakuan, dan kesombongan. Sebab semua itu hanya menjadi debu dalam perjalanan pulang. Hanya hati yang ringan dan amal yang tulus yang akan menjadi teman sejati di akhirat nanti.
Ngabekel akhirat bukanlah wacana yang eksklusif untuk ulama atau santri. Ia adalah filosofi universal bagi siapa saja yang ingin hidup dengan makna dan pulang dengan tenang. Dalam sunyi malam, di bawah langit yang bersih, atau di tengah sawah yang luas, ajakan itu selalu menggema dari masa ke masa:
“Bekelan, ku amal. Pangiring, ku do’a. Panutan, ku iman. Pangumbaraan, ka kalanggengan.”
Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang tidak hanya sibuk membangun dunia, tapi juga tak lupa menyiapkan bekal untuk pulang. Sebab sejatinya, kita semua sedang menuju rumah—rumah sejati di sisi-Nya.[BA]