Sumayyah: Darah Syahidmu Menyiram Iman Kami


PELITA MAJALENGKA
- Dalam sejarah panjang Islam, terdapat satu nama perempuan yang abadi dalam catatan langit: Sumayyah binti Khayyat. Ia bukan ratu. Ia bukan bangsawan. Ia bukan perempuan yang dikenal dengan kekuasaan atau kekayaan.

Tapi namanya melambung tinggi dalam deretan tokoh besar Islam karena satu kata: keteguhan. Di tengah kekejaman kafir Quraisy yang kejam dan tanpa ampun, Sumayyah tetap kokoh memegang iman. Ia memilih disiksa, ditombak, dan wafat, tapi tak rela sedikit pun menggadaikan keimanannya. Maka ia pun ditahbiskan sebagai syahidah pertama dalam Islam.

Wahai para muslimah akhir zaman, tidakkah hati kita tergetar menyaksikan jejak Sumayyah? Di saat kita hidup dengan kemudahan dan kebebasan beragama, banyak di antara kita justru kian jauh dari nilai-nilai Islam. Jilbab sering dianggap beban. Ibadah hanya sebatas rutinitas. Komitmen terhadap dakwah hanya menjadi slogan. Sementara, Sumayyah mempertaruhkan seluruh jiwanya demi kalimat Lā ilāha illallāh.

Bayangkan tubuhnya terikat. Kulitnya dikuliti panas matahari gurun. Kaki dan tangannya ditarik. Namun hatinya tak goyah. Lidahnya tetap mengucap tauhid. Ia dihina, dicambuk, bahkan akhirnya ditombak tepat di kemaluannya oleh Abu Jahal—tapi tak satu pun celaan terhadap Allah atau Rasul-Nya keluar dari lisannya. Subhanallah, betapa teguhnya seorang perempuan yang tak memiliki pelindung kecuali Allah semata.

Hari ini, banyak muslimah merasa cukup menjadi baik di media sosial, namun hatinya rapuh dari iman yang kokoh. Tak sedikit pula yang lebih takut kehilangan followers dibanding kehilangan petunjuk Allah. Mereka malu mengenakan jilbab syar’i karena dianggap tidak gaul. Mereka takut berdakwah karena takut dibilang fanatik. Mereka enggan tampil Islami karena khawatir dijauhi. Maka, Sumayyah hadir bukan sekadar cerita masa lalu, tapi alarm keras bagi hati kita hari ini: Di mana letak keberanian imanmu, wahai muslimah?

Sumayyah mengajarkan bahwa menjadi perempuan beriman adalah menjadi perempuan yang teguh. Bukan lemah karena rayuan dunia. Bukan rapuh karena tekanan lingkungan. Tapi perempuan yang mencintai Allah lebih dari dirinya sendiri. Perempuan yang jika harus memilih antara dunia dan akhirat, ia mantap memilih akhirat. Jika harus kehilangan nyawa, ia rela asalkan tak kehilangan iman.

Wahai muslimah, jika Sumayyah wafat dengan tombak di tubuhnya, maka kita hari ini sedang diancam oleh tombak lain—tombak cinta dunia, tombak popularitas, tombak syahwat, tombak kemalasan. Akankah kita kalah oleh semua itu, sementara Sumayyah telah menang melawan segala bentuk siksaan fisik demi mempertahankan iman?

Sudah saatnya kita bangkit. Meneladani Sumayyah bukan hanya dengan menangis saat mendengar kisahnya, tapi dengan menata hidup kita agar semakin dekat kepada Allah. Jadikan jilbabmu sebagai lambang kehormatan. Jadikan ibadahmu sebagai pelindung hati. Jadikan dakwah sebagai jalan hidupmu. Dan jadikan Sumayyah sebagai inspirasi abadi untuk tetap tegar walau zaman kian memudarkan cahaya iman.

Wahai Sumayyah, darah syahidmu telah menyiram iman kami. Kini, biarlah kami lanjutkan perjuanganmu—dengan keteguhan, dengan cinta, dan dengan istiqamah.[BA]