PELITA MAJALENGKA - Kita sering berharap munculnya generasi penerus yang siap mengemban amanah, menggantikan peran-peran penting dalam dakwah dan organisasi. Tapi mari jujur: seberapa serius kita menyiapkan mereka?
Kaderisasi itu bukan hal spontan. Ia tidak akan berjalan baik hanya dengan doa dan harapan. Ia harus dirancang, ditanam, dipupuk, dan dibina—sejak awal, dengan kesungguhan.
Kadang kita terlalu sibuk membangun program besar, tapi lupa membangun manusia. Kita terpukau oleh panggung-panggung megah, tapi abai pada proses pembinaan yang sederhana namun bermakna.
Kita ingin hasil instan, padahal kader sejati tak pernah lahir dari jalan pintas. Mereka tumbuh dari proses panjang, dari peluh, dari tangis, dan dari doa-doa para pembina yang tak kenal lelah.
Realitas hari ini menyentil kita. Banyak alumni kampus unggulan, bahkan lulusan luar negeri, kembali ke tanah air atau ke komunitas. Tapi saat diajak ikut bergerak, sebagian bertanya: “Berapa saya digaji?” Bukan karena mereka lemah iman.
Tapi karena mereka tidak pernah dipahamkan sejak awal bahwa dakwah ini bukan tempat mencari upah, melainkan ladang pengorbanan.
Kita gagal membangun pondasi nilai. Kita biarkan generasi tumbuh hanya dengan gelar dan prestasi akademik, tanpa disirami dengan semangat keikhlasan.
Maka jangan heran jika yang mereka cari bukan kontribusi, tapi kompensasi. Bukan semangat melayani, tapi posisi yang menjanjikan kenyamanan pribadi.
Ini saatnya kita mengoreksi arah. Jangan hanya menunggu kader muncul. Rancanglah prosesnya. Bentuk lingkarannya. Bangun relasinya.
Sentuh hatinya. Jangan beri mereka sekadar materi, tapi hadirkan keteladanan yang hidup. Karena kader itu tidak hanya butuh ilmu, tapi juga butuh jiwa.
Kader tidak akan tumbuh dari ceramah-ceramah satu arah. Mereka tumbuh dari hubungan hati ke hati. Dari pembinaan yang sabar dan berulang. Dari interaksi yang tulus dan konsisten. Dari lingkungan yang menumbuhkan rasa memiliki, bukan hanya menyuruh dan menuntut.
Jika kita hanya fokus kepada hasil dan jabatan, maka kita akan melahirkan generasi yang mengejar jabatan, bukan tanggung jawab. Tapi jika kita fokus pada proses dan nilai, maka akan lahir generasi yang siap memikul amanah meski tanpa panggung dan sorotan.
Jangan tunggu sampai yang kita wariskan hanya struktur, tanpa ruh perjuangan. Jangan biarkan organisasi besar tapi kosong jiwa. Jangan sampai kita menjadi generasi yang gagal menyiapkan penerus, hanya karena terlalu nyaman berada di depan.
Mari kita kembali ke ruh awal: membina, bukan membesarkan nama. Mendidik, bukan hanya mengarahkan. Menyentuh hati, bukan sekadar memberi tugas. Karena kaderisasi itu kerja cinta—kerja diam-diam yang buahnya bisa menyelamatkan generasi.
Jika hari ini terasa sepi penerus, mungkin kita kurang sungguh dalam menanam. Maka, mulai lagi. Rancang dengan ikhlas. Bangun dengan tekun. Jangan takut lelah, karena dari sanalah estafet kebaikan akan terus berjalan, bahkan setelah kita tak lagi ada.[BA]