PELITA MAJALENGKA - Kadang kita menyamakan dua lembaga mulia ini, padahal keduanya punya ruh dan wajah yang berbeda. Madrasah adalah tempat pendidikan formal bercorak Islam. Ia mengajarkan ilmu umum dan agama secara terstruktur, mengejar nilai rapor dan ujian akhir.
Sedangkan pesantren, lebih dari sekadar tempat belajar; ia adalah rumah ruhani, tempat para santri menimba ilmu sambil mengasah jiwa. Di pesantren, bukan hanya otak yang ditempa, tapi juga akhlak, kesabaran, dan cinta kepada Allah.
Di madrasah, kita bisa pulang setelah bel berbunyi, bertemu orang tua, dan hidup seperti biasa. Tapi di pesantren, hidup itu berubah. Rindu pada keluarga menjadi ujian, dan mandiri adalah keharusan.
Santri belajar bukan hanya dari buku, tapi dari hidup sehari-hari—mengantre air, mencuci pakaian sendiri, tidur di kasur tipis bersama teman-teman seperjuangan. Semua itu melahirkan pribadi tangguh, rendah hati, dan siap memimpin umat.
Anak madrasah bisa pandai bicara tentang teori fiqih dan tafsir, tapi anak pesantren biasa diajari langsung oleh gurunya, membaur dalam adab dan adzan. Mereka tidak hanya menghafal, tapi menjalani—berwudhu dalam gelap subuh, tahajud dalam dingin malam, dan menangis di sujud panjang saat rindu rumah. Di situlah pesantren menanam iman dengan cara yang sunyi namun mendalam.
Madrasah memiliki sistem yang rapi dan terukur. Jam pelajaran, target kurikulum, dan hasil ujian adalah parameter keberhasilan. Tapi di pesantren, tolak ukurnya adalah akhlak, adab, dan ketundukan kepada ilmu serta guru.
Tak jarang seorang santri diminta mengulang pelajaran bukan karena tak mampu, tapi karena belum tunduk pada ilmu. Karena di pesantren, keberkahan lebih penting daripada sekadar kelulusan.
Kita bisa melihat betapa anak-anak madrasah banyak yang cemerlang dalam akademik, berprestasi di tingkat daerah hingga nasional. Tapi anak-anak pesantren banyak yang diam-diam menjadi lentera umat.
Mereka menjadi imam di desa, guru ngaji di kampung, dan pemersatu masyarakat di tengah derasnya arus dunia. Mereka bukan sekadar tahu, tapi hidup dalam ilmu.
Bahkan saat banyak orang berlarian mengejar dunia, anak pesantren tetap setia pada kesederhanaan. Makan dengan menu seadanya, tidur beralas tikar, dan belajar dengan cahaya remang. Tapi dari situ justru lahir kekuatan batin yang sulit ditandingi. Karena mereka terbiasa menahan rindu, menahan lapar, menahan amarah—dan menggantinya dengan doa.
Di pesantren, bukan hanya ayat yang dihafal, tapi doa-doa yang disematkan dalam setiap langkah. Santri tidak hanya membaca kitab, tapi membaca kehidupan. Sementara madrasah mengantar anak menjadi intelektual Muslim, pesantren menempa jiwa agar menjadi pribadi yang kuat menghadapi fitnah zaman. Keduanya saling melengkapi, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisah.
Bukan berarti yang satu lebih baik dari yang lain. Keduanya jalan mulia. Tapi bagi siapa pun yang ingin memahami mengapa anak pesantren sering begitu kokoh saat menghadapi hidup—lihatlah bagaimana mereka ditempa, bukan hanya oleh pelajaran, tapi oleh keadaan dan suasana yang mendidik hati. Mereka bukan sekadar lulusan pendidikan, tapi lulusan kehidupan.
Mari kita muhasabah, sudahkah kita memberi ruang bagi anak-anak kita untuk merasakan pendidikan yang membentuk jiwa, bukan hanya otak? Sudahkah kita menghargai para kiai dan guru madrasah yang berjuang dalam diam? Karena sejatinya, keduanya adalah lentera yang menjaga cahaya Islam tetap menyala—di ruang kelas, dan di gelapnya malam pondok.[Ba]