PELITA MAJALENGKA - Sejarah mencatat dengan tinta keikhlasan, bahwa kiai bukan sekadar sosok pengajar di balik mimbar. Ia adalah suluh di tengah gelap, kompas dalam kebingungan, dan pelita bagi jiwa-jiwa yang sedang tumbuh. Kiai adalah ruh dari sebuah pesantren, bukan hanya karena ilmunya, tapi karena cintanya yang tulus dan sabarnya yang tak berbatas.
Ia menyatu dalam denyut harian para santri, hadir dalam mimpi-mimpi mereka, dan terpatri dalam do’a-do’a panjang di sepertiga malam. Maka tak heran, kiai bukanlah jabatan yang mudah diganti, kecuali ketika ajal menjemputnya.
Kepemimpinan kiai bukan berdasarkan struktur organisasi, tapi pada kekuatan ruhani dan pengaruh keteladanan. Ia bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan pengikat hati, pembimbing ruh, dan pengayom dalam kesunyian batin.
Alumni yang dulu menitikkan air mata ketika pamit, seringkali terlupa bahwa cinta seorang kiai tak pernah putus. Ia selalu menyebut satu-satu nama dalam doanya, bahkan ketika santrinya telah lupa wajahnya sendiri. Inilah cinta yang tak menuntut balas.
Namun, kenyataan kerap menyakitkan. Banyak alumni yang selepas lulus seperti kuda lepas tali kekang—bebas, liar, bahkan lupa arah. Ada yang beralasan kesibukan, ada pula yang pura-pura tak sempat. Namun benarkah demikian?
Ataukah karena jiwa kita tak lagi mampu menunduk, karena merasa tak lagi perlu dituntun? Padahal, di balik penuaan tubuh sang kiai, masih terpatri harapan agar anak-anak rohaninya kembali, menyapa, dan menguatkan barisan dakwah yang pernah mereka janjikan bersama.
Kita tidak bisa semata menyalahkan alumni. Ketika ruh kepemimpinan kiai mulai kabur di mata pengurus, ketika suara kiai tak lagi dianggap penentu arah, saat itulah mata rantai kasih yang dulu kuat, mulai longgar.
Kiai yang dulu duduk di kursi terhormat, kini hanya jadi simbol yang disebut saat peresmian, tanpa benar-benar dihidupkan petuahnya. Maka bagaimana alumni bisa mencintai, jika rumah besar tempat ia dibesarkan pun mulai lupa akan sosok agung itu?
Staf boleh diganti. Struktur bisa direvisi. Tapi kiai adalah poros yang tak bisa digoyahkan. Ia tidak butuh sorotan, tapi butuh dihormati. Ia tak haus jabatan, tapi pantas dimuliakan. Bukan karena umurnya, tapi karena barokahnya.
Pesantren yang memudarkan peran kiai sejatinya sedang menanggalkan jati diri, mencabut akar tradisi, dan mengubur sejarahnya sendiri. Maka jangan heran jika alumni menjauh, sebab ia tak lagi melihat wajah sang guru dalam denyut pesantren itu.
Mari bermuhasabah. Jangan jadikan kiai sebagai prasasti hidup yang hanya disapa ketika sakit atau wafat. Hadirkan ia dalam setiap keputusan penting, dalam arah perjuangan, dan dalam semangat membina.
Jadikan suara kiai sebagai rujukan, bukan sekadar penghias pidato. Bangun kembali cinta para alumni dengan menunjukkan bahwa pesantren masih menaruh hormat pada poros utamanya: sang kiai yang tak tergantikan.
Dan wahai para alumni, jika pesantren terasa asing bagimu sekarang, barangkali bukan karena bangunannya berubah, tapi karena kau lupa pintu ruhaniah yang dulu menuntunmu: pintu cinta kiai.
Pulanglah, jika bukan untuk berkhidmat, maka untuk menunduk sejenak, mencium tangan renta yang dahulu dengan sabar mengangkatmu dari gelap. Sebab dalam ridha kiai, sering kali terletak rahasia keberkahan hidupmu.
Wahai para pengurus, sadarilah bahwa pesantren bukan hanya berdiri karena bangunan, program, atau administrasi. Ia tumbuh dan besar karena akar ruhani yang ditanam oleh para kiai.
Ketika kiai tak lagi dilibatkan, ketika suaranya tak lagi dianggap penentu arah, saat itu sejatinya kita sedang mencabut akar dari pohon yang rindangnya kita nikmati bersama.
Jangan bangga dengan pencapaian struktural jika fondasi spiritual kita mulai retak. Jangan bangun menara prestasi di atas pusara kehormatan kiai yang perlahan dilupakan.
Ingatlah, bukan jabatan yang akan dikenang santri dan alumni kelak, tapi siapa yang pertama kali mengajarkan mereka tentang cinta kepada ilmu dan Allah. Dan itu adalah kiai—bukan kita. Maka jangan biarkan ego, ambisi, atau kekuasaan membuat kita tuli terhadap petuahnya, atau buta terhadap kehadirannya.
Bangunkan kembali kesadaran bahwa kiai bukan hanya simbol, tetapi jiwa dari seluruh gerak pesantren. Jika kita menafikannya, kita sejatinya sedang menggali kubur bagi warisan keberkahan yang telah dijaga para pendahulu dengan darah, air mata, dan doa.[Ba]