PELITA MAJALENGKA - Di balik deretan angka sempurna dalam rapor, di balik toga dan selempang kelulusan, ada pertanyaan yang jauh lebih penting daripada sekadar: “Berapa IPK-nya?” Pertanyaan itu adalah: “Bagaimana akhlaknya?”
Hari ini, kita hidup di era di mana nilai akademik menjadi segalanya. Ranking, sertifikat, dan gelar akademik dikejar seolah itulah satu-satunya tiket menuju kesuksesan. Anak-anak didorong untuk mengejar nilai, bukan ilmu. Mereka didorong untuk menjadi pintar, bukan menjadi benar. Maka lahirlah generasi yang cemerlang di atas kertas, tapi rapuh dalam karakter.
Tak sedikit mahasiswa yang bisa menjawab soal filsafat moral, tapi tak bisa menghormati dosennya. Banyak yang bisa menghafal pasal-pasal hukum, tapi ringan tangan pada temannya. Ada yang IPK-nya nyaris sempurna, tapi mulutnya kasar kepada orang tuanya. Kita telah menciptakan generasi yang unggul dalam berpikir, tapi gagal dalam bersikap.
Akademik bukan segalanya. Apa artinya lulus cumlaude jika tidak tahu cara menyapa tetangga? Apa maknanya indeks prestasi 4.0 jika lisan tak bisa menjaga adab? Untuk apa mendalami ilmu manajemen jika tak mampu mengelola ego dan emosi? Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang otak, tapi juga hati. Bukan sekadar menjawab soal, tapi menjawab panggilan nurani. Bukan hanya lulus ujian, tapi juga lulus dalam ujian kehidupan.
Tugas pendidikan bukan hanya mencetak lulusan, tapi membentuk manusia seutuhnya—yang berilmu, beradab, dan bertanggung jawab. Ketika nilai akademik tinggi tapi budi pekerti mati, yang lahir adalah kecerdasan yang membahayakan. Orang pintar tapi tak punya hati nurani bisa menjadi perusak sistem, penghancur moral, dan pengkhianat kebenaran.
Wahai para penuntut ilmu, tak cukup hanya bangga dengan transkrip nilai. Perbaikilah adabmu. Jika engkau bisa membaca teori-teori besar, belajarlah juga untuk meminta maaf. Jika engkau bisa menyusun skripsi ratusan halaman, belajarlah juga untuk menyusun kata-kata yang baik dalam berkomunikasi. Kecerdasan sejati adalah saat intelektualmu mampu bersujud pada kebenaran dan kerendahan hati.
Wahai para pendidik, jangan puas hanya saat anak didik bisa menjawab soal ujian. Tanyakan juga apakah mereka tahu cara menghargai waktu, cara berbicara sopan, dan cara bersikap rendah hati. Ilmu tanpa adab hanyalah kesombongan yang dibungkus keangkuhan akademik. Bangunlah generasi yang bukan hanya hebat di seminar ilmiah, tapi juga sopan di ruang tamu orang tuanya.
Wahai para orang tua, jangan hanya bertanya, “Berapa nilai matematikamu, Nak?” Tapi tanyakan juga, “Sudahkah kau salat tepat waktu hari ini?” Ajarkan bahwa menjadi baik itu lebih penting daripada menjadi pintar. Tanpa budi pekerti, ilmu hanya akan menjadi alat untuk menindas, bukan untuk melayani.
Wahai dinas pendidikan,
Jangan hanya sibuk menyusun kurikulum berbasis kompetensi kognitif. Lihatlah realita sosial. Banyak anak yang lulus dengan nilai sempurna tapi gagal dalam kehidupan bermasyarakat. Sudah saatnya kurikulum membumikan kembali pelajaran adab, akhlak, dan etika—bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai fondasi.
Mari kita renungkan:
Ilmu tanpa iman, seperti pedang di tangan perampok. Ilmu tanpa adab, seperti api di tengah hutan kering. Ia menyala, menghanguskan bukan hanya dirinya, tapi sekelilingnya.
Inilah muhasabah kita bersama.
Jika saat ini kita sedang menuntut ilmu, tanyakanlah pada diri sendiri: Apakah aku juga sedang menuntut adab? Jika kita sedang mengajar, tanyakan: Apakah aku telah memberi teladan akhlak mulia? Jika kita sedang mendidik anak, tanyakan: Sudahkah aku mendidik hatinya, bukan hanya otaknya?
Ilmu yang baik adalah yang membuat manusia menjadi rendah hati, bukan tinggi hati. Nilai sejati bukan yang tertulis di ijazah, tapi yang tercermin dalam laku hidup sehari-hari. Mari kita lahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga berakhlak. Karena dunia ini tidak hanya butuh orang pintar, tapi juga butuh orang yang benar.[Ba]