Ketika Sekolah Hanya Mencetak Manusia yang Mengejar Dunia


PELITA MAJALENGKA
ironi yang terus kita abaikan, tapi kian hari semakin mencolok: sekolah, tempat yang seharusnya menjadi taman ilmu dan kebijaksanaan, telah berubah arah. Sekolah kini lebih sering hanya menjadi pabrik pencetak buruh—bukan tempat melahirkan pemimpin peradaban.

Pendidikan yang sejatinya membentuk akal, hati, dan jiwa, kini menyempit menjadi sekadar alat untuk mengejar pekerjaan dengan gaji besar. Mimpi anak-anak kita telah disempitkan oleh sistem: “Kamu sekolah tinggi agar bisa kerja enak, gaji besar, dan hidup nyaman.” Lalu di mana cita-cita mulia untuk menjadi penebar cahaya di tengah gelapnya dunia?

Banyak anak muda hari ini menempuh bangku pendidikan bukan karena semangat mencari ilmu, bukan karena ingin berkontribusi bagi umat, bukan pula karena hasrat mengubah dunia menjadi lebih baik. Mereka duduk di kelas, mengejar nilai demi ijazah, menghafal rumus demi akreditasi, dan mengerjakan tugas demi lulus ujian.

Semua diarahkan pada satu titik: "Bagaimana agar nanti bisa kerja di perusahaan besar, punya gaji tinggi, dan hidup mapan secara materi." Ironis, di tengah limpahan ilmu yang tersedia, sekolah justru kehilangan jiwanya.

Di masa lalu, sekolah adalah tempat membentuk karakter. Ia mendidik manusia berpikir kritis, berjiwa besar, dan hidup dalam cita-cita mulia. Namun hari ini, banyak sekolah kehilangan ruh. Ia hanya menjadi ruang teknis yang mengajarkan cara “menguasai dunia” tanpa mengenalkan siapa sebenarnya pemilik dunia itu. Sekolah menjadi medan lomba mendapatkan nilai tertinggi, bukan kedalaman hati. Akhirnya, kita mencetak manusia-manusia cerdas secara teori, tapi kosong secara batin.

Inilah yang disebut dengan misorientasi pendidikan—salah arah. Arah pendidikan kita bukan lagi membentuk manusia yang mengenal Tuhannya, mencintai sesama, dan membela kebenaran. Tetapi membentuk manusia yang takut miskin, takut gagal, dan takut tak mendapatkan pengakuan dunia. Maka tak heran, saat menghadapi sedikit kesulitan, generasi hari ini mudah tumbang. Tak punya daya tahan. Gampang menyerah. Lemah mental. Karena sejak awal, mereka hanya dibekali angka-angka, bukan makna.

Apa yang kita hasilkan dari sekolah-sekolah kita hari ini? Banyak yang lulus, tapi tak mengenal jati dirinya. Banyak yang pandai, tapi kehilangan empati. Banyak yang sukses secara materi, tapi gelisah jiwanya. Sekolah hanya memacu kompetisi, tapi tak menumbuhkan kolaborasi. Sekolah mendorong ranking, tapi menindas yang tertinggal. Sekolah membanggakan gelar, tapi lupa membina akhlak.

Ketika sekolah lebih memihak pada dunia, maka kita akan terus menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak mengenal nilai akhirat. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan uang, tapi tak tahu bagaimana mempergunakannya dalam jalan yang diridai Tuhan. Mereka hebat membuat strategi bisnis, tapi buta dalam strategi hidup. Mereka tangkas dalam coding dan algoritma, tapi tak paham arah hidup dan makna berbakti. Akhirnya, pendidikan tinggi hanya mencetak manusia rendah—rendah kepekaan sosial, rendah spiritualitas, dan rendah keberanian untuk membela yang benar.

Apa gunanya sekolah jika pada akhirnya hanya mencetak manusia yang rakus akan gaji tapi kikir terhadap sedekah? Apa gunanya pendidikan tinggi jika lulusannya tak bisa menghargai orang tua, tak menghormati guru, dan tak mengenal Tuhan? Apa gunanya sekolah berjenjang kalau anak-anak kita tak pernah dididik untuk mengenal tujuan hidup, visi peradaban, dan cita-cita agung untuk umat?

Inilah saatnya kita merenung lebih dalam. Kita, para orang tua, guru, kepala sekolah, dan pemegang kebijakan pendidikan, harus bertanya dengan jujur: Apakah orientasi pendidikan kita hari ini sudah benar? Ataukah kita telah menyesatkan generasi dengan menanamkan bahwa sukses hanya berarti kaya, bekerja di kantor mewah, dan memiliki gelar akademik panjang?

Banyak orang tua mendorong anaknya sekolah tinggi hanya agar bisa “kerja di tempat bagus”. Tapi sedikit yang mendorong anaknya agar menjadi hamba Allah yang baik, insan yang bermanfaat untuk masyarakat, atau pemuda yang memperjuangkan kebenaran di tengah kerusakan dunia. Padahal, pekerjaan terbaik bukanlah yang bergaji paling besar, tapi yang paling besar manfaatnya bagi umat.

Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak menemukan misinya dalam hidup. Tempat di mana nilai-nilai Ilahiyah ditanamkan dalam-dalam. Tempat di mana keberanian, kejujuran, dan keikhlasan dibangun sejak dini. Tempat di mana mereka tidak hanya diajari bagaimana bekerja, tapi juga bagaimana menjadi hamba yang bersyukur dan bermanfaat.

Jika sekolah terus kehilangan orientasinya, maka jangan heran jika kita akan terus menyaksikan lulusan-lulusan yang bingung saat dihadapkan pada pilihan hidup. Mereka akan mudah diperdaya oleh gemerlap dunia, terseret dalam arus konsumerisme, dan akhirnya menjadi manusia-manusia fungsional—hanya berguna untuk roda ekonomi dunia, tapi lumpuh untuk membela nilai-nilai langit.

Kini saatnya kita berani bertanya: Apakah kita sedang mencetak generasi pemimpin peradaban, atau justru pekerja bagi sistem kapitalisme global? Apakah kita sedang membangun insan yang mengenal Allah dan memperjuangkan Islam, atau sekadar individu-individu yang hanya bangga pada gaji, jabatan, dan status sosial?

Jika kita tak segera mengoreksi arah pendidikan kita, maka kita sedang mengantarkan generasi muda menuju kekosongan makna hidup. Mereka akan terus mencari-cari kebahagiaan semu, berlari dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, tapi tak pernah benar-benar menemukan kedamaian. Mereka akan hidup dalam pencapaian-pencapaian duniawi, tapi merasa hampa di dalam hati.

Mari kita kembalikan orientasi pendidikan kepada fitrahnya. Sekolah bukan sekadar alat untuk mendapatkan pekerjaan, tapi tempat menyucikan jiwa dan memperluas wawasan. Tempat mengasah akal, menumbuhkan hati, dan membina iman. Tempat mengajarkan bahwa hidup bukan hanya soal uang, tapi juga tentang nilai, perjuangan, dan pengabdian.

Kita tak anti dunia. Kita tidak menolak kemajuan teknologi. Tapi kita menolak pendidikan yang hanya menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia adalah wasilah, bukan ghayah. Dunia adalah kendaraan, bukan destinasi. Sekolah bukanlah pabrik buruh dunia, melainkan rahim peradaban.

Jika kita ingin menyelamatkan generasi ini, maka benahi arah sekolah kita. Tanamkan nilai-nilai langit di ruang kelas. Ajarkan anak-anak kita untuk mengejar rida Allah, bukan hanya gaji. Bentuk karakter mulia, bukan sekadar kecerdasan buatan. Dan jadikan sekolah sebagai tempat lahirnya insan-insan tangguh yang akan menuntun dunia menuju cahaya.[BA]