PELITA MAJALENGKA - Di sebuah sudut desa yang dulu hangat dengan sapaan akrab antar tetangga, berdiri sebuah warung kecil yang diwariskan turun-temurun. Warung itu adalah nafas terakhir dari usaha kecil yang menjadi tulang punggung keluarga.
Di sanalah tempat anak-anak membeli permen selepas sekolah, tempat ibu-ibu membeli kebutuhan harian sambil bertukar cerita, dan tempat bapak-bapak membayar pulsa sambil bercengkerama.
Namun, kini warung itu sepi. Lengang. Sunyi. Tak lagi terdengar suara celoteh anak-anak atau tawa para ibu rumah tangga. Di kejauhan, hanya gemerlap lampu dari bangunan megah berwarna biru atau merah yang kian mencolok: Indomaret dan Alfamart.
Fenomena ini tak bisa dipungkiri. Kehadiran ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart di tengah kampung dan desa ibarat mata pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka menawarkan kenyamanan, harga terjangkau, dan sistem modern yang menggiurkan.
Tapi di sisi lain, mereka merampas nyawa ekonomi kecil yang tak berdaya bersaing. Warung-warung tradisional yang sudah puluhan tahun berdiri akhirnya tumbang satu per satu, seperti domino yang kehilangan penyangga.
Masyarakat desa yang dulu hidup dalam harmoni ekonomi lokal kini perlahan terseret dalam arus kapitalisme yang dingin dan tak berperasaan. Kearifan lokal dan semangat gotong royong pelan-pelan digantikan oleh transaksi yang serba cepat, dingin, dan tanpa ikatan emosional.
Sebuah botol air mineral yang dulu dibeli sambil bertanya kabar si kecil, kini hanya sebatas scan dan bayar. Tak ada lagi hubungan. Tak ada lagi cerita. Hanya efisiensi dan keuntungan.
Apa yang terjadi sesungguhnya adalah pembunuhan ekonomi secara perlahan—terstruktur, masif, dan sistematis. Indomaret dan Alfamart dengan kekuatan modal yang besar, logistik yang teratur, dan strategi pemasaran yang canggih, masuk ke kampung-kampung kecil. Mereka tidak hanya menjual barang, tapi juga mencuri konsumen yang selama ini menjadi sandaran usaha kecil.
Usaha kecil seperti warung, kios sembako, dan toko kelontong tidak bisa bersaing. Mereka tak punya akses ke diskon besar dari distributor, tak punya fasilitas pendingin modern, tak punya sistem manajemen stok otomatis. Mereka hanya mengandalkan loyalitas pelanggan dan secuil keuntungan yang makin hari makin tergerus.
Ironisnya, kehadiran dua raksasa ritel ini kerap dibungkus dengan dalih “membantu masyarakat desa.” Mereka berdalih membuka lapangan kerja dan menyediakan barang kebutuhan sehari-hari. Tapi kenyataannya, banyak pekerja yang hanya digaji UMR dengan beban kerja tinggi.
Sementara pemilik warung lokal yang kehilangan pelanggan terpaksa gulung tikar dan kembali ke rumah dengan wajah muram, menyembunyikan air mata di balik pintu rumah yang reot.
Mungkin bagi sebagian orang di kota, ini bukan masalah besar. Tapi bagi masyarakat desa, keberadaan warung kecil lebih dari sekadar tempat berbelanja. Ia adalah simbol kemandirian, solidaritas, dan jati diri ekonomi lokal.
Warung itu adalah saksi bisu perjuangan seorang ibu menyekolahkan anak-anaknya. Warung itu adalah tempat seorang janda menambal kebutuhan sehari-hari. Dan ketika warung itu mati, bukan hanya usaha yang hilang, tapi juga harapan, martabat, dan kenangan.
Apakah adil ketika kekuatan modal yang besar diberi keleluasaan untuk bersaing di medan yang tidak setara? Apakah bijak ketika kebijakan pemerintah daerah dengan mudahnya mengeluarkan izin pendirian ritel modern tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekonomi lokal? Bukankah tugas negara adalah melindungi yang lemah, bukan membiarkan yang kuat melibas semua demi keuntungan?
Ini adalah jeritan sunyi dari desa-desa yang sedang menghadapi ketimpangan ekonomi yang semakin nyata. Ketika sebuah toko modern berdiri di pojok kampung, maka satu dua warung rakyat pun mulai menutup pintu. Dalam hitungan bulan, satu RT bisa kehilangan denyut ekonominya. Lapangan kerja informal hilang. Perputaran uang lokal tersedot ke pusat-pusat modal besar di kota.
Kita tidak anti-kemajuan. Kita tidak menolak modernitas. Tapi apakah modernitas harus mengorbankan yang kecil dan lemah? Apakah tak ada ruang bagi pertumbuhan yang adil dan merata? Sudah saatnya pemerintah hadir, bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pelindung ekonomi rakyat.
Harus ada keberpihakan nyata terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah. Batasi pendirian ritel modern di kawasan desa. Berikan insentif dan pelatihan kepada pelaku usaha kecil. Dorong koperasi desa agar bisa bersaing. Kembalikan kedaulatan ekonomi ke tangan rakyat kecil.
Indomaret dan Alfamart tak bersalah jika mereka berbisnis. Tapi negara dan masyarakat akan bersalah jika membiarkan usaha kecil mati perlahan tanpa perlindungan. Jangan biarkan desa menjadi pemakaman massal bagi warung-warung kecil yang pernah menjadi denyut nadi kehidupan.
Mari kita suarakan keadilan ekonomi. Mari kita selamatkan yang kecil, sebelum semuanya terlambat. Karena ketika warung kecil terakhir menutup tirainya, saat itulah kita telah kehilangan lebih dari sekadar tempat belanja. Kita kehilangan ruh kampung itu sendiri.[BA]