PELITA MAJALENGKA - Dalam lemah lembutnya bahasa Sunda, tersimpan mutiara kebijaksanaan yang begitu dalam. Salah satu di antaranya adalah ungkapan “ikhlas narima”. Dua kata yang tampak sederhana, namun sarat makna dan mengandung falsafah hidup yang menyentuh jiwa. “Ikhlas narima” tidak sekadar tentang menerima apa adanya, tapi sebuah proses spiritual yang menggambarkan puncak kedewasaan jiwa, pengendalian diri, dan penghambaan kepada Gusti Nu Maha Kawasa.
Makna Ikhlas Narima
“Ikhlas”
berarti melepas, menyerahkan, dan melakukan sesuatu tanpa pamrih—tidak
mengharap balasan, tidak menuntut pengakuan. Sedangkan “narima” berarti menerima dengan tulus apa pun yang datang
dari kehidupan: rezeki, cobaan, luka, bahkan kehilangan. Ketika dua kata ini
bersatu, ia menjadi kekuatan batin yang luar biasa—mampu menenangkan gelombang
hati dan menguatkan langkah di tengah badai kehidupan.
Bagi orang Sunda, ikhlas narima bukan bentuk kepasrahan yang lemah, melainkan
kekuatan dalam kesadaran. Ia lahir dari pemahaman bahwa segala yang terjadi
sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, dan manusia tinggal menjalaninya dengan
sebaik-baiknya. Filosofi ini mengakar kuat dalam laku hidup masyarakat Sunda,
yang sejak dulu dikenal dekat dengan alam dan memiliki hubungan spiritual yang
dalam dengan Sang Pencipta.
Sunda, Alam, dan Ikhlas Narima
Orang Sunda memandang kehidupan seperti aliran
air: ngalir ngahiang ka hilir. Mereka
percaya bahwa hidup akan menemukan jalannya sendiri jika kita tidak melawan
arusnya secara berlebihan. Ketika hujan datang deras, tanah akan basah. Ketika
musim kemarau tiba, daun pun menguning. Semua berjalan dalam harmoni. Maka dari
itu, ketika cobaan datang dalam hidup, sikap yang dipegang adalah ikhlas narima.
Ini bukan berarti berhenti berusaha. Justru,
falsafah ini mengajarkan bahwa setelah segala daya upaya dikerahkan, sisanya
adalah menyerahkannya kepada Gusti. Hirup mah
ulah poho nyambat Gusti — hidup ini jangan lupa menyebut nama Tuhan. Di
sinilah letak keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal.
Menginspirasi Kehidupan Modern
Di zaman yang penuh kompetisi dan tekanan
seperti sekarang, orang banyak terluka karena harapan tak sesuai kenyataan.
Kita terbiasa mengejar sesuatu tanpa batas, lalu kecewa ketika hasilnya tidak
sesuai rencana. Maka, falsafah “ikhlas narima” menjadi oase penyejuk bagi jiwa
yang kelelahan. Ia mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita
kendalikan, dan satu-satunya cara bertahan adalah dengan menerimanya secara
lapang dada.
Sikap “ikhlas narima” bisa menjadi obat untuk
kekecewaan, penawar untuk kemarahan, dan penyejuk bagi luka batin. Ketika kita
belajar menerima takdir dengan tulus, kita sebenarnya sedang merangkul
kedamaian yang hakiki.
Ikhlas Narima Bukan Menyerah
Penting untuk memahami bahwa “ikhlas narima”
bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa perjuangan. Falsafah ini justru
menanamkan kekuatan: kekuatan untuk
bangkit, meski hidup tidak selalu sesuai harapan. Dalam filsafat
Sunda, ada pandangan bahwa “kageulisan
hirup lain dina loba nu dipimilik, tapi dina kumaha urang narima”—keindahan
hidup bukan pada banyaknya yang kita miliki, tapi pada bagaimana kita menerima
yang ada.
Orang yang “ikhlas narima” adalah orang yang
hatinya lapang, tidak iri dengan kebahagiaan orang lain, dan tidak menyimpan
dendam pada kehidupan. Mereka berjalan tenang, tersenyum meski terluka, dan
tetap berterima kasih meski sedang diuji.
Menanamkan Ikhlas Narima Sejak Dini
Dalam budaya Sunda, ajaran “ikhlas narima”
sering kali ditanamkan sejak kecil oleh orang tua lewat dongeng, petuah, atau
keteladanan. Anak diajarkan untuk tidak mengeluh ketika nasi hanya berisi
sambal dan garam. Diajarkan untuk bersyukur ketika hujan turun di musim
kemarau, meski jalan jadi becek. Nilai-nilai sederhana itu membentuk karakter
yang kuat: tidak manja, tidak mudah mengeluh, dan tahu bersyukur.
Merangkul Hidup dengan Ikhlas Narima
Hidup ini memang tidak selalu memberi apa yang
kita minta. Kadang ia memberikan luka, kesedihan, bahkan kegagalan. Tapi
“ikhlas narima” mengajarkan kita untuk tetap melangkah, tanpa dendam, tanpa
beban. Sebab, dalam menerima itulah, kita sedang belajar melepaskan.
Orang Sunda percaya, sakitu nu kapapancen mah moal kaliwat, nu lain hak urang moal
kahontal—yang memang ditakdirkan untuk kita tidak akan pernah
tertukar, yang bukan milik kita tak akan bisa dimiliki. Maka, tidak ada yang
lebih menenangkan jiwa selain sikap ikhlas
narima: menerima dengan lapang, merelakan dengan tulus, dan hidup
dengan penuh syukur.
“Narima lain
kalah, tapi ngaku yen hirup téh kudu leumpang sasuai jalan Gusti.”
(Menerima bukan berarti kalah, tapi menyadari bahwa hidup harus berjalan sesuai
kehendak Tuhan.)[BA]