Ngaca Diri: Menyibak Tirai Kejujuran Hati


PELITA MAJALENGKA - 
Setiap pagi, sebelum kita melangkah keluar rumah, hampir bisa dipastikan kita menyempatkan diri untuk bercermin. Kita periksa penampilan, memastikan rambut tak berantakan, pakaian rapi, wajah bersih. Namun, berapa sering kita bercermin ke dalam jiwa? 

Seberapa sering kita menengok ke dalam hati untuk memeriksa kejujuran, niat, dan arah hidup yang kita tempuh? Bercermin secara fisik itu mudah, tetapi bercermin secara ruhani—itulah yang kerap kita lupakan.

Mengaca diri adalah sebuah proses batiniah yang tidak hanya mengajak kita untuk melihat siapa diri kita sebenarnya, tetapi juga membuka ruang untuk memperbaiki yang salah, membenahi yang lemah, dan menumbuhkan yang hampir mati dalam nurani. 

Ia adalah jalan menuju keinsafan, dan dari keinsafan, lahirlah perubahan. Perubahan sejati tidak datang dari luar, tapi dari kesediaan untuk jujur pada diri sendiri.

Betapa banyak kita mengkritik orang lain, menghakimi perilaku sesama, menyalahkan keadaan. Kita pandai menunjuk, namun tak pernah menyadari bahwa tiga jari lainnya mengarah ke diri sendiri. Kita merasa paling benar, paling tahu, dan paling layak bicara. 

Padahal, mungkin ada banyak cela dalam diri yang bahkan tak kita sadari karena tertutup oleh kesombongan dan kebiasaan buruk yang dianggap lumrah.

Ngaca diri mengajarkan kita tentang pentingnya kerendahan hati. Seorang bijak pernah berkata, “Semakin dalam seseorang mengenali dirinya, semakin ia menyadari betapa banyak kekurangan yang harus ia benahi.” 

Maka jangan cepat merasa cukup, jangan merasa suci. Karena barangkali, di balik setiap amal yang kita banggakan, terselip niat yang ternodai riya atau sum’ah. Barangkali, di balik lisan yang fasih berdakwah, hati kita masih lemah dalam menjaga niat.

Hidup ini bukan sekadar tentang apa yang terlihat. Allah tidak menilai rupa dan harta kita, melainkan hati dan amal kita. Maka, cermin terbaik adalah kejujuran hati di hadapan Allah. Jika manusia bisa kita tipu dengan senyum palsu dan ucapan manis, Allah tahu apa yang tersimpan dalam dada. 

Maka jangan tunggu teguran datang dalam bentuk musibah. Mulailah menegur diri sendiri sebelum Allah menegur kita dengan cara-Nya.

Ngaca diri juga mengajarkan kita untuk tidak cepat puas. Jangan pernah merasa aman dari dosa hanya karena kita merasa sudah cukup beribadah. Dosa tidak selalu hadir dalam bentuk besar yang mencolok. 

Ia bisa hadir dalam bentuk kecil, seperti meremehkan orang lain, berprasangka buruk, atau merasa lebih baik dari orang lain. Semua itu adalah benih penyakit hati yang jika tidak segera kita sadari, bisa menjadi bara yang membakar amal kita.

Ada saat di mana kita harus berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, mematikan ponsel, menepi dari keramaian, dan bertanya dalam hening: siapa aku di hadapan Allah? 

Apakah aku benar-benar berjalan di jalan yang Dia ridai, atau hanya sibuk mengejar penilaian manusia? Apakah amalanku selama ini sungguh karena-Nya, atau karena pujian semu?

Jangan tunggu tua untuk bermuhasabah. Karena kematian tidak menunggu usia. Jangan tunggu sekarat untuk menyadari arti hidup. Karena waktu tak pernah menunggu kesiapan kita. Mulailah dari sekarang.

 Bangun setiap hari dengan semangat untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Jadikan malam sebagai waktu merenung, menata niat, dan mencuci luka-luka hati dengan tangis kepada-Nya.

Ngaca diri juga berarti memaafkan. Memaafkan kesalahan sendiri dan memaafkan orang lain. Jangan terlalu keras pada diri sendiri sampai lupa bahwa setiap manusia punya hak untuk bertobat. 

Jangan pula terlalu lunak sampai tak pernah mau memperbaiki diri. Temukan keseimbangan. Antara harap dan takut. Antara cinta dan takut kepada Allah.

Hidup ini terlalu singkat untuk terus menyalahkan takdir. Terlalu mahal untuk dihabiskan dengan iri dan dengki. Maka mari kita jujur, bersihkan niat, perbaiki akhlak, dan luruskan langkah. 

Jangan menunggu orang lain berubah. Mulailah dari diri sendiri. Karena perubahan terbesar adalah ketika kita bisa menaklukkan hawa nafsu kita sendiri.

Ngaca diri adalah kunci. Kunci untuk membuka pintu hidayah, pintu ketenangan, dan pintu kemuliaan sejati. Bukan pada status, bukan pada gelar, bukan pada jabatan, tapi pada kejujuran kita di hadapan Allah. 

Maka hari ini, sebelum tidur malam, pejamkan mata dan bertanya: “Sudahkah aku jujur hari ini? Sudahkah aku menjadi hamba yang lebih baik dari kemarin?” Jika belum, maka masih ada waktu untuk memperbaiki.

Jangan biarkan hidup berlalu tanpa makna. Karena hanya hati yang bening yang bisa melihat jalan pulang kepada-Nya. Dan hanya yang jujur mengaca dirilah yang akan sampai pada cinta-Nya.[BA]