Lidah di Ujung Jempol: Bahaya Ghibah di Era Media Sosial


PELITA MAJALENGKA - 
 Ada yang berubah dari cara manusia menyampaikan kata. Dulu, lidah adalah senjata paling tajam. Tapi kini, senjata itu telah berpindah. Ia bersemayam di ujung jempol. Mengalir di antara ketikan status, komentar, dan cuitan. Namanya tetap sama: ghibah — menggunjing, membicarakan aib orang lain, meski benar adanya.

Betapa mudahnya kini seseorang jatuh ke dalam jurang dosa ghibah. Cukup satu kali scroll, satu klik “share,” atau satu komentar sarkas — dosa itu menempel. Bahkan bisa beranak pinak. Disaksikan ratusan orang. Disetujui dengan like. Disebar ke grup-grup. Dan tanpa sadar, kita jadi agen penyebar aib, penjaja kehinaan, dan penebar luka batin.

Ghibah yang Dihalalkan Oleh Ego

“Ya Allah, aku hanya ingin menyampaikan kebenaran.”
“Ini demi kepedulian sosial.”
“Biar semua orang tahu siapa dia sebenarnya.”
Kalimat-kalimat itu terdengar heroik, bukan? Tapi tahukah kita bahwa setan pun bisa bersembunyi di balik niat baik yang palsu?

Ghibah tidak berubah hanya karena medianya digital. Hukum Allah tidak tunduk pada teknologi. Hukum-Nya kekal. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan ghibah dengan perumpamaan paling mengerikan,

“Dan janganlah menggunjing satu sama lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Qs. Al-Hujurat: 12)

Bayangkan. Setiap kali kita mengetik tentang keburukan seseorang, menyebarkan aib, membuka cela, kita sebenarnya sedang mencabik-cabik tubuh saudaranya — yang telah mati. Dan kita memakannya. Perlahan. Dengan rakus. Sementara malaikat mencatatnya dengan presisi, tanpa terlewat satu huruf pun.

Era Digital, Dosa Mengalir Tanpa Henti

Satu dari banyak keistimewaan amal kebaikan adalah pahala jariyah — pahala yang terus mengalir meski pelakunya telah tiada. Tapi tahukah kita, bahwa dosa juga bisa mengalir?
Ghibah di media sosial adalah contohnya.

Seseorang menulis status mengandung ghibah. Seribu orang membaca. Sepuluh ribu membagikan. Sejuta mengomentari. Dan setiap kali itu terjadi, dosa si penulis tetap mengalir. Bahkan saat dia tertidur, makan, tertawa, atau sudah meninggal dunia.
Dosa itu abadi… selama postingan itu masih beredar.

Jika tulisan baik bisa menjadi amal jariyah, maka tulisan buruk bisa menjadi dosa jariyah.

Berapa banyak dari kita yang menyangka sedang “berdakwah,” padahal sedang menyebar fitnah?
Berapa banyak dari kita yang mengira sedang “mewaspadai publik,” padahal sedang mempermalukan seseorang di hadapan dunia?

Ghibah: Dosa yang Merusak Amal Ibadah

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan ghibah terhadap saudaranya, maka puasanya tidak berpahala meski ia tidak batal secara lahir.” (HR. Ahmad)

Pernahkah kita merasa sudah banyak shalat, puasa, tilawah, tapi hati tetap gelisah, hidup tetap sempit, dan keberkahan seperti menjauh? Mungkin bukan amal yang kurang. Tapi aib orang lain yang terlalu sering kita bicarakan.

Ghibah adalah pencuri pahala yang licik. Ia menyusup tanpa suara, tapi menggerogoti tabungan amal kita dengan cepat. Bahkan ada hadis yang menyatakan bahwa seseorang bisa bangkrut di akhirat karena ghibah, meski hidupnya penuh ibadah,

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang tidak memiliki dirham dan harta.” 
Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa shalat, puasa, dan zakat, namun dia datang dengan mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain. Maka kebaikan-kebaikannya dibagikan kepada orang-orang yang ia zalimi. Jika kebaikannya habis sebelum tuntas membayar, maka dosa-dosa orang yang dizalimi ditimpakan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Berhenti Sebelum Terlambat

Saudaraku, masihkah kita ingin menekan tombol “kirim” untuk kalimat yang menghancurkan harga diri orang lain?

Masihkah kita mau mengumbar “fakta” aib seorang tokoh, artis, tetangga, atau mantan teman, hanya demi likes, views, dan komentar?

Ingatlah, setiap kalimat yang kita ketik menjadi saksi. Bukan hanya di dunia, tapi di akhirat. Media sosial bukan ruang bebas nilai. Ia adalah tempat ujian. Allah melihat kita di sana — seperti Allah melihat kita di masjid, di sajadah, dan di waktu tahajud.

Kemenangan Ada di Diam

Menahan diri dari ghibah di era digital adalah jihad. Jihad menahan jempol. Jihad melawan keinginan untuk “membalas komentar.” Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Diam bukan kalah. Diam bisa jadi kemenangan. Ketika semua orang ramai bersuara buruk, orang yang mampu menahan diri adalah pemenang sejati.

Jika Pernah Melakukannya… Bertobatlah Sekarang

Tidak ada manusia yang sempurna. Mungkin kita pernah tergelincir. Bahkan mungkin banyak. Tapi pintu taubat masih terbuka lebar. Allah Maha Menerima taubat. Bahkan dari dosa ghibah.

Caranya?

  1. Hentikan segera.
    Jangan teruskan kebiasaan itu. Hapus postingan, tarik komentar, dan putuskan rantai ghibah.

  2. Tobat dengan hati yang ikhlas.
    Menyesal, menangis, dan mohon ampun kepada Allah.

  3. Kembalikan kehormatan yang dirusak.
    Doakan orang yang kita ghibahi. Puji mereka di hadapan orang-orang yang pernah kita sesatkan.

  4. Isi timeline dan ruang digital dengan kebaikan.
    Ubah tangan yang pernah menyakiti menjadi tangan yang menyembuhkan.

Wahai Pemilik Jempol, Jadikan Ia Penuntun ke Surga

Ujung jempol kita bisa menjadi jalan ke neraka, tapi juga bisa menjadi kendaraan menuju surga. Tinggal kita pilih: membuka aib atau menutupnya?
Menebar fitnah atau menebar rahmat?
Menyeret dosa atau mengalirkan pahala?

Media sosial bisa jadi ladang amal luar biasa — jika kita gunakan untuk menyampaikan ilmu, menyebar inspirasi, membela yang lemah, dan menyemangati yang rapuh.

Tapi juga bisa jadi ladang dosa — jika kita gunakan untuk menghina, membully, mencaci, dan mengghibahi.

Renungkan, Sebelum Malaikat Menulisnya

Di akhirat kelak, semua postingan akan dibuka.
Semua kata akan ditampilkan.
Semua tangkapan layar akan dihadirkan.

Tak ada yang bisa dihapus. Tak ada tombol “edit.” Tak ada “hapus komentar.” Semua permanen.
Dan saat itu, kita akan menyesal — jika tak bertobat dari sekarang.

Wahai jiwa yang masih diberi kesempatan… hentikan ghibah itu sekarang.
Tobatlah sebelum waktu habis.
Karena tidak ada notifikasi yang akan memberitahumu kapan malaikat maut akan datang.[BA]