Hijrah Setengah Jalan: Ketika Langkah Menuju Allah Terhenti di Tengah Jalan


PELITA MAJALENGKA
- Hijrah. Sebuah kata yang telah lama menjadi magnet semangat di hati banyak muslim. Kata yang membangkitkan harapan akan perubahan diri, mengundang semangat untuk menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Allah, lebih mencintai Al-Qur’an, lebih taat dalam ibadah, dan lebih lembut dalam akhlak.

Namun, di balik semangat yang berkobar di awal perjalanan, tidak sedikit yang akhirnya terdiam di tengah jalan. Hijrah setengah jalan. Langkahnya terhenti, semangatnya padam, dan kadang bahkan kembali mundur. Mengapa bisa begitu?

Fenomena hijrah setengah jalan adalah kenyataan yang sering terjadi dalam kehidupan umat Islam masa kini. Awalnya semangat menggelora: mulai mengenakan hijab, menghindari musik, memperbanyak kajian, meninggalkan pergaulan bebas, dan rajin menulis atau berbicara tentang hijrah. 

Namun, seiring waktu, tantangan datang, godaan bertubi-tubi, komentar pedas dari orang sekitar membuat hati goyah. Aktivitas hijrah mulai dikurangi, jilbab dikendurkan, semangat mengaji ditinggalkan. Lambat laun, semuanya kembali seperti semula—atau bahkan lebih buruk.

Sungguh, hijrah bukanlah sekadar mengganti penampilan luar, tetapi lebih dari itu: ia adalah perubahan hati dan arah hidup. Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah: 218)

Ayat ini menegaskan bahwa hijrah bukan semata perubahan tempat atau suasana, tetapi perubahan sikap dan tujuan hidup—dari dunia menuju akhirat, dari nafsu menuju ridha Allah. Ketika niat hijrah hanya untuk tren, manusia, atau pencitraan, maka tidak heran jika langkah itu terhenti di tengah jalan. Karena yang diandalkan bukan kekuatan Allah, tetapi kekuatan semangat yang fana.

Hijrah sejatinya adalah proses panjang. Ia bukan sebuah event sekejap, melainkan perjalanan seumur hidup. Dalam perjalanan ini, kita akan diuji. Ujian datang dalam bentuk rasa lelah, kebosanan, kehilangan teman, cibiran, atau bahkan rasa rindu pada kehidupan lama yang “terlihat” lebih mudah dan bebas. Saat ujian ini datang, kita dihadapkan pada dua pilihan: bertahan atau mundur.

Sayangnya, tidak sedikit yang memilih mundur. Menganggap bahwa hidup dalam ketaatan itu terlalu berat. Padahal Allah telah menjanjikan,

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”
(Qs. An-Nisa: 100)

Ayat ini bukan hanya tentang geografis, tapi juga spiritual. Allah memberi ruang lapang bagi jiwa yang ingin kembali kepada-Nya. Rezeki bukan hanya berupa harta, tetapi ketenangan hati, kebersihan jiwa, dan kehidupan yang penuh makna.

Mereka yang berhijrah setengah jalan sering merasa malu untuk kembali melanjutkan. Takut dicap tidak konsisten, takut ditertawakan, atau merasa tidak pantas lagi. Padahal Allah tidak pernah menutup pintu-Nya. Rasulullah SAW bersabda,

“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi)

Hijrah adalah tentang bagaimana kita terus melangkah, walau perlahan. Bahkan ketika kita terjatuh, yang terpenting adalah segera bangkit. Allah tidak meminta kita menjadi sempurna, tetapi meminta kita terus berjuang.

Hijrah juga bukan tentang siapa yang lebih dahulu atau lebih terlihat Islami. Ia adalah tentang kesungguhan hati untuk terus mendekat kepada Allah, meski jatuh bangun. Maka, jangan pernah merasa hijrah kita sia-sia hanya karena kita belum seperti orang lain. Yang penting adalah arah kita, bukan kecepatan kita.

Saudaraku, jika engkau merasa pernah berhijrah tapi kini langkahmu tertatih, jangan menyerah. Bangkitlah kembali. Allah tidak melihat masa lalumu, tapi melihat usahamu hari ini. Jika kau merasa pernah di puncak keimanan lalu terjatuh, ketahuilah bahwa Allah sedang menegurmu dengan cinta. Ia merindukanmu kembali.

Jangan biarkan hijrahmu hanya menjadi kenangan indah di masa lalu. Jadikan ia perjalanan yang terus berlanjut, yang kau bawa hingga ajal menjemput. Karena sesungguhnya, yang terpenting bukanlah memulai, tapi menyelesaikan perjalanan hingga akhir.

Mari kita sama-sama berdoa,

“Ya Allah, jangan Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk. Tetapkanlah kami dalam keimanan hingga akhir hayat kami. Aamiin.”

Hijrah bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling istiqamah. Maka, teruslah melangkah, meski tertatih. Karena surga tidak dijanjikan untuk yang memulai, tetapi untuk yang menyelesaikan.[]