Oleh Arenga Pinata*
Setiap musim haji, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah suci, menunaikan salah satu rukun Islam yang agung. Di antara mereka, ada yang menunaikan haji untuk pertama kali dengan penuh haru dan takzim.
Namun, tak sedikit pula yang telah berhaji berkali-kali, bahkan menjadikan ibadah ini semacam “prestise spiritual” yang diperlihatkan dalam kehidupan sosial mereka.
Pertanyaannya, mengapa ada orang yang telah berhaji berkali-kali, tetapi tak menunjukkan perubahan dalam akhlaknya? Mengapa sebagian dari mereka tetap gemar menyombongkan status sosial dan gelar “haji” mereka, dan masih juga kikir dalam kehidupan bermasyarakat?
Apakah ibadah yang begitu agung itu tidak cukup menyentuh hati mereka? Ataukah sekadar menjadi ritual kosong tanpa makna?
Ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata kotor dan tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menandakan bahwa haji sejatinya mampu menghapus dosa-dosa dan menyucikan jiwa. Namun, jika setelah berhaji seseorang tetap sombong, kikir, dan tak berubah ke arah lebih baik, maka perlu dipertanyakan: adakah yang keliru dalam niat dan pelaksanaannya?
Haji yang Tak Menyentuh Hati
Sebagian orang menunaikan haji lebih karena dorongan status sosial. Gelar "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" menjadi simbol kehormatan yang dielu-elukan. Bahkan ada yang berlomba-lomba naik haji berkali-kali demi gengsi dan pujian. Ini berbahaya. Sebab ibadah, yang seharusnya menundukkan ego, malah menjadi alat untuk meninggikan ego.
Padahal Allah SWT tidak butuh haji kita. Kita yang butuh haji untuk melebur kesombongan, menundukkan keserakahan, dan membangkitkan kepedulian terhadap sesama. Bila haji tidak melahirkan sifat dermawan dan rendah hati, maka bisa jadi ibadah itu hanya menjadi seremonial, bukan transformasional.
Sombong Setelah Haji?
Sombong adalah penyakit hati yang sangat dibenci Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Maka sungguh mengherankan bila seseorang telah berhaji berkali-kali, tetapi justru makin merasa dirinya lebih suci, lebih tinggi, dan lebih pantas dihormati. Ia menuntut dipanggil "Haji" seolah gelar itu tiket untuk dipuja, bukan amanah untuk dijaga.
Sesungguhnya, semakin banyak kita beribadah, semakin besar pula tanggung jawab kita di hadapan Allah. Haji bukan panggung untuk pamer, melainkan titik balik untuk menjadi lebih tawadhu’.
Kikir Setelah Haji?
Haji sejati menanamkan kesadaran bahwa dunia ini fana, dan harta hanyalah titipan. Tapi mengapa ada yang pulang haji justru semakin pelit? Padahal ia telah menyaksikan jutaan umat Allah dari berbagai kondisi: ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang tua renta, ada yang hanya bisa mengumpulkan uang selama puluhan tahun demi sekali haji.
Bukankah seharusnya pengalaman ini melembutkan hati dan menggerakkan tangan untuk berbagi? Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (Qs. At-Taubah: 34)
Jika setelah berhaji seseorang tetap enggan membantu fakir miskin, anak yatim, atau lembaga dakwah, maka perlu ditinjau kembali hakikat ibadah yang telah dijalankannya.
Jangan Bangga dengan Kuantitas, Tapi Kualitas
Berhaji sekali dengan ikhlas dan khusyuk lebih mulia daripada berhaji berkali-kali tetapi tanpa perubahan. Allah tidak menilai berapa kali kita naik haji, tapi bagaimana dampaknya terhadap hati dan kehidupan kita.
Bukankah lebih bijak jika setelah sekali haji, kita sisihkan rezeki berikutnya untuk membantu saudara-saudara yang belum mampu? Bukankah lebih indah jika uang yang bisa digunakan untuk haji ke-4 atau ke-5, kita alihkan untuk membangun pesantren, masjid, atau sekolah Islam?
Mari kita semua, baik yang sudah berhaji maupun belum, merenungi kembali niat dan arah ibadah kita. Jangan sampai kita terjebak pada ritual tanpa makna, dan menjadikan ibadah sebagai sarana kesombongan sosial. Ibadah harus melahirkan akhlak, bukan hanya gelar.
Bagi yang sudah berhaji, semoga hajinya diterima Allah dan menjadi pemicu untuk memperbaiki diri. Bagi yang belum, semoga Allah mudahkan jalannya. Dan bagi semuanya, semoga kita dijauhkan dari sifat riya, sombong, dan kikir, yang bisa membatalkan amal tanpa kita sadari.
Haji adalah momen puncak spiritual, bukan puncak prestise sosial. Bila telah berhaji, maka seharusnya akhlak kita semakin baik, kepedulian kita terhadap sesama semakin besar, dan hati kita semakin tunduk pada Allah.
Jangan jadikan ibadah haji sebagai ajang pamer. Jadikan ia sebagai titik tobat dan awal perubahan. Karena haji sejati bukan soal gelar dan jumlah, tapi soal keikhlasan, kejujuran hati, dan buah amal setelahnya.[]
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial agama, menetap di Majalengka Selatan